Selasa, 10 September 2013

Dimanakah Nurani Itu? (Episode Kursi Prioritas)

gambar tempat duduk prioritas yang saya ambil dari blog orang

Pagi itu seperti biasa aku terburu-buru melangkah ke stasiun ketika kudengar tanda-tanda kereta hendak datang. Secepat apapun langkahku, tak dapat mengurai kemacetan dan tumpukan orang di peron ruang tunggu. Tak bisa langkahku mebawaku ke gerbong paling ujung, gerbong khusus wanita. Dengan ragu, kuhentikan langkah, melongok pada pintu yang terbuka. Kosong? secepat angin, aku meloncat ke gerbong campur. Kereta yang "aneh" karena ga sepadet biasanya. Definisi padat disini : Tak bisa berdiri tegak dengan dua kaki, badan mengkeret karena dipress dari depan belakang kanan kiri. Leher ga bisa berdiri tegak karena tangan tetangga nyelonong seenaknya di depan muka hanya untuk berpegangan pada gantungan pegangan. Padahal tanpa berpegangan pun tidak akan jatuh.

Dan perjalanan kereta "aneh" ini pun dimulai. Oh ya. Menjelang detik detik pintu hendak ditutup dan kereta siap berangkat, meloncatlah sepasang manusia bergabung ke gerbong ini. Sebenarnya sih aku tidak bermaksud menguping apa yang mereka bicarakan, tetapi, kupingku tak sengaja saja mendengarnya, tanpa terlihat sengaja. Sebutan yang mesra. Mereka memanggil mama dan papa. Tadinya sebelum kudengar si cowok manggil mama, si cewek berjilbab (tapi aku belum lihat wajahnya) ini memang anaknya si papa. Tapi kok lama-lama mencurigakan ya. Kok papa mama, dan pengin dekat-dekat papa. Lalu dengan gerakan pelan gak mencurigakan, pura-pura melihat jalan diseberangku, aku amati wajah itu cewek,..oalah,.ini mah papa mama ketemu gedhe. Risih juga nih berdiri dekat-dekat orang kasmaran. 

Stasiun demi stasiun terlewati. Naiklah seorang ibu membawa batita yang tertidur dalam gendongannya, dan seorang perempuan hamil. Para lelaki di depan pintu segera memberi ruang pada mereka." Ayo ke dalam biar dapat duduk". Mereka meminta jalan dan bisa berdiri tepat di depan kursi prioritas. Seorang mbak cantik yang berdiri di depan kursi prioritas tetap asyik memainkan BB nya, demikian juga mas ganteng di sebelahnya. Dan, aku pun menunggu. Sungguh. Aku menunggu. Aku pengin tahu siapa yang peduli dan siapa yang gak mau tahu. Aku pengin tahu, seberapa egois orang di kereta ini-termasuk aku didalamnya-. Sejatinya aku merasa kesal karena kadang tak bisa berbuat apa-apa, hanya membantu meminta buat mereka, sedang orang lain hanya melihat sekilas saja, tak peka tak merasa.  Menit demi menit berlalu. Kereta yang tersendat-sendat akibat ada gangguan sinyal di Manggarai makin memakan waktu. Si papa mama berbisik di telingaku. "Bu colek aja tuh yang duduk disitu. Kan ntar mereka bangun". Kuilhat bapak yang duduk di kursi prioritas, sepertinya sakit. Mata kirinya diperban. 

"Ibu geser ke dalam aja, biar dapat duduk" kata si mbak hamil ke ibu yang membawa batita. Oh,..jadi mereka ga saling kenal ya. kupikir siibu yang gendong batita ini adalah ibu si mbak hamil.
Si ibu menggendong bayi bergerak ke arah kursi prioritas di belakangku, sisi lain kursi prioritas. Orang-orang hanya memberi celah untuk melangkah tanpa ada kata-kata. Lama-lama aku tak kuat menahan kejengkelanku. Kesal dan Jengkel. Masa orang sebanyak ini gak ada yang berniat menolong sungguh-sungguh. Hanya enteng-enteng saja bilang kedalam aja masuk aja biar g dapat duduk. Hello,..kau pikir semua orang itu punya nyali untuk minta?
"Tolong donk yang dekat kursi, colekin yang duduk disitu jangan cuma saling menunggu. Gak semua orang itu berani untuk minta. Mesti ada yang mbantuin" ucap seseorang di dekatku, dan langsung kuiyakan.
Baru deh orang bereaksi. Sebel. Kesal. Kecewa. Sedih. Marah. Ini soal kecil apa besar? Ya memang ini soal kecil. Tapi soal kecil ini dibiarin gimana dengan yang besar? Alah,...ini kan kejadian biasa di kereta. Wis, biasa aja. Ya setiap saat bisa saja terjadi. Tapi kita manusia-manusia yang punya hati, manusia sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Kita harus bisa berempati pada orang lain. Bangku prioritas ya memang untuk prioritas. Bukan orang g hamil, sehat sehat saja  karena saking nyamannya duduk disitu sampai tertidur tidur pulas dan gak mau beranjak berbagi tempat dengan yang membutuhkan. Manusia manusia dengan baju rapi dan wangi, intelek, pegang BB atau gadget mahal, asyik saja mainin gadget ga peduli dengan orang lain. Paling banter update status : "ada ibu bawa anak dan wanita hamil, udah berdiri depan kursi prioritas, tapi ga dapat duduk juga"

Akhirnya si ibu dapat duduk, demikian juga dengan si mbak hamil. Apa semua hal harus diminta dengan keras baru diberikan? Apa memang hati para manusia kota sudah demikian kerasnya sehingga tidak bisa disentuh dengan kata lembut, ataukah ini hanya sepenggal  potret kehidupan yang kebetulan saja  tersaji nyata di depan mata?

Selasa, 30 Juli 2013

KETIKA MENILAI SESEORANG DARI PENAMPILAN

Zaman ini, semua hal dilihat dari penampilan. Rumah yang bagus, kendaraan yang bagus, pakaian yang bagus, juga gadget yang bagus.
Di mana-mana, rasanya ketemu orang perlente berpenampilan serba bagus, orang lebih menaruh hormat, dibandingkan apabila ketemu dengan orang yang berpenampilan bersahaja.

Entahlah, zaman ini kadang membingungkan. Orang lebih senang berpenampilan bagus memoles diri disana-sini, hanya untuk bisa dilihat lebih "wah" daripada orang lain. Tampil dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki dengan semua barang yang bagus. Jam bagus, baju bagus, sepatu bagus, tas bagus, cincin gelang, pakai semua deh, udah serasa toko perhiasan berjalan. Emang gak takut apa ya? Kejahatan mengintai dimana-mana. Makanya kapan hari tuh ada meme : Mendingan mana pake tas harga jutaan tapi isi tasnya cuma ada duit seratus ribu. Atau Pake tas harga seratus ribu tapi isinya uang jutaan? hahahha.
Bukannya tidak suka dengan penampilan yang serba wah. Boleh berhias, tapi tidak berlebihan. Apalagi tampil elegan tapi dari uang pinjam -istilah di kampungku "galih gaya-gaya tapi nyilih"- yang ketika ditagih galakan yang punya utang daripada yang punya duit.

Zaman ini, orang mudah terbujuk rayu. Mudah ikut-ikutan gaya orang lain. Selalu berusaha memenuhi keinginan tapi susah untuk menuruti hal yang memang dibutuhkan. Tetangga beli mesin cuci satu tabung, ikutan beli. Padahal mesin cucinya yang dua tabung masih baik-baik saja. Tetangga beli kulkas dua pintu, ikutan beli, padahal kulkasnya yang satu pintu masih adem gak ada masalah. Tetangga pasang AC, ikutan pasang AC, padahal dia gak perlu-perlu amat. Rela tiap hari makan di tempat makan mahal, padahal masak sendiri lebih hemat dan sehat. Alasannya masak di dapur tuh panas, capek, bikin berantakan, ntar gak bisa disambi buka facebook, instagram, youtube dll. Rela memakai kartu kredit dengan tagihan bengkak demi mendapatkan barang diskon yang sebenarnya kurang dibutuhkan. Giliran tagihan CC datang, gelagapan.
Nek ngene yo kasihan suamimu, istrimu, anakmu, ortumu, tetanggamu, temanmu. Loh?
Zaman ini semua menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, yaitu uang. Mendapatkan uang tak melulu dengan jalan halal berpeluh-peluh dan menguras tenaga. Kalau bisa, dengan jalan pintas tapi langsung dapat banyak. Orang lupa arti kerja keras, arti harga diri. 
Orang selalu menuntut kesejahteraan. Menuntut upah yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan kinerja. Rewang minta naik gaji ke tuan. Tapi setelah dinaikkan gajinya, kerja gak makin bagus. Malah makin kusyuk nonton tivi, ngerumpi. Kerjaan rumah gak beres, anak tuan gak diurusin. Orang lain yang gaji sudah tinggi sudah sangat layak dibandingkan dengan orang lain, tetapi senantiasa merasa kurang. Banyak cicilan ini itu, jadi gaji selalu habis di akhir bulan. Kok bisa kan gaji dan tunjangan udah naik? Ya bisa lah. Wong selisih kenaikannya dipake buat ngredit barang baru, buka utangan baru, bukannya disimpan sebagai tabungan. Yekan, yekan???
Tungggu,..ini soal cicilan. Cicilan KPR okelah, kan memang rumah kebutuhan pokok. Cicilan mobil perlulah. Tapi kalo sudah buat nyicil ini itu yang kurang perlu, sebenarnya ya salah dia tidak bisa memanaj keuangannya dengan baik. Jadi, kalo sudah begini, punya penghasilan berapa pun akan selalu merasa kekurangan.
Mengutip kalimat orang terdekat : dulu, aku begitu hormat dengan orang kaya, rapi, dan berpenampilan bagus. Tetapi kini, rasa hormat itu perlahan luntur setelah tahu bahwa kekayaan itu diperolehnya dengan mudah lewat cara-cara yang tidak baik. Aku lebih menghormati tukang angkut sampah,  tukang ojeg dan tukang-tukang asongan lain, tukang jual keliling dan siapa pun yang mereka memperoleh uangnya dengan peluh dan pedih, lewat perjuangan keras. Menunggu rizkinya datang, dijemput, dan ketika datang sedikit mereka tetap berlapang dada, tersenyum dan tetap terucap syukur dari bibirnya. Sebesar apapun penghasilan, kalo kita sendiri tidak mencukupkan, maka akan selalu kekurangan. Gajimu selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi tak akan pernah cukup untuk memenuhi gaya hidup.

(Edisi curhat)

Kamis, 17 Januari 2013

JANUARI : Hujan Sehari-hari, Banjir Dimana mana






Semenjak Selasa lalu, 15 Januari 2013, wilayah sekitar jembatan Kalibata terkena banjir. Warga banyak mengungsi di bawah fly over, dan tempat sekitarnya.
Saya pribadi ikut prihatin terhadap para korban banjir ini. Saya sendiri pernah mengalaminya sekitar akhir tahun 2006 atau awal tahun 2007, saat masih mengontrak rumah di Rawajati Barat. Saya merasakan betul bagaimana menderitanya kebanjiran.

Dalam ingatan saya, waktu itu hujan turun terus menerus tiada hentinya semenjak sore. Sekitar jam sembilanan malam, air mulai masuk rumah. Saat itu rumah kami(saya dan suami) tanggul seadanya. Ember, plastik, cobek, dan perkakas lain kami gunakan untuk membuat tanggul sementara. Barang-barang sudah kami amankan diatas kursi atau meja atau tempat tidur. Pikir kami, amanlah, semoga hujan segera berhenti. Tanpa kami perhitungkan, serangan banjir muncul dari arah kamar mandi. Jadi, saluran air kamar mandi itu desainnya langsung terhubung dengan saluran air di pinggir-pinggir rumah warga. Paniklah kami, tanpa bisa menghentikan laju air tersebut. Lalu suami menyuruh saya tinggal di kamar saja. Dengan agak ragu, saya turuti permintaan suami. Kamar pun mulai ditanggul dari luar. Tiba-tiba perut besar saya mules. Aduh, apakah saya akan melahirkan dalam keadaan seperti ini? Rasanya belum waktunya. Oalah, ternyata pengin pup. Panik, Saya panggil suami, biar mau membukakan pintu. Tapi suami menolak dengan alasan agar air tidak masuk kamar. Dan jreng jreng, terpaksalah dengan selembar kresek hitam saya tuntaskan hasrat malam itu. Untungnya masih ada satu botol aqua yang bisa saya gunakan untuk bersih-bersih, hihi.

Menit demi menit terasa begitu lama. Hujan bukannya berhenti malah semakin deras. Pukul  sepuluh atau sebelas malam rumah kami benar-benar diserbu air yang deras mendesak berlomba memenuhi rumah, dan langsung tinggi hampir setengah meter. Pasrah. Saya pun naik ke tempat tidur, berdampingan dengan  barang-barang. Badan lelah, tapi pikiran gelisah, membuat kami tak bisa tidur. Yang kami pikirkan, kapan air surut agar kami segera bisa bebersih.

Entah pukul berapa air mulai surut, kami dan para tetangga mulai sibuk membersihkan rumah masing-masing. Bau amis, sampah, hewan kecil-kecil, cacing bertebaran disana-sini. Dengan sisa tenaga kami bersihkan rumah secepat mungkin agar bisa segera memejamkan mata.

Pagi, pukul tujuh saya tinggalkan rumah menuju tempat kerja. Hujan masih deras, sepanjang jalan digenangi air setengah betis. Masih ada suami di rumah yang siaga banjir, barangkali dia akan ke kantor agak siangan.Dan benar, sekitar pukul sembilan suami menelpon mengabarkan baru saja ada banjir susulan dan sudah suami bereskan.

Seharian hujan jatuh terus-menerus. Karena di kantor yang tertutup, saya tak begitu tahu sederas apa. Setelah pulang kerj, begitu sampai rumah langsung kaget. melihat tanah kotoran memenuhi lantai dan dinding. Ternyata kebanjiran lagi. Berarti sedari malam, kena banjir 3X!. Kami pun mulai berpikir untuk mencari kontrakan baru, atau cari rumah. Capek membersihkan bekas banjir. Alhamdulillah, awal Februari kami dapat rumah kecil di Depok. Bye bye banjir.







                                   Gambar banjir yang saya ambil dari Website Aksi Cepat Tanggap. 



                                        Gambar lain yang saya ambil dari Tempo


Terhadap para korban banjir, saya ucapkan turut bersedih, semoga semua tabah, tetap sehat dan semangat membersihkan sisa banjir. Saya saja yang kena tiga kali sudah menyerah, capek banget rasanya. Semoga banjir ini membuat kita semua jadi introspeksi diri, menyadari bahwa ada yang salah antara manusia dengan alam. Okelah, kita tak perlu ikut menghujat, menyalahkan pejabat dan orang-orang. Saya bukan warga Jakarta, tetapi setiap hari, kurang lebih sepuluh jam waktu saya habiskan di Jakarta. Kalau masalah banjir ini kita timpakan pada pemimpin yang baru menjabat beberapa bulan, ini salah besar. Siapa pemimpin sebelumnya, dan sebelumnya? Banjir kan tidak datang begitu saja, tentu ada pencetusnya.Apa sebenarnya akar masalah ini? Saya akan jawab dengan pemikiran saya, sekali lagi saya hanya orang awam, bukan ahli dibidang perbanjiran, jadi bisa saja banyak yang tidak sepakat dengan yang saya ungkapkan.

Pertama, kurangnya daerah resapan air. Pohon-pohon sudah sangat jauh berkurang, dan jalanan disemen atau diaspal semua. Tanah yang tersisa hanya sedikit, makanya kalau hujan terjadi genangan dimana-mana.
Kedua, gorong-gorong yang kecil dan sempit, parit atau selokan yang kecil dan mampet, tak mampu menampung debit air.
Ketiga, sampah dimana-mana. Di parit, di selokan, di gorong-gorong isinya sampah dengan banyak ragamnya, segala jenis sampah. Mau bukti? Kalau naik mikrolet 16 dari Pasar Minggu atau naik Kopaja 57, saat melintas di atas jembatan Kalibata, lihatlah sungainya. Warnanya coklat keruh dan didominasi sampah. Orang buang sampah dimana-mana. Sudah disediakan tempat sampah, jalan cuma bentar ke tempat sampah, tapi ogah dan memilih buang sampah dibawah atau di dekat duduknya. Alasannya kan ada petugas yang dibayar buat bersihin sampah. Hallo,...semua mengandalkan petugas? Apa susah dan salahnya sih kita bantu petugas dengan kebiasaan baik ini. Trus, si pembuang sampah sembarangan ini, kalau ditegur atau diingatkan lebih galak dari yang menegur. Anak kecil itu lebih pinter dan lebih taat pada aturan, buang sampah pada tempatnya. Lha orang dewasa malah lebih parah? Di tempat umum disediakan tempat sampah yang bagus, eh umurnya tidak lama. Ada saja yang lalu menjadikannya koleksi pribadi atau malah menjualnya dengan alasan perut. Contoh lain, orang ramai-ramai buang sampah di lingkungan kampus UI Depok, sambil melintas disitu, sambil buang sampah. Okelah, kalau buang sampahnya di tempat yang sudah disediakan, tak masalah. Lha ini buang sampahnya di sepanjang kiri kanan  jalan. Sudah diberi spanduk peringatan, juga pada tidak bisa baca tuh. Kalau kampusnya berang dan akhirnya jalan ditutup untuk umum, kan rugi semua, padahal itu ulah segelintir orang.
Keempat, banyaknya para penduduk yang tinggal di bantaran sungai. Tinggal disitu, buang sampah disitu juga. Waktu kapan pernah baca, lupa dimana. Kalau tidak salah ada sebuah LSM atau apa yang wawancara dengan warga yang tinggal di bantaran sungai di Bukit Duri, Tebet. Intinya ditanyakan, adakah warga yang buang sampah di sungai? Si Narasumber, seorang ibu menjawab dengan mantap. Tidak ada. Nah, tiba-tiba melintas warga lain yang dengan santainya menenteng plastik gede lalu menceburkannya ke sungai. Jadilah si narasumber senyum tersipu-sipu. Padahal tinggal dibantaran sungai itu sangat berbahaya, dan sebenarnya dilarang. Namun, kebanyakan orang tak bisa membiarkan tanah kosong barang sedikit, langsung ditempati.

Sudah saatnya kita harus berbenah. Mulai melakukan hal kecil yang kelihatan sepele, tapi besar manfaatnya. Mungkin membuang sampah sembarangan hanya sampah kecil, tetapi bila dilakukan terus-menerus dan oleh banyak orang, akan seperti ini akibatnya. Banjir dimana-mana, harta benda tenggelam, mengungsi dengan tidak nyaman, karena kepikiran dengan harta benda disekitarnya. Semoga banjir ini, membuat kita semua sadar, bahwa antara manusia dan alam adalah dua hal yang saling berkaitan, dan menimbulkan sebab akibat. Jika kita menjaga alam, maka alam pun akan menjaga kita.