Selasa, 01 Mei 2012

Warna-Warni Pagi di Rangkaian Si Ular Besi

Aktivitas pagi telah dimulai. Matahari masih malu menampakkan diri. Tetapi, para manusia telah ramai memenuhi stasiun Depok Baru ini. Menunggu kedatangan kereta sesuai tujuannya. Beberapa calon pengguna kereta terburu-buru berlari ke peron begitu terdengar pengumuman bahwa kereta akan segera masuk jalur 1.

Pintu terahir, Gerbong KKW (Kereta Khusus Wanita), Bogor-Tanah Abang
Pintu belum membuka sempurna ketika kereta merapat di stasiun Depok Baru. Namun, para wanita sudah berebut, merangsek masuk. Teriakan terdengar dari mereka yang terkena dorongan. Sudah biasa terjadi keriuhan seperti ini, lalu sebentar kemudian kembali menjadi sepi. Meninggalkan stasiun Depok Baru, kereta oleng karena ada perlintasan rel. Kembali teriakan terdengar.
"Aduh, jangan dorong-dorong donk"
"Yee,..siapa juga yang dorong. kan memang lagi diperlintasan rel, agak miring pula tanahnya"
"Sudah. sudah. Memang begini kalau naik kereta"

Kereta melaju perlahan. Sepanjang kanan rel, pasar tradisional Kemiri Muka menampakkan geliatnya. Para pedagang sibuk melayani pembeli yang membeli dagangannya. Beberapa motor dengan muatan penuh sayuran memberi jalan pada lajunya si ular besi. Kereta hampir mencapai stasiun Pondok Cina.
"Ntar jangan dikasih masuk aja. Biar mereka ikut kereta berikutnya"
"Benar, gak usah dikasih masuk"
"Itu yang depan-depan nahan donk"
"Jangan begitu. Kasihan. Ini kan fasilitas publik"

Pintu kereta terbuka, langsung diserbu wanita-wanita perkasa, dengan sorot mata siaga dan menghiba mencari celah diantara kaki-kaki bersepatu yang tertata di lantai kereta.Para penumpang yang bersiaga di depan pintu terdorong masuk ke dalam. Teriakan, gerutuan, omelan tak dipedulikan. Yang penting bisa masuk, terangkut, itu sudah lebih dari cukup.
"Ibu, tasnya dong bu, kena wajah saya nih. Bisa enggak di taruh di atas saja" tangannya menunjuk ke rak di atas tempat duduk. Ternyata sudah penuh dengan tas dan aneka bawaan lainnya.
"Bu, bu. Tasnya isinya apaan sih, kok punggung saya yang kena, sakit semua"
"Oh, isinya botol kaca penampung ASI" yang ditanya menjawab dengan senyuman penuh bangga. Bangga karena bisa tetap memberikan ASI untuk buah hatinya meskipun dirinya bekerja, bukan bangga karena membuat sakit punggung tetangga.
"Mbak, bawa apaan sih? kok anget-anget panas"
"Oh, bawa bubur ayam mbak"

Stasiun Universitas Indonesia
Pintu terbuka. Serombongan wanita-wanita menatap penuh harap, ada ruang yang tersisa buat mereka.
"Mas, tolong dorongin saya" ucap calon penumpang pada petugas penjaga pintu masuk. Si mas mendekat.
"Satu dua tiga. Hup" didorongnya si mbak dengan sigap yang berakhir dengan teriakan beberapa penumpang dari dalam gerbong.
Pintu hampir ketutup, ketika tiba-tiba seorang makhuk asing, menyeruak memaksa masuk. Para penumpang dekat pintu saling berpandangan dalam diam. Saling bertanya meski tanpa berucap. Waduh, gimana nih? kereta mulai melaju. Si makhluk asing diam menatap pemandangan di luar pintu. Tak disadari tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya.
"Pak, ini gerbong khusus wa-ni-ta". kata wanita diucapkan dengan jelas.
"Iya mas. Mas salah masuk gerbong" sambut yang lain. Kalau ada yang mendahului, yang lain mengikuti.
Si Mas-mas terkaget-kaget. Mungkin jarang naik kereta, jadi tak tahu kalau gerbong paling depan dan paling belakang adalah gerbong khusus wanita.Wajahnya memerah, gugup dan salah tingkah. Ditepoknya jidatnya berulang kali. Matanya tak berani melihat ke para wanita di sekitarnya yang menatapnya dengan pandangan beragam.

Begitu masuk stasiun Universitas Pancasila, si Mas keluar dengan perasaan lega, terbebas dari pandangan curiga wanita. Berlari cepat menuju ke gerbong campur. Seumur-umur baru kali ini jadi pusat perhatian para makhluk manis dengan pandangan sinis. Stasiun UP terlalui tanpa hambatan. Di stasiun ini, di peron belakang jarang sekali dapat tambahan muatan. Yang diserbu selalu pintu depan kereta.

Menjelang stasiun Lenteng Agung, para penumpang mulai gelisah. Sedikit-demi sedikit bergeser memberi celah. Stasiun ini terkenal angker dan menyeramkan. Daripada terlempar, terdorong dengan kasar, lebih baik menyingkir. Pintu terbuka, sesaat setelah beberapa penumpang menyingkir ke kiri dan ke kanan. Ternyata celah yang ada tak mampu menampung banyaknya penumpang yang ingin masuk.
"Aduh, udah full. Jangan maksa. Ikut kereta belakangnya saja" teriak ibu-ibu di ujung pintu belakang
"Hm,...bisa jadi ikan asin nih tiap pagi begini"
"Ihh, naik kereta ongkosnya enam ribu sampai tujuh ribu. Buat pijit lima puluh ribu. Tekor deh gue"
"Ini yang naik dari Lenteng, sarapannya apa sih? kok kuat-kuat banget ya. Tenaganya luar biasa"
"Bukan sarapannya apa, sarapannya berapa piring kaliiii"

Kereta melesat ke Tanjung Barat. Jarak Lenteng-Tanjung barat lumayan jauh. Sepanjang kiri kereta, Jalur motor mobil macet luar biasa, tetapi hal biasa bagi penduduk ibukota. Seorang Mbak-mbak yang lagi asyik update status lewat BB nya dicolek penumpang di belakangnya.
"Mbak mau turun enggak? tukeran tempat donk"
Si Mbak bergeser dengan tangannya masih sibuk otak-atik BB. Pintu kebuka. Para penumpang turun.Seseorang menjerit.Mungkinkah kejepit?
"Aduh mbak, kenapa?" tanya orang-orang dengan panik.
"Turun aja dulu mbak. Minta petugas ngambilin sandalnya"
"Nggak apa-apa, sandal jepit ini. Saya buru-buru, takut kesiangan"
Si Mbak kembali memencet BBnya, update status,'sandal gue jatuh di stasiun Tanjung Barat. Tobat. Kereta penuh amat seh'

Kereta terus melaju ke Pasar Minggu
"Bu, mau turun enggak? tukeran tempat ya"
Si ibu yang ditanya tak menjawab.
"Maaf, bu. mau turun enggak?"
"Ih, cerewet amat. Sudah lewat belakang saya saja. Terserah donk saya turun dimana"
Si Ibu tetap tak mau menggeser posisinya. Si Mbak juga tetap merangsek menuju pintu. Bagaimanapun dia harus turun di Pasar Minggu.
"Aduh, sakit amat nih" si ibu tadi spontan melihat ke bawah
"Eh, mbak. Tolong ya, kalo naik kereta jangan pakai high heel. Sakit tau keinjak"
"Ya, terserah saya donk mau pake apa" Si Mbak merasa punya kesempatan untuk membalas
"Sudah-sudah. Jangan berantem, masih pagi. Buang-buang energi"

Di stasiun Pasar Minggu, banyak penumpang yang turun, tetapi yang naik juga banyak. Turun tiga naik lima. Seorang penumpang dengan perut besar hendak masuk. Orang-orang sudah berpandangan. Mau melarang bingung, membiarkan juga kasihan. Berdesakan dengan perut membuncit tentu sangat tak nyaman.
"Mbak-mbak yang duduk. Tolong gantian ya. Kasih tempat duduknya buat ibu hamil ini" ucap seorang ibu
Yang disapa hanya membuka mata sedikit dan kembali menutupnya. Tidur atau pura-pura tidur?
"Mbak,...kasihan ibu hamil ini. Gantian duduknya ya?" colek ibu yang lain
"Hm, sedang tak enak badan, Bu. Ke tempat duduk prioritas saja" jawabnya cuek.
Bagaimana mungkin hendak ke tempat duduk prioritas, bergerak saja terbatas.
"Memang bukan tempat duduk prioritas, tapi berbagi kebaikan kan lebih prioritas" ujar si Ibu.
Si Ibu hamil hanya bisa mengusap-usap perut buncitnya.
Penumpang yang lain mulai beraksi, mencolek orang di sebelah mbak yang menolak memberikan tempat duduknya.
"Mbak, meskipun ini bukan tempat duduk prioritas, tolong gantian duduknya dengan ibu hamil ini ya?"
Untungnya si mbak ini dengan rela memberikan tempat duduknya diiringi senyum sumringah si ibu hamil dan pandangan lega dari para penumpang lain.
"Semoga Allah membalas kebaikanmu, Mbak" ucap si ibu hamil penuh haru

"Ya Allah, hape saya tak ada. Kok resleting tas saya kebuka" teriak seorang ibu-ibu dengan panik
"Hati-hati bu. Ada copet berkeliaran" bisik-bisik penumpang di samping si ibu
"Hah. Ini kan gerbong khusus wanita. Masa iya" si Ibu masih berpikiran positif
"Zaman sekarang bu, profesi tak mengenal gender"

Stasiun Pasar Minggu Baru.
Aman. Tak ada penumpang yang turun maupun naik. Stasiun sepi. Mulai terasa ada dorongan-dorongan serentak di sisi kiri kanan.
"Bu turun Kalibata? Tolong tukeran tempat ya"
Yang ditanya tidak menjawab, diam saja.
Beberapa orang di depan pintu tak mau bergeser. Oh, barang kali mereka juga akan turun di kalibata.

"Ya sudahlah, kalau tak turun dan tak mau bergeser kita dorong aja ramai-ramai" celetuk beberapa orang dari belakang.
"Betul. Setujuh"

Benarlah, begitu kereta masuk ke stasiun Kalibata, dan pintu terbuka. Orang-orang berhamburan turun. Dua orang yang ternyata tak turun tapi tak mau tukeran tempat, ikut terdorong, bahkan sampai jatuh. Ternyata kalau ibu-ibu nekad bersatu hasilnya sangat menakutkan.
"Aduh, kok didorong-dorong sih. Jatuh nih" teriak ibu yang jatuh
"Salah sendiri, sudah ditanya dan disuruh minggir enggak mau minggir juga"
"Makanya Bu, kalau tidak turun jangan berdiri dekat pintu"
"Eh, tolongin dong, bukannya nolong malah ngata-ngatain" beberapa orang yang masih punya hati segera menolong si Ibu yang jatuh.


Tips naik kereta :
Kuatkan tekad, Sarapan yang banyak, berani mendorong agar bisa masuk, Waspada terhadap aksi copet, Jangan pakai high heel, sepatu anda bisa menginjak kaki siapa saja dengan tingkat kesakitan yang tinggi. Jangan terlalu kencang mendengarkan music by earphone, akibatnya bisa tak mendengar saat ditanya orang. Tanyalah penumpang depan Anda ketika hendak turun, agar bisa memberikan jalan buat Anda. Yang paling penting, jangan kapok naik kereta.




Rabu, 25 April 2012

Tips Membeli Rumah dengan Sistem KPR (Kredit Pemilikan Rumah)

Rumah adalah kebutuhan pokok selain Pangan (makan) dan Sandang (pakaian). Untuk orang yang sudah mampu, rumah adalah kebutuhan utama. Rasanya, akan jauh lebih nyaman tinggal di rumah sendiri meskipun kecil dan nyicil, daripada tinggal di kontrakan yang bagus tapi bukan milik sendiri. Tulisan ini tak bermaksud untuk menyinggung pihak mana pun atau siapa pun. Terus terang, saya sebagai penulis tulisan ini juga pernah mengalami menjadi anak kost, menjadi pengontrak rumah selama dua tahun.

Bagi sebagian orang, kendaraan lebih penting dari rumah. Persepsi orang berbeda-beda, semua punya alasan masing-masing. Tetapi, bagi sebagian besar orang tua, pasti lebih merasa senang dan tenang ketika anaknya terutama yang sudah berkeluarga, mempunyai rumah sendiri.

Untuk sebagian orang yang penghasilannya sangat tinggi, membeli rumah mungkin perkara gampang. Tetapi, bagi orang dengan penghasilan biasa-biasa saja, termasuk saya, membeli rumah perlu perjuangan panjang. Mau membeli cash, tak cukup uang. Menabung, uangnya tidak kumpul-kumpul, malah terpakai lagi dan lagi untuk hal lain yang bukan prioritas. Salah satu yang bisa dilakukan adalah membeli rumah dengan sistem KPR (Kredit Pemilikan Rumah).

Berikut ini adalah tips-tips untuk pembelian rumah secara KPR :

 1. Kalau beli rumah di perumahan, pilih Developer terpercaya yang sudah terkenal bagus bangunan dan kualitas terjamin
Kalau untuk rumah yang di luar perumahan (di perkampungan) pilih yang lokasinya masuk mobil

2. Pilih lokasi rumah yang bebas banjir, strategis
Untuk mengetahuinya, saat yang tepat untuk mencari tahu adalah saat musim hujan

3. Pilih bank pemberi kredit yang terpercaya
Suku bunganya tetap, atau berubah-ubah?


4. Surat Keterangan Penghasilan
Surat ini didapatkan dari perusahaan tempat kerja orang yang mengajukan KPR. Pihak pemberi KPR biasanya menelpon ke perusahaan untuk klarifikasi kebenaran surat keterangan penghasilan tersebut.

5. Fotokopi buku tabungan/rekening koran, 3 bulan terakhir
Ini sangat penting. Dari sinilah, bank pemberi kredit bisa tahu sehat tidaknya keuangan orang yang   mengajukan KPR.


6. Siapkan DP (down payment) alias Uang Muka
Umumnya DP berkisar 20% dari total harga rumah. Untuk harga rumah 200 juta, DPnya berarti 40 juta.
Banyak ya? Iya. Makanya menabung dulu, kencangkan ikat pinggang, jangan banyak jajan yang tak perlu.
Nah, meskipun DP biasanya 20%, tetapi, jika plafond kredit yang diberikan bank tidak sesuai dengan yang diajukan, berarti harus menambah DP lagi

7. Jika akad kredit telah dilaksanakan, dan ada jadwal bertemu dengan arsitek dari developer perumahan, manfaatkanlah.
Anda bisa mengajukan permintaan agar ruangan di desain sesuai keinginan anda. Tetapi, tentu saja tak semua keinginan anda diterima. Biasanya, Bagian muka rumah harus sama, hanya desain dalam yang boleh berbeda.

8. Pantau terus pembangunan rumah.
Biasanya developer akan menginformasikan sejauh mana pembangunan rumah anda. Mungkin saat selesai pasang keramik anda bisa mengecek apakah ada keramik yang pecah atau salah pasang.

9. Pastikan waktu pembangunan rumah sesuai janji Developer
Rata-rata pembangunan sebuah rumah di perumahan memerlukan waktu 4-6 bulan. Jika developer berjanji membangun paling lama enam bulan, sedangkan masa enam bulan hampir habis, sering-seringlah menelpon developer untuk menunaikan kewajibannya.

10. Tanyakan berapa lama waktu pemeliharaan bangunan
Jika waktu pemeliharaan adalah enam bulan, berarti jika ada kerusakan misalnya genteng bocor, mesin air rusak, maka yang bertanggungjawab memperbaiki adalah pihak developer bukan pemilik rumah.

Selamat berburu rumah,..

Pengalaman Seru : Berburu Rumah Idaman

Setahun setelah menikah, aku dan suami berencana untuk membeli rumah idaman. Alasannya, bosan mengontrak. Apalagi harga kontrakan naik setiap tahun.Ditambah lagi, kami sudah kena banjir tiga kali saat banjir besar melanda Jakarta, tetapi kami malas pindah kontrakan dan angkut-angkut barang. Rumah yang kami idamkan, standar saja. Cukup dua kamar tidur, satu kamar mandi, ada ruang tamu, ruang tengah, teras ya sekitar lebar dua meter, juga dapur. Lokasinya strategis, dekat dengan jalur transportasi. Secara kemampuan, kami tak punya cukup uang. Duit di tabungan hanya ada beberapa juta saja. Tak kehilangan akal, kami pun memutuskan untuk meminjam kredit tanpa agunan ke sebuah bank pemerintah. Setelah proses kredit disetujui dan uang sudah masuk ke rekening, perburuan untuk mencari rumah pun dimulai. Aku mulai bertanya-tanya ke teman-temanku yang sudah punya rumah duluan. Bagaimana mereka mencarinya? Kira-kira butuh waktu berapa lama? Ya, tentu saja kalau uang kami banyak, mungkin tak butuh waktu lama untuk mendapatkan rumah. Masalahnya, budget kami terbatas.

Berbekal koran yang setiap hari aku pinjam dari teman kerja sebelah meja, aku mulai rajin membaca iklan-iklan rumah di jual. Tentu saja, karena budget terbatas, rumah yang dicari kami utamakan yang di perkampungan alias di luar komplek perumahan. Wow,...ternyata harganya mahal-mahal, jauh diatas budget. Ya iyalah mahal, orang yang kamu lihat iklan di kompas, begitu komentar temanku. Aku hanya senyum-senyum saja, maklum belum pengalaman. Saran temanku, bacalah koran Pos Pota, terutama edisi sabtu-minggu. Di situ, banyak sekali iklan rumah di jual. Akhirnya, setiap sabtu-minggu aku dan suamiku rajin memelototi iklan baris rumah di jual di Pos Kota. Setiap menemukan rumah yang murah, dan lokasinya masih sekitar Jakarta Selatan, aku  dan suami dengan semangat empat lima segera menelepon ke nomor telepon pada rumah yang diiklankan. Rumah yang kira-kira memenuhi syarat idaman kami, kami tulis pada buku kecil. Alamat, nomor telepon dan perkiraan lokasi sesuai pembicaraan telepon. Setelah menelpon ke beberapa rumah yang diiklankan, dan catatan telah siap, biasanya minggu pagi-pagi, kami mulai berburu.

Pengalaman-pengalaman seru kami dapatkan. Pencarian pertama, sebuah rumah di dekat Pasar Minggu, arah Ragunan. Setelah di jalan beberapa kali menelpon karena salah jalan, kami hampir menemukan alamat yang dicari. Ya Ampun, kok jauh banget dari jalan utama, jalan memutar-mutar, ke kiri, kanan, kanan, kiri. Tanya sama orang yang lagi duduk depan rumah. Rumah nomor 10A yang mana pak? Oh, itu, ke kanan dikit, lewat jalan kecil. Duh,..sudah malas melanjutkan, tapi telanjur. Ternyata, rumah itu menghadap ke samping jalan raya. Depan rumah sudah tembok orang. Teras rumah sempit dengan lebar sekitar satu meter. Tak ada cahaya matahari. Rumah itu pun kami coret dari daftar.

Pencarian selanjutnya, sebuah rumah yang katanya dekat jalan TB. Simatupang. Setelah menelpon, kami mendapat arahan. Motor kami lajukan sampai dekat kantor pajak Pasar Minggu. Ada jalan sebelum kantor, ke belakang, ke kanan, duh aku tidak hafal. Urusan jalan, aku serahkan ke suami. Setelah masuk cukup jauh, ketemu rumah yang kami cari. Rumahnya sesuai dengan idaman kami. Tapi, ternyata sebelah rumah adalah warnet dan banyak sekali anak-anak punk yang nongkrong di situ. Hm,..kami coret lagi.

Rumah ketiga. Sebuah rumah di daerah Ciganjur apa Jagakarsa ya? Pokoknya, melewati jalan depan rumah sakit Zahirah, terus ke belakang. Hatiku langsung sreg melihat rumah tersebut. Kecil, sesuai standar kami. Baru selesai dibangun, masih tahap finishing. Saat itu, hujan yang tak begitu deras turun. Kami pun menanti hujan reda sambil mengobrol dengan pemilik rumah. Setelah hujan reda kami pulang, dan kalo cocok, akan kembali lagi. Olala, ternyata jalan menuju rumah baru yang tadi kami lalui, telah penuh dengan air. Aku sudah takut saja kalau daerah itu daerah banjir. Pencarian hari itu pun kami cukupkan.Rumah itu pun kami coret dari daftar.

Hari-hari selanjutnya tetap sama, mencari iklan, menghubungi, mencatat pada buku kecil.Kadang, teman-temanku ikut membantu perburuan ini. Saat jalan dan menemukan ada iklan rumah murah yang kebetulan mereka lihat, mereka beritahukan padaku.Teman-temanku yang tinggal di Depok pun ikut menyemangatiku, dan membantu mencari rumah sekitar Depok.

Entah untuk pencarian yang ke berapa. Aku sudah lupa. beberapa unit rumah siap bangun di Pasar Minggu. Untuk ukuran komplek, ini terhitung murah, pikir kami. Dengan bersemangat, kami menuju sebuah rumah di  jalan raya Pasar Minggu, arah Tanjung Barat. Sebelum pintu rel Poltangan. Oh, rupanya sebuah kantor pemasaran. Kami bertemu langsung dengan pemilik. Setelah membahas mengenai rumah, melihat gambar desainnya, selanjutnya kami bertiga menuju lokasi tanah. Jalannya lebar, bisa masuk mobil, lokasi tak begitu jauh dari jalan raya. Nah, mataku melihat deretan nisan yang terletak tak begitu jauh persis di belakang lokasi yang akan dibangun rumah. 
"Ih, deket kuburan Mas" kataku pada suamiku
"Iya sih Bu. Tapi kuburan di kota 'kan tidak seram seperti di desa" kata pemilik tanah menanggapi perkataanku. Kembali kucoret daftar rumah pada buku kecil.

Perburuan berikutnya daerah Depok, sekitar Kembang Beji. Lagi-lagi gagal. Kali ini, karena tidak sesuai dengan budget kami, alias ketinggian. Pemilik rumah tetap keukeuh tak mau menurunkan harga rumah sedikit pun. Ya sudahlah. Lagi tidak BU (butuh uang). Beberapa lama memutuskan berhenti berburu rumah.Capek. Lagi pula, aku sedang hamil muda. Sementara suami tak mau mencari sendiri, dengan alasan, soal rumah akulah yang menentukan pilihan cocok tidaknya. Rasanya susah menemukan rumah yang sesuai dengan budget kami dan seperti harapan kami.

Suatu sore suami mendapat telepon dari Pak Robby, orang yang dulu rumahnya pernah kami lihat. Beliau memberikan informasi bahwa ada rumah yang sesuai budget kami di belakang kampus UI. Suami pun menjawab, kalau tidak sesuai budget kami, tawarkan ke orang lain saja pak. (Haduh, harus memberi fee ke calo nih). Tetapi, Pak Robby membujuk, agar kami melihat dulu, siapa tahu ada yang cocok. Tenang saja, pak. Nanti kalau deal, saya dapat feenya dari yang punya rumah kok. Ada tiga rumah di lokasi yang berdekatan, terang pak Robby yang membuat semangat kami berburu rumah kembali bangkit.

Siang menjelang sore, dengan perut besar aku nekat ikut suami ke Depok dengan naik krl ekonomi. Zaman itu, belum ada AC Ekonomi, apalagi Commuter Line. Yang ada hanya krl Ekspress yang berhenti di stasiun tertentu, dan krl ekonomi yang berhenti di tiap stasiun. Mungkin karena hari libur, jadi kereta agak lengang dan aku mendapatkan tempat duduk. Sebenarnya lebih senang naik motor, tapi apadaya motor sedang di pinjam sepupu suami menjemput saudaranya di Kelapa Gading. Turun kereta, kami janjian ketemu pak Robby di pintu perlintasan kereta. Tak lama beliau muncul. Pak Robby memboncengku, sedangkan suami naik ojek. Motor berjalan pelan, di samping karena membawaku yang hamil besar, juga saat itu masih pengerjaan Fly over Arif Rahman Hakim sehingga kendaraan yang melintas tidak dapat mengebut karena banyak kendaraan proyek dan material bangunan di sepanjang jalan. 

Tibalah kami di lokasi rumah. Rumah pertama, lokasi belakang masjid. Masih benar-benar bangunan baru. Harganya sepuluh juta lebih tinggi dari budget kami. Selain itu, depan dan samping rumah itu masih tanah kosong. Tetangga rumah adalah kontrakan dengan beberapa gerobak pedagang. Takut saja kalau nanti bayiku hanya tinggal sama pengasuh, sedangkan tetangga pada pergi dagang. Kalau ada apa-apa bagaimana? Rumah kedua, adalah rumah di komplek kecil sebelah masjid. Bagus sih, tapi harganya tak terjangkau. Bisa KPR, tapi sayangnya aku baru berutang ke bank, jadi pasti permohonan KPR bakal ditolak. 

Rumah ketiga adalah rumah yang masih di sekitar masjid juga. Berpagar setengah meter, bercat coklat muda. Dadaku langsung berdesir begitu melihat dan menapakkan kakiku di terasnya. Rasanya seperti melihat orang ganteng saja. Ha ha ha. Kok aku merasa cocok dan suka ya? Kami pun masuk dan melihat ruangan rumah. Pemiliknya, Pak Franky dengan ramah menunjukkan ruangan-ruangan pada kami. Karena merasa cocok, kami pun memberanikan diri bertanya berapa harganya. Oh, rupanya masih lebih tinggi dari budget kami. Kami meminta agar harganya bisa diturunkan. Kami pun pulang dengan membawa harapan. Semoga harganya bisa turun.

Dua hari kemudian, suami mendapat telepon dari pak Franky tentang kelanjutan pembelian rumah. Harganya bisa turun, tapi tak banyak, jelas suamiku lewat hape. Okelah, kalau harganya sesuai yang pak Franky mau, kita minta beres saja mas. Dalam arti, pajak, BPHTB, notaris, ditanggung penjual. Alhamdulillah, pak Franky setuju.

Pada hari yang sudah ditentukan, aku izin kantor untuk tak masuk kerja. Dengan naik motor kami menyusuri jalanan menuju Depok. Entah karena perasaan senang, rasanya jarak Jakarta-Depok menjadi dekat saja. Ketemu pak Franky, kami langsung menuju notaris yang sudah dipilih. Setelah tanda tangan ini itu, kami pun pulang. Hanya dalam hitungan hari rumah itu telah menjadi milik kami. Alhamdulillah. Benar-benar saat yang tepat yang Allah berikan. Rumah itu kami dapatkan tepat seminggu sebelum kontrakan rumah habis masanya. Sebuah perburuan yang berakhir indah. Dan rumah kecil ini terasa begitu luas ketika cicilan utangku lunas akhir tahun 2010 kemarin.

Buat semuanya yang sedang berburu rumah, tetap semangat, jangan menyerah.


Selasa, 03 April 2012

TENTANG MERTUA : HIDUP DARI ALAM, TIDAK MEREPOTKAN

Banyak teladan yang bisa aku ambil dari mertuaku. Mereka memang orang ndeso, tetapi pemikiran mereka luas dan penuh perencanaan. Mertuaku, hanya tinggal berdua saja di rumah tua mereka. Kedua anaknya, salah satunya adalah suamiku, sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Kakak suamiku tinggal masih satu desa dengan mertuaku, tetapi karena kesibukan bekerja dan mengurus keluarga, mereka hanya sesekali bertemu. Ibu mertuaku, yang kupanggil Mak Cas, masih sangat kuat dan gesit, sehat sekali. Diusianya yang sudah hampir tujuh puluh tahun, masih kuat ke sawah, menanam padi, membersihkan rumput-rumput disela batang padi, bahkan masih kuat menggendong sekarung gabah di punggungnya.
Bapak Mertuaku, Pak Ruban, juga masih sehat, berjalan tegap, meski umurnya mendekati delapan puluh tahun. Masih kuat berjalan jauh, masih bisa turun ke sawah. Sejak aku menikah dengan anaknya, bapak mertuaku selalu menganggapku seperti anaknya sendiri, bukan sebagai menantu. Aku sangat dekat dengan bapak mertuaku. Mengobrol, aku pun tak canggung-canggung, seperti halnya mengobrol dengan bapak kandungku. Kedua mertuaku hidup rukun, akrab dan saling mengasihi. Selama aku menjadi menantunya, tak sekali pun aku mendengar bapak mertua mengomeli ibu mertua, atau berkata yang kasar. Ibu mertua juga tipe istri yang melayani suami banget. Setiap pagi, ketika hari masih gelap dan masih dingin, Mak sudah bangun, menjerang air dan memasak nasi. Semua dikerjakan sendiri dengan cepat dan cekatan, setelah selesai barulah Mak turun ke sawah. Sehari-hari, mereka mengurusi sawah, memelihara ayam dan bebek sebagai kerjaan sampingan. Untuk makan, mereka mengandalkan dari alam. Daun kacang panjang (lembayung), kacang panjang, daun singkong, timun, juga oyong adalah sayuran sehari-hari yang mereka santap. Sayuran tersebut, mereka tanam sendiri disela-sela tanaman padi. Dibelakang rumah berjajar tanaman cabe dengan buahnya yang lebat dan pedas. Sayuran itu hanya dikukus saja, dimakan dengan sambal terasi dan ikan asin bakar atau ikan panggang. Selain dikukus, kadang Mak membuat sayur asem atau sayur bening tanpa minyak. Kadang memanfaatkan kelapa di samping rumah untuk membuat sayur lodeh. Minyak goreng jarang digunakan. Untuk memasak, Mak tidak menggunakan gas, melainkan menggunakan kayu. Kalau kayu habis, masih bisa menggunakan daun-daun kering, batang-batang jagung kering atau daun kelapa yang sudah kering. Makanya, ketika harga minyak tanah dan gas mahal, Mak tidak ikut pusing. Alam menyediakan apa yang Mak butuhkan.

Suatu hari, suamiku ditelpon seorang saudaranya yang mengabarkan bahwa pak Ruban sakit demam dan meriyang sudah dua hari, buang air kecil sakit. Katanya karena kebanyakan makan jengkol. Ya, jengkol adalah menu favorit bapak. Tahu kan jengkol? buah yang berbentuk bulat gepeng,berkulit coklat, aromanya dahsyat, tapi banyak yang suka. Kalau kebanyakan orang makan jengkol yang sudah disemur, bapak makan jengkol untuk lalapan. Setiap hari, jengkol adalah menu wajib. Jika sedang musim, pasti mudah mencarinya, tetapi saat tidak musim sangatlah susah. Untungnya, selama ini mudah saja mendapatkan jengkol. Bahkan, sering dibela-belain masuk ke hutan untuk mencari jengkol. Sepulang kerja suamiku langsung ke terminal bus pulang ke Pemalang.
"Tolong pak, sudah semakin sepuh, dijaga ya pola makannya biar sehat, jangan sering-sering makan jengkol. Saya kan jauh"cerita suamiku saat menasihati bapaknya
Bukannya mengiyakan permintaan anaknya, pak Ruban malah berucap. Aku sudah tua, sudah melihat kamu mentas, Le. Masmu juga sudah jadi orang. Rasanya, bapak sudah siap kapan pun dipanggil. Tapi, soal jengkol bapak tak mungkin berhenti.
Aku hanya bisa senyump-senyum mendengar kengototan bapak. Lha,..wis kadhung tresno, mau pisah sama jengkol mah susah.
Bapak dan Emak juga bukan orang tua yang mau merepotkan anak-anaknya. Mereka sangat tahu diri. Melihat anak-anaknya mandiri, punya keluarga sendiri tanpa merepotkan orang tua, mereka sudah sangat bersyukur. Banyak kita lihat, orang tua yang direpotkan anak-anaknya. Sudah menikah dan punya keluarga, makan masih numpang sama orang tua. Orang tua disuruh untuk menjaga cucunya dari pagi sampai malam dengan segala kerepotannya. Alhamdulillah anak-anak bapak tidak merepotkan bapak. Kadang, ketika ada uang lebih, kusisihkan untuk mereka, saat suamiku pulang menjenguk. Aku memang tak bisa sering ikut pulang, karena masih ada bayi yang rentan sakit jika sering kubawa pulang naik bus, trus naik-turun kendaraan, sambung ojek juga. Ternyata, uang yang selama ini kami berikan tak serupiahpun digunakan oleh mertuaku. uang itu mereka pinjamkan ke saudara-saudara, pastinya tanpa bunga ya. Maksudnya, daripada disimpan di rumah, atau ditabung ke bank, mertuaku tak punya rekening, dan bank begitu jauh di kota. jadilah, uang itu dipinjam pada saudara. Harapan mertuaku, ketika nanti mereka sudah tua sekali, tak bisa lagi bekerja, mereka bisa menggunakan uang itu untuk menyambung hari tua mereka. Aku sangat terharu sekali mendengar cerita ini. Mertuaku sungguh mulia. Sungguh berpikiran jauh ke depan. Padahal sebagai anak, aku pun tak menolak jika mereka mau tinggal dirumahku. Aku akan berusaha memperlakukan mereka dengan baik. Dari cerita saudara-saudara suami, mereka melakukan itu karena mereka tak mau merepotkan anak-anaknya.

Kamis, 15 Maret 2012

Nostalgia Krl Ekspress : Ibu-Ibu Hamil yang Nekat Turun Saat Kereta Mogok

Peristiwa ini sudah lama terjadi, mungkin sekitar satu setengah tahun yang lalu. Namun, sampai saat ini, peristiwa pagi itu masih jelas membekas dalam ingatanku, dan juga beberapa temanku yang mengalami langsung.

Pagi itu, aku sudah menunggu kedatangan KRL Ekspres yang berhenti di Stasiun Pondok Cina. Tempat menungguku sudah kuperhitungkan yang kira-kira tepat di pintu sebelah tempat duduk prioritas. Ketika KRL datang dan berhenti didepanku, perjuangan pun dimulai. Orang-orang yang sudah hapal dengan perutku (bukan wajahku), segera memberiku jalan untuk mencapai tempat duduk prioritas. Pada masa itu, KRL Ekspres bukan lagi kereta eksekutif, karena padat dan penuhnya sama dengan KRL AC Ekonomi, maupun ekonomi. Orang-orang banyak yang beralih ke KRL Ekspres, karena meskipun tiketnya lebih mahal (dari Stasiun Depok : KRL Ekpress RP9.000,00 AC Ekonomi Rp5.500,00 Ekonomi Rp2.000,00) dan padat penumpang, tetapi KRL Ekspress tidak berhenti di setiap stasiun, hanya berhenti di stasiun tertentu, sehingga otomatis butuh waktu yang lebih singkat untuk sampai ke tempat tujuan dibandingkan apabila menggunakan KRL AC Ekonomi atau KRL Ekonomi.
Memang, untuk menempuh jarak dari Stasiun Pondok Cina sampai Stasiun Cawang hanya dibutuhkan waktu sekitar lima belas menit, tetapi, bagi wanita yang sedang hamil, akan sangat melelahkan jika terpaksa harus berdiri karena tidak dapat tempat duduk. Untuk mendapatkan tempat duduk prioritas pun bukan hal yang mudah, karena pasti sudah ada yang mendudukinya, seringnya diduduki oleh orang yang bukan prioritas (yang diprioritaskan adalah wanita hamil, lansia, orang cacat, ibu membawa balita). Seringkali aku harus meminta secara "paksa" (pastinya dengan mengucapkan permintaan maaf dahulu) pada orang yang bukan prioritas yang duduk di kursi prioritas. Reaksi orang bermacam-macam, ada yang dengan rela memberikan, ada yang dengan wajah cemberut dan terpaksa. Ada pula yang tetap bertahan dan dengan isyarat mata menyuruhku duduk disela-sela duduknya yang untuk setengah badanku pun tak muat. Bersyukur sekali, selama menjalankan masa kehamilanku, hanya tiga kali aku tak mendapatkan duduk, karena kereta bermasalah, sehingga dua kereta dikawin paksa (digabung) yang membuat kereta begitu penuh tak bisa bergerak kemana pun. Bisa terangkut saja sudah sangat bersyukur.
Dari stasiun Cawang, aku berbalik arah ke stasiun Duren Kalibata (aku dan teman-teman lebih gampang menyebut dengan stasiun kalibata), karena tempat kerjaku di Kalibata. Jika waktu masih memungkinkan (masuk kerja pukul 07.30), aku masih bisa menggunakan kereta. Tetapi, jika waktu sudah mepet, dan petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta jauh, terpaksa ke Kalibata menggunakan ojek yang banyak mangkal diluar stasiun Cawang. Sambil menunggu kereta aku dan teman-teman yang hendak ke Kalibata mengobrol apa saja. Pukul 07.15 KRL AC Ekonomi membawa kami ke stasiun Kalibata. baru beberapa menit jalan, kereta sudah tersendat-sendat, lalu berhenti. Ditunggu satu menit, dua menit, lima menit, masih belum jalan. Kami, yang berjumlah puluhan orang mulai gelisah. Ada apa gerangan? Stasiun masih jauh. Kami berada di tengah-tengah antara Cawang-Kalibata. Beberapa teman inisiatif menanyai petugas sentinel. Dari mereka, kami tahu bahwa bukan karena ada kereta mogok di depan kereta yang kunaiki, tetapi kereta inilah yang bermasalah. Panik, kulirik jam tanganku. Pukul 07.20. Sepuluh menit lagi.
"Mas, kami mau turun saja. Bisa bantu turunkan kami?"
"Yan, gimana kita?" tanya mba Titik panik.
Aku menoleh ke Euis, Lina, Reni, Novi. Wajah mereka semuanya kebingungan. Bagaimana tidak bingung, kami semua dalam keadaan hamil. Ngeri rasanya harus turun dari kereta yang mogok ditengah rel. Jarak antara lantai kereta dan tanah begitu tinggi. Teman-teman lelaki, dan yang lain yang tidak hamil, sudah mulai turun. Tinggal kami yang hamil yang masih ragu dan ngeri.
"Mari ibu-ibu hamil, kalau mau turun, kami bantu"beberapa petugas menawarkan bantuan
"Bismillah"ucapku pasrah, menjulurkan kaki ke bawah kereta. Seorang teman lelaki, mas Aris, tampak masih menunggu evakuasi para bumil, sementara lelaki-lelaki yang lain sudah melarikan diri agar tak terlambat meletakkan jari pada finger absen. Dengan sigap mas Aris membantu menurunkanku dan teman-teman. Begitu menginjak tanah, detak jantung kami seakan berkejaran. Deg degan lur biasa. Lalu, kami mulai menyisir jalan menuju jalur angkot dengan petunjuk dari para penduduk sekitar yang menonton mogoknya kereta. Begitu sampai jalan raya, sebuah angkot menunggu kami. Alhamdulillah. Perjalanan dilanjutkan. Baru beberapa meter jalan, angkot sudah tak bisa meneruskan perjalanan. Diperempatan jalan, mobil-mobil sudah memenuhi jalan, sementara palang kereta masih tertutup akibat kereta dua arah, yang ke arah bogor keretanya mogok, sedangkan arah jakarta masih lancar.
Beramai-ramai kami turun dari angkot dan tak lupa membayar ongkos meskipun baru jalan beberapa meter. Kami kebingungan. Semua ingin menyelamatkan diri dari potongan absensi. waktu tinggal enam menit lagi. Teman-teman lelaki sudah berebutan naik ojek. Ojek benar-benar laris manis. Untuk kondisi tak hamil, bagiku mungkin saja untuk lari menuju kantor, tetapi dalam kondisi hamil besar, jalan tak bisa kencang, rasanya tak mungkin bisa sampai kantor dalam waktu cepat. Mas Aris masih peduli pada kami para ibu hamil. Dihentikannya para pemotor yang melintas searah perjalanan kami. Aku berjalan beriringan dengan mba Titik. Kami tak kebagian ojek. Pun para pemotor sudah membonceng para bumil lainnya. Sudahlah kami pasrah, karena tak bisa berlari. Tiba-tiba dua orang pemotor berhenti disebelah kami.
"Mari mba, naik. Saya antar" seorang lelaki berjaket hitam berkata padaku. Kulihat mba Titik sudah duduk di boncengan motor lain
"Alhamdulillah. Terima kasih, mas" aku pun duduk di boncengan. Dengan perlahan, motor menyusuri jalan menuju kantorku.
Kuucapkan terima kasih berkali-kali kepada mas-mas yang sudah menolongku, mengantarkanku dengan ikhlas. Maaf mas, aku lupa menanyakan siapa namamu, semoga Allah membalas kebaikanmu. Lega rasanya, ketika mengangkat jariku dari mesin finger absen. Pukul 07.29. Sejenak duduk di lobby kantor untuk meluruskan kaki yang pegal-pegal dan panas. Pagi yang penuh perjuangan. Alhamdulillah, semua teman yang hamil berhasil di evakuasi dan kondisi kehamilan baik-baik saja.
"Yan, kemarin perutnya enggak apa-apa 'kan?" tanya mas Aris ketika kami bertemu kembali keesokan harinya
"Alhamdulillah mas. Tak apa-apa. Makasih banget ya mas, sudah peduli dan menolong kami para bumil"
"Iya sama-sama. Aku kepikiran, jangan-jangan kalian kenapa-napa. Aku aja membayangkan ngeri, turun dari kereta setinggi itu"
Kini, KRL Ekspress sudah tak ada lagi. Sudah berganti menjadi commuter line yang berhenti di setiap stasiun. Dan, janin di perutku yang kuceritakan ini, kini sudah berumur tiga belas bulan. laki-laki, sehat, lucu dan menggemaskan. Kelak akan bunda ceritakan padamu nak, perjuangan bunda dan teman-teman bunda yang sama-sama hamil, menyelamatkan diri dari mogoknya kereta demi mengejar absensi.

Rabu, 07 Maret 2012

Teman yang Tak dianggap teman

Jenuhnya,..sungguh hari yang menjenuhkan. Boleh ya sesekali aku mengeluh? Aku bukan orang yang super tangguh. Sesekali, aku pun merasa jenuh. Jenuh dengan pekerjaanku. Jenuh dengan teman-temanku. Benarkah mereka teman atau hanya rekan kerja seruangan? Menurutmu, apa itu definisi teman? Teman menurutku, bukan sekadar orang yang bersama-sama kita, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan lainnya. Teman, seharusnya bisa memahami, menghargai, dan saling pengertian. Setidaknya, ketika teman tidak bersama-sama kita, kita merasakan ada yang kurang atas ketidakhadirannya. Kehadirannya menambah semangat, menghidupkan suasana, menggenapkan istilahnya, jadi ketika dia tak ada, ada sesuatu yang terasa kurang.
Bagaimana jika kamu tidak dianggap teman oleh orang sekitarmu? kehadiranmu tidak menambah, pun tidak mengurangi. Kehadiranmu tak dipertanyakan, tak dikangeni. Sungguh sesuatu yang sangat menyakitkan ya. Pantaslah jika engkau merasa sakit, karena selama ini engkau sudah berusaha amat sangat untuk mengerti dan memahami mereka. Menghargai mereka sebisanya. dan Engkau sudah berkorban cukup banyak, mengorbankan perasaanmu, untuk tidak menyakiti dan melukai hati mereka, meskipun tak jarang, mereka sering melukai hatimu lewat kata-kata.
Bagaimana jika kamu berada pada posisi seperti seseorang yang tak dibutuhkan dan tak perlu diperhatikan? kehadiranmu tak menimbulkan ucap dan tanya kerinduan, perasaan kehilangan atas tak kehadiranmu. Benar seperti kata hatimu, ada dan tiada dirimu, bagi mereka kau tetap dianggap tak ada. Kau tak dilibatkan dalam segala urusan, dianggap tak tahu banyak hal, tak pantas dijadikan tempat buat bertanya, bahkan untuk membagi tawa mereka pun segan.
Hei,...mengapa kamu baru menyadari semua ini? Bukankah ini sedari dulu sudah begitu? Iya,..kuanggap itu hanya semu, hanya perasaanku. Ternyata ini adalah nyata. Aku bukan orang yang pengin diperhatikan, gila diperhatikan. Aku hanya ingin diperlakukan sepadan. Ingin dipersamakan. Aku kecewa dengan perlakuan ini. Aku kecewa, kenapa sih manusia tak bisa saling menghargai. Jangan hanya ketrampilan kantor saja yang diperdalam. Hubungan sosial pun harus dipelajari. Ingatlah, hal-hal kecil yang bisa kamu lakukan, akan ada kalanya sangat berarti bagi orang lain, palagi saat orang tersebut sedang rapuh dan jenuh, yang menginginkan tempat untuk sekedar membagi kisah dan berkeluh.