Jumat, 14 September 2018

BERSABARLAH DENGAN KESABARAN YANG BAIK

Semalam, ketika aku menyempatkan diri untuk membaca kitab suci-Nya selepas sholat isya. Sejenak tertegun membaca ayat berikut ini :

فَٱصۡبِرۡ صَبۡرٗا جَمِيلًا
Faashbir shabran jamiilaa(n)

 artinya : Maka berssabarlah kamu dengan sabar yang baik

Aku termenung, berulang membaca ayat tersebut. Sungguh, ini sebuah nasihat yang sangat indah. Cubitan buat diriku. Selama ini, aku susah sekali berlaku menjadi orang yang sabar. Selalu mengedepankan amarah, tidak bisa menahan. Penginnya, ketika marah, segala rasa yang kurasakan aku muntahkan agar hilang semua kesal, rasa kecewa, tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Jeleknya, ketika sudah pernah berselisih dengan seseorang, aku memilih untuk menjaga jarak dengan orang tersebut. Bukan menghindar atau tak lagi berteman, tetapi menjaga jarak, karena ada rasa takut akan tersakiti kembali.

Pun Alloh sangat tahu, bahwa saat ini pikiranku sedang kacau. Bermacam masalah datang dan pergi silih berganti. Mungkin di luar aku terlihat kuat, padahal sebenarnya aku rapuh. Ada sebuah transaksi pribadi dengan pihak lain, yang membutuhkan bantuan orang dekat di sekelilingku. Aku pengin semua sesuai prosedur, cepat, tidak ditunda-tunda dan berharap masalah cepat rampung. Jarak dan waktu yang terbentang membuatku tak bisa menangani kasus ini secara langsung, karena akan memakan banyak waktu dan biaya serta kasihan anak-anak jika aku tinggalkan sementara waktu. Akibatnya, aku membutuhkan bantuan dari adikku, orang tua, saudara dan juga tetangga. Namun, sering kali harapan tak sesuai dengan kenyataan. Ada kalanya, pihak yang kumintai bantuan sedang sibuk dengan urusannya. Kadang kala, karena komunikasi tidak langsung, jadi pesan tidak tersampaikan dengan sempurna. Ada kalanya pihak lain ini seakan mempersulit, santai menanggapi kelengkapan berkas yang aku minta. Mereka mungkin lupa atau tidak tahu ada sebagian kewajiban yang belum dituntaskan.

Sering kali aku menangis, dan berdo'a dalam cucuran air mata, agar Alloh permudah jalan ini. Agar aku selalu diberi kesabaran untuk bisa melewati semua ini. Ada rasa lelah yang mendera. Perasaan putus asa, kecewa, dan ada rasa menyesal juga kenapa dulu aku mengiyakan sehingga terjadi transaksi ini. Rasa kecewa ke seseorang yang seakan lepas tangan dan membiarkanku berjuang sendiri untuk menyelesaikan masalah ini. Bayangkan, saat aku galau dan berkali menangis, tetiba dapat pesan wa tanpa salam tanpa sapa nama, dan langsung berkata yang menyudutkan. Sakit, karena yang mengirim pesan adalah orang dekatku. Namun, paksu selalu menghibur, insyaalloh ada jalannya. Tidak merugi orang-orang yang bersabar. Mereka orang baik, pasti semua akan berakhir baik. Mungkin, mereka biasa melaksanakan apa-apa tidak buru-buru, sedangkan kita terbiasa dengan ritme yang serba cepat.

Selain rumitnya menyelesaikan masalah ini, ditambah lagi masalah domestik. Iya, menghadapi anak-anak yang baru tumbuh besar, yang sifat ngeyelnya mendominasi, belum bisa patuh dan paham berkomunikasi serta capek merasakan pekerjaan rumah tangga, makin memperburuk emosiku. Tak jarang aku kelepasan, dan berujung mengunci diri di kamar, menangis sambil membenamkan wajah ke bantal. Iya, aku lelah. dan aku bukan orang yang sabar. Maka ketika aku membaca ayat ke 5 di surat Al-Ma'arij diatas, aku benar-benar serasa ditegur. Selama ini mulut sering berucap sabar, tetapi hati tidak. Aku mencari tahu tentang bersabar dengan kesabaran yang baik.

Kesabaran yang baik adalah kesabaran yang menenangkan, yang tidak disertai dengan kemarahan, kegoncangan dan keraguan terhadap kebenaran janji Allah. 
Adalah kesabaran orang yang percaya pada akibat yang akan terjadi, yang ridho pada ketetapan Alloh, yang merasakan hikmah di balik ujian-Nya.
Kesabaran yang baik adalah kemampuan untuk menghadapi masalah dengan diam, tenang, dan ridha.
Sabar yang baik langsung dibarengi dengan prasangka yang baik terhadap Alloh.

Ya Alloh, bimbinglah hamba-Mu ini agar bisa belajar sabar, bersabar dengan kesabaran yang baik.
 

Selasa, 21 Agustus 2018

JANGAN ADA CANDID DI ANTARA KITA

Pagi hari ini, tanggal 21 Agustus 2018 saya membuka sosial media dan membaca sebuah berita duka cita. Jelas saya sangat terkejut ketika membaca berita yang dimuat dalam grup sebuah transportasi.

Kronologisnya begini. Beberapa waktu lalu, beredar foto seorang ibu hamil yang nekad masuk di kereta yang sudah penuh sesak. Jadi, terlihat si ibu berdiri berpegangan, sementara pintu kereta hendak menutup. Foto tersebut diambil oleh orang lain, dan menyebar kemana-mana instagram, facebook, dan media lain tanpa seijin si bumil. Awal mula foto itu diambil sih tujuannya baik, yaitu memberi semangat kepada para bumil akan besarnya perjuangan seorang ibu yang sedang hamil. Namun yang kemudian terjadi adalah adanya pembelokan opini, muncullah komentar-komentar pedas dari para netizen (pernah baca kalimat : maha benar netizen dengan segala komentarnya?). Komentar-komentar yang positifnya adalah banyak yang mendoakan dan menyemangati bumil, pengingat-ingat begitulah perjuangan seorang ibu. Akan tetapi sangat banyak komentar yang bernada membully, menyalahkan si bumil yang seakan-akan tidak memikirkan keselamatan  dirinya dan bayinya. Ibu nekad, tidak sayang janin yang dikandungnya. Suaminya kemana? dan masih banyak koment pedas lainnya. Emang nih netizen kalau koment pedas melebihi pedasnya cabe. Semua yang komentar miring seakan menumpahkan kekesalannya dan menimpakan tuduhan kepada si bumil tanpa pernah tahu alasan si bumil nekad masuk di krl yang penuh.

Oke, kita yang berkomentar merasa puas sudah menuliskan uneg-unegnya. Sudah tuntas dan tak ada lagi beban yang terpendam. Entah salah atau benar komentarnya, yang penting sudah merasa menyampaikan apa yang dirasakan oleh diri sendiri. Peristiwa berlalu, sebagian besar sudah melupakan bahwa jemarinya telah menorehkan sejarah kepada seseorang. 

Jangan lupa, ini era teknologi. foto candid itu pun sampai kepada si pemilik asli dari foto yang beredar. Segala komentar terbaca oleh si bumil. Mungkin, kita akan berkomentar lagi. Gak usah diambil hati, gak usah baper deh. Kondisi mental seseorang tuh berbeda dengan orang lain. Apalagi ini seorang ibu hamil, yang mana dalam masa kehamilannya si ibu hamil mengalami perubahan hormon yang membuat kejiwaannya menjadi mudah melow, mudah tersentuh, mudah sensitif dan suasana hatinya mudah berubah-ubah.

Ibu hamil ini tertekan karena merasa telah dibully. Bullying menurut Wikipedia bullying adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain, bisa secara emosional, fisik, verbal, dan cyber. Nah ibu hamil ini terkejut, shock fotonya nyebar kemana-mana dan dengan segala komentar tentangnya. Dia tak salah apa-apa, tetapi karena selembar foto orang menjudgenya. Menilai sesukanya, tanpa tahu apa alasan yang mendasarinya. Yang mengenalnya dengan baik pastilah orang-orang yang dekat dengannya. 

Dibully dalam keadaan hamil itu sangat menyakitkan. Sekali lagi, kondisi mental orang itu berbeda. Ada yang mentalnya sekuat baja, ndableg dan tidak baperan. Ada yang seolah kuat tapi sebenarnya lemah. Lah ini kondisi ibu yang sedang hamil? Ya Alloh, pasti bebanmu sangat berat buk. Pasti engkau sangat sedih dan terus memikirkan soal ini setiap hari sehingga mengganggu kesehatanmu dan bayi kembar dalam perutmu. Semoga Engkau tenang disisi Allah.

Pelajaran buat kita semua, terutama buat diri saya sendiri. Jangan merasa menjadi orang penting bila bisa menjadi orang pertama yang menyampaikan berita atau kejadian. Mau memfoto atau mengupload sesuatu ada aturan dan etikanya. Jangan lagi suka candid, jika yang diambil fotonya tidak terima dan menempuh jalur hukum, maka anda akan kena Undang-Undang ITE. Jangan suka mengomentari sesuatu hal hanya berdasarkan sesuatu yang tampak dari luar. Ingatlah, yang secuil itu tidak menampakkan yang keseluruhan. Seperti halnya ketemu orang saat itu sedang marah, jangan lantas menjudge bahwa orang tersebut seorang pemarah. Jangan juga mengecap seseorang yang saat itu tersenyum sebagai orang yang murah senyum. Kesan pertama tak selalu menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Ingat ya....

Senin, 20 Agustus 2018

BUNTU

Di kepala banyak cerita yang ingin kutuangkan dalam bentuk tulisan. Akan tetapi, ketika aku mulai mengetiknya, cerita-cerita tersebut menguap begitu saja. Hilang sebagian, kadang hanya ingat sebagian, dan rasanya aku begitu kesusahan untuk kembali merangkainya. Lalu menyadari, ah...cerita ini tak menarik untuk kutulis. Apalagi sampai dibaca oleh orang banyak. Tentu hanya akan membuatku malu saja.

Di jalan banyak kejadian, yang tentunya akan menarik bila diceritakan dalam rangkaian kalimat. Tentang pejalan kaki yang susah menyeberang padahal sudah berada di zebra cross, tentang pemotor yang nekad-nekad dan tak mau memberi kesempatan pada pejalan lain juga kendaraan lain. Para pengendara yang memacu kendaraannya dengan cepat dan serba terburu-buru, saling serobot bahkan kadang tak mempedulikan nyawa, seakan hidup di ibukota adalah perlombaan yang abadi dengan waktu.

Di stasiun kereta. Kita terbiasa melihat orang yang datang dan pergi serba terburu-buru. Naik dan turun kereta berpacu dengan waktu. Memaksakan masuk, tak mau menunggu kereta berikut. Turun kereta, keluar stasiun berlarian sambil mata tak lepas dari jam di pergelangan tangan. Menunggu ojek dengan gelisah. Mau naik angkutan pun khawatir terlambat. Waktu terus berjalan, detik berlalu demikian cepat. Terkadang, meski segala usaha telah dilakukan, tetapi ada saatnya mengalami kata terlambat. Berujung pada pemotongan gaji. Berimbas pada mood di hari itu. Wajah tak lagi menampakkan senyuman manis.

Serumit apapun hidupmu, sepahit apapun hidupmu, hidup haruslah terus berjalan. Kadang-kadang kita bercanda mengomentari segelas kopi yang terasa pahit, bahwa masih lebih pahit hidup ketimbang segelas kopi. Ketika seorang teman mengeluh bahwa hidupnya selalu banyak masalah, banyak rintangan, kita dengan enaknya komentar kalau banyak rantangan itu kateringan namanya. Hahaha. Ironi ya. Kadang manusia memang suka menertawakan diri sendiri. Hidup memang sudah pahit, jadi nikmatilah. Sesekali kita perlu menertawakan diri sendiri biar terlihat bahagia bisa tertawa.


Minggu, 19 Agustus 2018

BERSYUKUR BERSYUKUR BERSYUKUR

Pernahkah anda merasa hidup begini-begini saja? Stuck. Monoton. Seolah tiada tantangan? Pernahkan merasa bosan bekerja di suatu tempat, karena saking sudah sangat nyamannya sampai-sampai anda merasa jenuh dan butuh tantangan atau pengin pindah kerja ke tempat lain?
Seringkah kita merasa, gaji segini-segini saja yang diterima setiap awal bulan. Sebenarnya sudah cukup besar, tetapi kenapa selalu merasa kehabisan dan ngap-ngapan menjelang akhir bulan. Kenapa mau beli ini itu belum juga kesampaian, kalah oleh banyak kebutuhan rumah tangga, sekolah, keluarga besar, cicilan, sumbangan dll.

Wahai kawan, jika anda sering merasa begitu, tenang saja. Banyak kok temannya. Banyak orang yang merasakan apa yang anda rasakan. Rumah punya, kendaraan punya, tabungan meski dikit ada, pakaian bisa berganti-ganti tinggal pilih seisi lemari. Makan bisa kenyang tanpa takut esok tak makan. Akan tetapi, serasa hidup itu gersang ya? Seperti sudah minum tetapi masih terasa haus? Hidup tak ada yang kurang, tapi serasa ada yang tidak pas. Semua itu berpangkal pada rasa syukur. Yap. Kita hanya merasa, tiap bulan gajian adalah memang hak kita setelah sebulan bekerja. Itu hak kita. Kita tak ingat bahwa itu memang rejeki yang sudah ditentukan oleh Alloh sang maha pemberi rejeki. Seandainya dalam sebulan itu ada waktunya kita sakit, tidak bisa berangkat kerja atau ada anak kita yang sakit, apakah gaji yang akan kita terima nanti akan utuh? Ada banyak kantor loh yang memotong gaji karyawannya ketika karyawan tidak masuk kantor (dengan alasan selain cuti). Kantor tempat saya mengais rejeki pun begitu. Jika pegawai mendaratkan jari diatas mesein presensi diatas pukul 08.00.59, maka pegawai tersebut akan kena potong 0.5% per hari pegawai tersebut terlambat. Semisal pegawai tersebut terlambat datang karena gangguan transportasi contohnya karena KRL mogok, atau terjadi kecelakaan di tol yang dilalui pegawai tersebut, pegawai tsb akan tetap kena potongan bila telat sampai kantor.

Seringkali kita masih merasa kurang saja dengan penghasilan yang kita peroleh. Ada kenaikan gaji satu juta. Kenaikan tersebut bukannya kita tabung, tapi malah kita gunakan untuk menambah kebutuhan lain. Ada kenaikan gaji sedikit, gaya hidup ikutan berubah. Yang semula mau makan di warteg, sekarang ganti makannya di warung bersahaja. Yang semula mau saja pakai sepatu biasa, mulai melirik dan belanja sepatu merek lain yang harganya lebih waow. Tidak ada yang salah kalau kita mau memantaskan diri agar penampilan kita terlihat lebih pantas. Akan tetapi, jika gaya hidup tersebut mengganggu biaya hidup yang berujung pada hutang dan ketidaksyukuran atas rejeki yang kita dapat, ini jelas sesuatu yang salah.

Ketika kita selalu merasa kekurangan, tengoklah ke bawah. Pada orang-orang lain yang tidak seberuntung kita. Banyak sekali contohnya. Kita harus keluar rumah, berjalan. Di perjalanan, di pasar, di stasiun atau tempat lain, akan banyak hal yang membuat kita menjadi lebih bersyukur. Tukang angkut sampah, kerjanya keras, menggunakan otot untuk bisa menarik atau mendorong gerobak sampah. Menyingkirkan segala rasa jijik akan bau sampah, demi untuk mendapatkan upah atas pekerjaan yang di jalaninya. Pedagang keliling, semisal es lilin. Di saat hari panas terik. Menjajakan es lilin keliling kampung. Suara serak meneriakkan barang dagangan. Kaki capek melangkah, es di termos mulai mencair. Tapi baru beberapa es lilin yang terjual. Di rumah, sang istri menunggu dengan cemas. Apakah sore nanti beras terbeli untuk makan anak-anak yang masih kecil?

Suatu siang yang panas, selepas dhuhur. Waktu yang tepat buat beristirahat merebahkan badan pada kasur yang empuk dan ac yang dingin serasa membelai wajah meninabobokan. Akan tetapi siang yang panas itu, saya keluar rumah untuk membeli susu  di toko serba ada dekat perbatasan desa. Melintasi jalanan dari gang ke gang, dan pandangan mata tertumbuk pada sosok tua yang terkantuk-kantuk di depan pagar sebuah rumah, di bawah pohon rindang. Bapak tua tukang sol sepatu, terlihat dari properti yang tergeletak disebelahnya. Hati langsung berdesir. Ya Alloh, beginilah beratnya hidup seorang kepala keluarga.

Sekitar satu jam berbelanja, Saya pun pulang dan kembali melewati jalanan yang tadi. Bapak tukang sol sepatu masih duduk di tempat yang sama. Apakah dia sudah dapat uang hari ini? entahlah, semoga Alloh mudahkan rejekinya.

Semalam, sepulang kerja saya mencari ciput ninja untuk anak saya yang mau ikut lomba. Mencari ke setiap toko yang menjual pernak-pernik muslimah, tapi barang yang saya maksud tidak ada. Seseorang menawari saya tissu, tapi saya hanya melihatnya sekilas lalu menolaknya karena sedang fokus berjalan ke toko satunya. Namun, ada perasaan aneh yang membuat saya bertekad nanti akan beli tissunya si bapak. Dari toko tersebut, kembali melewati pedagang tissu, kubeli sebungkus tissu yang harganya tak seberapa. Ya Alloh, penjualnya sudah sepuh, indra pernglihatannya juga bermasalah. Senyumnya sumringah.

"Alhamdulillah. Terima kasih ya Neng. Ini bonusnya mau tidak?" ucap beliau sambil membuka kotak yang ternyata isinya adalah es lilin (sejenis es lilin).
"Maaf pak. Tidak usah ya" tolakku halus sembari tersenyum.

Terus terang, hatiku sangat teriris.  Tiba-tiba ada sebongkah rasa sedih dan entah perasaan apa namanya. Hari sudah malam tapi bapak tua masih menjajakan dagangan. Duduk ngedeprok di dekat pintu masuk sebuah toko. Kupandangi beliau sekali lagi, sebelum motorku meninggalkan parkiran. 

Kembali kususuri toko demi toko, tapi barang yang kumaksud tidak ada. Akhirnya saya kirim pesan wa ke salah satu orang tua temannya Kei, curhat bahwa saya ada kendala. Setelah berbalas pesan via wa, akhirnya saya membeli ciput yang hampir serupa dengan yang tadi dicari. Selesai membayar dan menyimpan ciput dalam tas, kami pulang. Ah, masih terbayang wajah bapak tua penjual tissu. Di perjalanan pulang kami melihat sekeluarga pemulung. Dua anak-anak naik gerobak yang ditarik oleh lelaki dewasa, yang saya perkirakan adalah bapaknya dan seorang bayi dalam gendongan perempuan dewasa yang mengikuti lajunya gerobak. Dua anak perempuan kecil dalam gerobak berceloteh khas anak-anak, bercanda, tak mempedulikan pandangan dari orang-orang yang berpapasan dengan mereka. Angin malam, udara kotor dari sisa-sisa kendaraan bermotor, juga suara bising menyertai langkah kaki mereka mengais sampah dan barang-barang bekas. Mungkin ada yang berkomentar, kenapa sih si bayi tidak tinggal di rumah saja barang si ibu? Kita biasanya hanya berkomentar dari apa yang kita lihat, tanpa tahu pasti alasannya apa. Yang jelas, hidup di kota besar itu memang keras dan butuh kerja keras. 

Makanya setelah melihat kehidupan dari kacamata lain, setidaknya membuat kita jauh lebih bersyukur. Syukuri apa yang sudah kita capai. Jangan selalu  melihat ke atas, sesekali melihatlah ke bawah. Jika kita punya suami yang penghasilannya kecil, jangan asal mengeluh dan menuduh pemalas. Lihatlah dan ingat-ingatlah semua kebaikannya. Sering manusia sudah berusaha sedemikian keras, tapi kalau takaran rejekinya hanya segitu, mau gimana lagi? Yang penting halal, dan dia sudah berusaha keras untuk memberikan nafkah terbaik buat keluarganya.

Begitu pula sang suami, ketika pulang bekerja dan mendapati rumah berantakan, jangan serta merta menuduh istri pemalas. Bisa jadi, seharian tadi si kecil rewel, sang istri tidak bisa memasak dan beberes karena si kecil maunya digendong terus. Kalau masih ada tenaga, bantulah beberes, pasti itu akan membuat sang istri tersenyum manis dan membuatnya merasa sangat bersyukur memiliki suami seperti anda.


Rabu, 15 Agustus 2018

ALHAMDULILLAH, MASIH REJEKI

Sabtu pagi, adalah hari bersantai-santai setelah lima hari sebelumnya berurusan dengan pekerjaan. Sabtu pagi, cita-cita adalah bangun siang, tapi apalah daya, kewajiban adalah kewajiban tak bisa ditinggalkan. Jadi tetap bangun pagi, menunaikan kewajiban dan tidak bisa bobok lagi (ilang ngantuknya).
Selesai shalat selonjoran di kamar sejenak membuka hape melihat ada kesibukan apa di dunia maya. Baru sebentar ngeklik sana-sini, sudah kedengaran suara Paksu di luar kamar.
"Bun, mau ke pasar tidak?"tanyanya sambil membawa baju kotor sekeranjang ke belakang
"Pasar donk"jawabku sambil mata tetap melihat ke hape.
"Yuk ayuk ah, sebelum makin siang" ajak paksu.

Dengan setengah malas aku beranjak keluar kamar. Mengganti baju dengan baju panjang, kulot, dan jilab slup-slupan. Tak perlu menengok ke dalam kulkas, karena aku sudah hapal apa saja yang habis. Baru buka pagar, si kecil berlari dari dalam kamar merengek minta ikut. Jadilah kami ke pasar bertiga. Sabtu pagi, jalanan sekitar Beji lumayan lengang. Jauh banget bedanya dibandingkan dengan ketika hari kerja. Tak sampai lima belas menit, kami sampai di Pasar Kemiri. You know, di mana itu Pasar Kemiri? Letaknya persis di sebelah stasiun kereta Depok Baru.

Setelah menitipkan motor di parkir langganan, kami melintasi rel menuju pasar. Baru tahu, kalau tempat jualan sudah ditembok permanen. Kami menuju tukang sayur langganan dengan jalan satu-satu, tidak bisa bersisian, karena jalannya hanya muat untuk dua orang dua arah. Areal pasar sebenarnya luas, tetapi karena selama ini mengganggu aktivitas transportasi di sekitar Depok Baru, apalagi para pedagang berjualannya sangat memakan jalanan angkot, akhirnya sering menimbulkan kemacetan. Ditambah lagi, ada agenda pemkot Depok untuk merenovasi terminal bus, sehingga demi kelancaran transportasi, maka ruas jalan yang semula digunakan oleh para pedagang untuk berjualan, sekarang sudah dipagar tembok. Menurut mbak pedagang ayam, para pedagang kini waktu jualannya shift shift an, ada yang jualan pagi, dan sebagian lain gantian jualan di waktu siang, demi sama-sama bisa punya tempat dan rejeki tetap mengalir.

Pagi tampak mulai panas, karena tak ada terpal atau apapun yang biasanya dipakai pedagang buat berteduh. Sinar matahari langsung mengenai kulit. Suasana pasar tampak ramai seperti biasanya, karena memang di pasar ini lah semua barang dijual dengan harga murah. Aku membeli dua ekor ayam, ati ampela, udang dan sayur mayur serta buah untuk kebutuhan seminggu. Belanjanya sudah biasa di langganan, jadi tidak lagi menggunakan tawar menawar. Meskipun ditawar, toh harga paling turun seribu dua ribu, karena rata-rata sudah menjual dengan harga pas, jadi tidak khawatir dimahalkan buat yang jarang belanja disini.
Selesai belanja, Paksu memanggul belanjaan, saya menggendong Fakhri. Duh, bocah yang tampak kurus ini tetap saja membuatku terengah-engah saat menggendongnya. Apalagi pas digendongan badannya sengaja meliuk kesana kemari sambil tak henti menciumi pipi bundanya (so sweet), jadinya makin kepayahan aku menggendongnya.

Sebelum melintasi rel kereta, tak lupa kami menoleh ke kanan ke kiri memastikan keadaan aman. Jalan disisi rel ini memang sangat sempit, jadi harus jalan bergantian jika sama-sama membawa tentengan, karena setengah jalanan dimakan pedagang, ditambah lagi papasan dengan orang yang keluar masuk stasiun atau baru pulang dari pasar yang kebanyakan bawaannya bejibun.
Kugendong Fakhri sampai parkiran. Setelah meletakkan Fakhri posisi berdiri di parkiran, aku menuju tukang kelapa langganan, beli kelapa parut. Paksu sibuk mengemas belanjaan agar memudahkan membawanya. Setelah semua beres dan tak lupa membayar parkir, kami pun keluar parkiran dengan hati-hati. Jangan pikir setelah keluar parkiran langsung ketemu jalanan lancar. Tidak, karena ini masih area pasar. Banyak pengunjung pasar yang menaroh parkir seenaknya, ditinggal belanja di sekitar jalan. Juga becak dengan banyak muatan, dan abangnya yang kecapekan mengayuh becak. Ditambah lagi angkot yang menurunkan penumpang, berderet-deret membuat macet. Sabar saja kalo tiap hari lewat pasar kemiri. Untung saja, aku naik turun kereta tidak di stasiun ini, bisa emosi tiap hari ehehhehe.

Berhasil melewati barisan angkot, kemacetan lain menghadang di depan kami. Yap. Depok diatas jam delapanan pagi, mulai macet bok. Justru macet banget di hari Sabtu Minggu. Lengangnya cuma bentar waktu pagi tadi. Arus kendaraaan yang berasal dari jalan margonda, juga dari arah depok lama tumpah ruah di ujung fly over jalan Arif Rahman Hakim. kadang ikut terpancing juga ketika motor dan kendaraan lain di belakang bersikap tak sabaran, mainan klakson dengan harapan kendaraan di depannya segera memberi jalan. Emang dikira yang denger klakson telinganya gak pada pengeng apa ya. Dengan sangat hati-hati paksu selap selip diantara kendaraan. Ketika kami membelok ke arah jalan kembang, kami bisa sedikit lebih lega sudah masuk di jalanan kampung. Ujug-ujug paksu menghentikan motor di  abang sayur depan mpokalfa, dan menunjuk-nunjuk barang hijau panjang, kode minta dibelikan. Setelah membayar, aku pun memasukkan barang hijau panjang beraroma semerbak ke dalam plastik belanjaan.

Singkat cerita, sampailah kami di rumah. Aku turun dari boncengan dan membuka pagar. Setelah menurunkan Fakhri, aku masuk menaroh belanjaan.

"Bun, plastik(isi) ayam mana?" panggil paksu. Suaranya terdengar panik.
"kan tadi mas yang ngemasin" jawabku
"Iya, tapi ini gak ada. Jatuh apa ya"ujar paksu

Kupastikan keberaaan plastik ayam di belanjaan yang sudah kubawa masuk. Memang tak ada. Tak lama terdengar suara motor paksu menjauh dari rumah. Tinggallah aku di dapur sendiri. Fakhri sudah bergabung dengan kakaknya nonton kartun kesayangan di layar kaca. Fokus mereka tak terganggu ketika ayah bundanya panik kehilangan ayam. Kuambil segelas air putih dan kuteguk cepat. Ada rasa sebal yang tiba-tiba datang. Terbesit tanya, si ayam jatuh dimana? Lumayanlah harga dua ekor ayam, setengah kilo udang dan tiga ati ampela. Sambil menarik napas dan mengumpulkan energi positif, kucoba berpikir jernih. Ya namanya belum rejeki ya begini. Ya sudah seminggu ini makannya tempe tahu telor saja. Males kalau harus mengeluarkan uang lagi untuk belanja ayam. Kalau ayam dkk sudah ditemukan orang dan berniat menggorengnya, semoga itu bermanfaat buat lauk sang penemu. Tapi belajar ikhlas itu susah ya. Tapi tetap berusaha. Wis dah. Lupakan soal ayam. Mau disusuri sepanjang jalan apa iya ketemu? Gimana caranya? Ap malah si ayam sudah remek karena kelindes kendaraan.

Kunyalakan kompor buat menggoreng nugget untuk sarapan anak-anakku. Sambil menggoreng, kumasukkan sayuran-sayuran yang tadi dibeli ke dalam kulkas. Tak berapa lama, terdengar suara motor paksu. Antara harapan tapi takut kecewa, aku mengintip dari pintu dapur. Kudengan Faris bertanya ke ayahnya soal palastik merah yang dibawa. Hmm,...plastik merah???

"Ketemu dimana mas?" tanyaku senang saat kulihat plastik ayam ditenteng paksu
"Wah,.tadi mas udah sampai parkiran lagi. Pelan-pelan nengokin ke bawah kiri kanan. Eh ini tadi ketemu di di jalan Palem"jelas paksu
"Kok bisa ketahuan?"tanyaku penasaran
"Iya, tadi pas lagi noleh-noleh Mas lihat ada plastik merah di ruko jalan Palem. Trus ada koko-koko nanya, nyari apa mas? mas jawab nyari plastik isi ayam. Kayaknya itu ya ko? tanya mas sambil nunjuk plastik merah di ruko si koko. kata koko nya, tadi itu plastik dikira sampah, pas dibuka isinya ayam. Alhamdulillah ya bun, masih rejeki kita" senyum paksu sambil menowel hidung pesekku.
"Iya, alhamdulillah, seminggu ini gak jadi makan cuma dengan tahu tempe aja hehehe"

Terkadang, manusia susah untuk bersikap ikhlas, dan terlalu menakutkan tentang rejekinya. Dia lupa, ada Alloh sang maha pemberi rejeki. Kadang manusia, terlalu egois, ketika miliknya ada yang hilang. Tak jarang ada doa jelek yang terucap pada siapa saja yang menemukan barang miliknya. Padahal barang hilang tersebut karena keteledorannya sendiri, bukan karena dicuri atau diambil. Hikmahnya, ikhlaskan jika barangmu hilang karena keteledoranmu. Seandainya barang milikmu ditemukan orang dan orang itu tidak mau mengembalikan, ya ikhlaskan. Semoga Alloh memberi gantinya yang lebih baik. Namun, ketika kita berusaha untuk mengikhlaskan, ndilalah barang tersebut malah kembali lagi ke kita.

Selasa, 31 Juli 2018

Saya Pernah Bekerja di Pabrik (Bagian Satu)

      Aku pernah merasakannya. Hidup berdampingan dengan gemuruh suara mesin. Manusia-manusia yang mempunyai kesibukan berdasarkan jam kelompoknya. Mess yang selalu ramai saat jam pulang kerja, dan kembali menjadi sunyi saat ditinggalkan penghuninya. Para pedagang makanan matang penyelamat dari kelaparan, serta nikmatnya tidur panjang di hari libur yang panjang.

Tahun 2000
      Lulus sekolah, tapi tak lulus ujian menuju kampus idaman. Membuatku terpuruk dalam keminderan. Malas keluar rumah, karena akan selalu dapat sapaan tetangga. 
-Masih di rumah aja?
-Katanya kuliah, kok belum berangkat?
-Nggak jadi kuliah?
-Gak kuliah di rumah mau apa?
-Emang kemarin ambil jurusan apa kok gak lulus? ketinggian sih standarnya.
dan....banyak sekali pertanyaan sejenis yang dilancarkan para tetangga.
seolah aku adalah artis terkenal. Orang beken, yang segala urusanku perlu diketahui oleh khalayak umum. Hariku terasa berat. Berat badan pun naik pesat. Bayangkan saja kerjaan tiap hari hanya makan minum tidur. Main keluar rumah jarang, abisnya takut ditanya-tanya orang.
      Sesekali aku turun ke sawah membantu orang tuaku menanam padi, mencabuti rumput, dan memanen padi ketika sudah masuk waktu panen. Jangan dibayangkan apa enaknya di sawah. Selain puanas, bikin kulit jadi eksotik, kaki gatal, rambut merah, juga kadang-kadang ada hewan lintah. Tapi, sebagai anak yang baik, kutunjukkan baktiku pada orang tua. Masak cuma makan tidur aja kerjaanku.
      Waktu berlalu terasa lambat. Pengin rasanya segera masuk bulan-bulan daftar kuliah. Kenapa tidak memanfaatkan waktu buat bimbel? Gak punya duit, itu jawabnya. Pengin kerja, kerja kemana? Gimana nyarinya? Ah...terbayang betapa susahnya menjadi aku waktu itu. Anak muda yang baru lepas dari bangku SMU dan baru merasakan gimana rasanya perjuangan hidup setelah lepas seragam putih abu. Duit tak punya. Gebetan tak ada. Hampa dah hampa.
      Empat bulan berlalu terasa setahun. Suatu ketika untuk menghilangkan suntuk aku pergi ke kota, naik sepeda ontel cuyy, demi untuk menghemat ongkos. Jarak desa ke kota sekitar dua belas kilo, dengan beban dua puluh kilo diboncengan. Iya, aku pergi bareng adikku yang masih berumur sembilan tahunan demi agar selama perjalanan aku punya teman ngobrol. Kami ke kota, sekedar untuk beli mie ayam dan es teh manis. Iya sesekali kami pun orang ndesa butuh hiburan. Sekedar makan mie ayam pun itu sudah sebuah hiburan yang mewah. Kau tahu kawan? Hidup di desa dari keluarga yang sederhana dengan penghasilan seadanya, nyari uang itu susah bener. Mau jajan barang seharga seribu dua ribu pun susah. Maka kadang kami anak kecil suka nahan-nahan jajan dari uang yang kami kumpulkan entah pemberian kakek nenek atau saudara, seratus dua ratus rupiah, kami kumpulkan untuk bisa membeli semangkok mie ayam. Bukan ayam goreng kaefsi atau mekdi atau yang serba kekinian, kami tidak kenal semua itu.
      Pulang dari kota, jam dinding tua sudah menunjukkan pukul dua siang. Ada bekas gelas teh di meja ruang tamu. Ibu dan bapakku sudah berangkat kembali ke sawah. Kuhabiskan waktu dengan bermain bersama adikku menunggu kepulangan bapak ibuku. 
"Tadi temanmu Marni kesini waktu kamu ke kota"ucap ibuku sore itu di dapur sambil mengaduk sayur
"Marni ada pesan apa bu?"tanyaku penasaran
"Dia bilang mau ke Purwakarta cari kerja. Mau ngajakin kamu"
 "Ya besok aku coba main ke rumahnya"
              
                    *********
      Dua hari berlalu. Aku lupa pada janjiku untuk main ke rumah Marni. Ketika siang itu ibu pulang dari rumah, ibu membujukku untuk ke rumah Marni. Kukayuh pelan-pelan sepedaku membelah siang hari yang panas dan berangin sepoi. Suasana desa sepi. Kebanyakan warganya sibuk di sawah ladangnya. Sepedaku menembus pohon-pohon jagung dan aneka tanaman lain. Sesekali suara ternak mengembik bersahutan. Rumah marni tak jauh lagi, diujung perladangan ini. Kusandarkan sepeda pada pohon mlinjo di halaman rumah. Tanganku mengetuk pintu yang sedikit terbuka.
      Simbok Marni menyambutku. Setelah salaman dan saling menanyakan kabar, kuutarakan maksud kedatanganku. Kaget kudengar kabar itu. Kecewa itu pasti. Aku terlambat. Marni telah berangkat ke Purwakarta tadi pagi. Air mata menetes. Kuminta alamat yang dituju Marni di Purwakarta sana. Entah bagaimana dan dengan siapa aku akan menyusulnya ke Purwakarta.
      Aku menangis sepanjang perjalanan ke rumah. Menyesal. Kenapa aku kemarin tidak segera ke rumah Marni ketika tahu dia ke rumahku. Aku harus menyusulnya. aku harus kerja. Pergi ke Purwakarta adalah alasan yang jelas agar aku terlepas dari segala pertanyaan orang. Agar aku bisa tegak lagi menatap dunia. Agar aku bisa membuang segala keminderanku karena gagal diterima di kampus impian.

Jumat, 20 Juli 2018

Tangisku Luruh dalam Kebekuanmu

(Nyoba bikin cerpen. ini kutulis tahun 2012)

"Sekarang kamu makan. Selesai makan, bantu Bapak mengangkat gabah yang sedang dijemur" ucap Bapak tegas tanpa ekspresi.
Aku menganggguk. Kakiku masih pegal-pegal setelah jalan sekitar tiga kilo meter jarak dari sekolah ke rumah. Rasanya aku ingin istrirahat, merebahkan badanku di dipan kayu dan bisa tidur. Tetapi khayalanku harus kembali kukubur dalam-dalam. Perintah Bapak harus aku laksanakan, tanpa alasan. Aku makan dengan pelan, menikmati tumis kangkung dan tempe goreng serta sambal terasi. Ibu masih sibuk membolak-balik gabah yang sedang di jemur. Panas matahari sudah berkurang, berganti dengan awan yang mulai menghitam menggelayuti langit.

 "Ayo cepat makannya. Nanti keburu hujan dan padi-padi belum masuk rumah" teriak Bapak dari halaman
Buru-buru kuselesaikan makanku, dan segera menuju halaman sebelum Bapak bertambah marah.

Padi-padi yang tadi dijemur sudah selesai dimasukkan ke dalam karung-karung. Ada lima belas karung. Dan au harus memanggulnya satu persatu. Padi-padi ini bukan sepenuhnya milik Bapak, tetapi milik Bu Sri, pemilik sawah yang digarap bapak. Besok siang bu Sri akan datang mengambil hasil paro, setengah dari jumlah padi di karung-karung ini. Sudah empat karung padi yang berhasil kupindahkan ke rumah. Duh, aku lelah sekali. Pengin rasanya bilang ke bapak, biar bapak membantuku.
"Yang benar bawanya. Anak laki-laki harus kuat" teriak bapak ketika melihatku terhuyung saat memanggul padi.

Ditengah pekerjaanku mengangkuti padi, beberapa teman mainku melintas. Rupanya mereka hendak pergi memancing persawahan dekat kantor pos.Pengin sekali aku ikut memancing. Membayangkan dapat ikan banyak, digoreng buat lauk makan malam. Hmm, nikmat.
"Wan, kami mau memancing. Mau ikut?" Budi menawariku
"Iya, ikannya lagi banyak. Kemarin saja kita dapat ikan banyak" cerita Jono berapi-api, membuatku semakin tertarik

Aku menengok ke arah bapak. Bapak memandangku galak. Dari sorot matanya, aku paham bapak tak mengijinkan aku ikut mereka. Aku menggelengkan kepala ke arah teman-temanku. Mereka juga kecewa karena aku tak bisa bergabung dengan mereka.Mereka paham bagaimana watak bapakku.

Pekerjaan mengangkuti padi selesai sudah. Kuteguk segelas air putih. Peluh membanjiri dahi dan punggungku. Kutarik nafas penuh kelegaan. Selesai kerjaan ini, berarti aku bisa menyusul teman-temanku. Hari beranjak sore. Kukemasi peralatan memancingku. Kail, joran, dan umpan berupa cacing yang kucari di tanah belakang rumah telah siap. Aku mengendap-endap keluar pintu samping. Ehm. Suara deheman bapak seketika menghentikan langkah kakiku.
"Mau kemana? Tugasmu belum selesai" bentak bapak
"Itu, beras ibumu sudah habis" tangannya menunjuk pada ember penyimpanan beras yang sudah kosong "Sekarang, ke penggilingan padi, bawa gabah yang digudang" lanjutnya
Uh, bapak. Kapan sih aku bisa beristirahat dan bisa menikmati duniaku barang sejenak. Jengkel dengan sikap bapak, aku pun lari dengan peralatan pancingku. Eh ternyata bapak mengejarku. Aku kalah gesit dan bapak berhasil mencengkeram krah bajuku.

"Dasar anak nakal. Pulang" tangan kekar menampar pipiku.
Sakit dan panas sekali rasanya pipiku. Beberapa orang tetangga yang melihat kejadian ini tak bisa berbuat apa-apa. Mereka sudah hapal, bapak memang terkenal galak dan pemarah.Dengan terpaksa kuturuti kemauan bapak. Kutuntun sepeda dengan langkah cepat. Sekarung gabah kuletakkan ditengah-tengah sepeda. Iri rasanya melihat anak-anak seumuranku yang sedang asyik bermain bola di halaman, ada juga yang asyik bersepeda dengan penuh canda tawa.

**************************

 Pagi ini kembali aku ke sekolah jalan kaki. Kata bapak sepedaku mau dipakai ibu ke sawah. Padahal ibu sudah bilang, ke sawahnya mau jalan kaki saja, lewat jalan pintas biar bisa cepat sampai. Kasihan kalau aku jalan kaki lagi, mana pulangnya panas-panas. Tetapi, bapak tak menggubris permintaan ibu. Entahlah, kok bapak rasanya tak pernah sayang padaku. Tak pernah tahu dan mau tahu kebutuhan sekolahku.Bayar sekolah pun aku harus minta berkali-kali. Kalau pun akhirnya diberi, tak jarang uang itu disumpalkan kemulutku saat aku menangis menunggu uluran uang darinya.

Siang ini begitu panas. Teman-temanku sudah pulang duluan, mungkin sudah sampai rumah. Aku jalan kaki sendiri. Bukannya tak ada yang menawariku untuk dibonceng sepeda, tetapi aku merasa tak enak menumpang terlalu sering. Duh, ujian kenaikan kelas seminggu lagi. Bagaimana aku bisa belajar dan dapat nilai bagus, kalau setiap hari aku harus selalu bantu bapak ini itu. Setiap pulang sekolah selalu ada pekerjaan yang menungguku. Seolah bapak tak pernah senang membiarkan aku tenang tak terganggu.

"Jadi anak itu harus nurut sama orang tua. Gini-gini aku bapakmu, yang ngasih makan kamu. Kalau masih kecil saja susah diatur, bagaimana nanti kalau sudah besar? Jangan ikut-ikutan teman-temanmu. Mereka anak orang berpunya. Kamu? kalau bapak tak kerja mati-matian kita semua tak bisa makan" panjang lebar pidato bapak saat melihat mukaku yang cemberut dan ditekuk waktu disuruh menggembala kambing

"Wawan kan mau belajar Pak. Seminggu lagi ujian untuk kenaikan kelas" rajukku
"Alah. belajar. belajar. Memang mau jadi apa kamu nanti. Tetap aja nanti jadi orang susah seperti bapakmu ini" bantah bapak

Dengan cemberut kukeluarkan empat kambing-kambing ini dari kandang. Tanpa mempedulikan raut wajah keterpaksaanku, kambing-kambing itu keluar kandang dengan ceria. Tanpa dikomando mereka kompak menuju lapangan rumput yang letaknya beberapa rumah dari rumahku. Lapangan rumput ini persis di pinggir jalan raya. Motor dan mobil berseliweran. Beberapa anak gembala berteduh di bawah pohon cemara yang mengitari sepanjang lapangan rumput. Angin sepoi-sepoi membelai wajahku. Nikmatnya. Kambing-kambingku sedang asyik merumput. Hoamm. Mengantuk.

"Hei, bangun!" aku kaget ketika sebuah pukulan kayu telah melayang di kepalaku. bapak.
" Disuruh jaga kambing malah enak-enak tidur. Tuh, kambingmu keserempet motor" kualihkan pandanganku ke seberang jalan. Seekor kambingku terduduk dengan kaki berlumuran darah. Aduh. Salah lagi.
"Makanya kalau kerja yang benar" kembali bapak memukulkan kayu kali ini ke punggungku.
"Ampun pak. Sakit" Sebisa mungkin kutahan air mataku. Aku tak mau menangis dan dibilang cengeng. Malu dilihat orang-orang yang lewat.

Sejak insiden kambing, kegalakan bapak makin menjadi-jadi. Aku selalu jadi bahan pelampiasan. Aku sudah tak betah di rumah. Mau pergi, pergi ke mana? Pengin rasanya nakal sekalian daripada aku tersiksa begini. Tapi mau merokok aku tak punya uang. Mau nongkrong-nongkrong di perempatan jalan, kasihan ibu pasti malu kalau aku jadi omongan. Detik demi detik tak cepat berlalu. Setahun lagi, setelah aku lulus SMP, aku bisa bebas dari rumah ini, dari neraka yang diciptakan bapak. Kadang aku berpikir, apa aku bukan anak kandungnya, kok bapak begitu galak dan ganas padaku. Ibu juga sering tak bisa bertindak netral, tak bisa membelaku saat bapak memarahiku.
"Betapa pun buruk tabiatnya, dia itu bapakmu, bapak kandungmu. Tanpa dia, tak mungkin kamu ada di dunia ini" Nasihat ibu setiap kali kukeluhkan sikap bapak.