Rabu, 25 April 2012

Tips Membeli Rumah dengan Sistem KPR (Kredit Pemilikan Rumah)

Rumah adalah kebutuhan pokok selain Pangan (makan) dan Sandang (pakaian). Untuk orang yang sudah mampu, rumah adalah kebutuhan utama. Rasanya, akan jauh lebih nyaman tinggal di rumah sendiri meskipun kecil dan nyicil, daripada tinggal di kontrakan yang bagus tapi bukan milik sendiri. Tulisan ini tak bermaksud untuk menyinggung pihak mana pun atau siapa pun. Terus terang, saya sebagai penulis tulisan ini juga pernah mengalami menjadi anak kost, menjadi pengontrak rumah selama dua tahun.

Bagi sebagian orang, kendaraan lebih penting dari rumah. Persepsi orang berbeda-beda, semua punya alasan masing-masing. Tetapi, bagi sebagian besar orang tua, pasti lebih merasa senang dan tenang ketika anaknya terutama yang sudah berkeluarga, mempunyai rumah sendiri.

Untuk sebagian orang yang penghasilannya sangat tinggi, membeli rumah mungkin perkara gampang. Tetapi, bagi orang dengan penghasilan biasa-biasa saja, termasuk saya, membeli rumah perlu perjuangan panjang. Mau membeli cash, tak cukup uang. Menabung, uangnya tidak kumpul-kumpul, malah terpakai lagi dan lagi untuk hal lain yang bukan prioritas. Salah satu yang bisa dilakukan adalah membeli rumah dengan sistem KPR (Kredit Pemilikan Rumah).

Berikut ini adalah tips-tips untuk pembelian rumah secara KPR :

 1. Kalau beli rumah di perumahan, pilih Developer terpercaya yang sudah terkenal bagus bangunan dan kualitas terjamin
Kalau untuk rumah yang di luar perumahan (di perkampungan) pilih yang lokasinya masuk mobil

2. Pilih lokasi rumah yang bebas banjir, strategis
Untuk mengetahuinya, saat yang tepat untuk mencari tahu adalah saat musim hujan

3. Pilih bank pemberi kredit yang terpercaya
Suku bunganya tetap, atau berubah-ubah?


4. Surat Keterangan Penghasilan
Surat ini didapatkan dari perusahaan tempat kerja orang yang mengajukan KPR. Pihak pemberi KPR biasanya menelpon ke perusahaan untuk klarifikasi kebenaran surat keterangan penghasilan tersebut.

5. Fotokopi buku tabungan/rekening koran, 3 bulan terakhir
Ini sangat penting. Dari sinilah, bank pemberi kredit bisa tahu sehat tidaknya keuangan orang yang   mengajukan KPR.


6. Siapkan DP (down payment) alias Uang Muka
Umumnya DP berkisar 20% dari total harga rumah. Untuk harga rumah 200 juta, DPnya berarti 40 juta.
Banyak ya? Iya. Makanya menabung dulu, kencangkan ikat pinggang, jangan banyak jajan yang tak perlu.
Nah, meskipun DP biasanya 20%, tetapi, jika plafond kredit yang diberikan bank tidak sesuai dengan yang diajukan, berarti harus menambah DP lagi

7. Jika akad kredit telah dilaksanakan, dan ada jadwal bertemu dengan arsitek dari developer perumahan, manfaatkanlah.
Anda bisa mengajukan permintaan agar ruangan di desain sesuai keinginan anda. Tetapi, tentu saja tak semua keinginan anda diterima. Biasanya, Bagian muka rumah harus sama, hanya desain dalam yang boleh berbeda.

8. Pantau terus pembangunan rumah.
Biasanya developer akan menginformasikan sejauh mana pembangunan rumah anda. Mungkin saat selesai pasang keramik anda bisa mengecek apakah ada keramik yang pecah atau salah pasang.

9. Pastikan waktu pembangunan rumah sesuai janji Developer
Rata-rata pembangunan sebuah rumah di perumahan memerlukan waktu 4-6 bulan. Jika developer berjanji membangun paling lama enam bulan, sedangkan masa enam bulan hampir habis, sering-seringlah menelpon developer untuk menunaikan kewajibannya.

10. Tanyakan berapa lama waktu pemeliharaan bangunan
Jika waktu pemeliharaan adalah enam bulan, berarti jika ada kerusakan misalnya genteng bocor, mesin air rusak, maka yang bertanggungjawab memperbaiki adalah pihak developer bukan pemilik rumah.

Selamat berburu rumah,..

Pengalaman Seru : Berburu Rumah Idaman

Setahun setelah menikah, aku dan suami berencana untuk membeli rumah idaman. Alasannya, bosan mengontrak. Apalagi harga kontrakan naik setiap tahun.Ditambah lagi, kami sudah kena banjir tiga kali saat banjir besar melanda Jakarta, tetapi kami malas pindah kontrakan dan angkut-angkut barang. Rumah yang kami idamkan, standar saja. Cukup dua kamar tidur, satu kamar mandi, ada ruang tamu, ruang tengah, teras ya sekitar lebar dua meter, juga dapur. Lokasinya strategis, dekat dengan jalur transportasi. Secara kemampuan, kami tak punya cukup uang. Duit di tabungan hanya ada beberapa juta saja. Tak kehilangan akal, kami pun memutuskan untuk meminjam kredit tanpa agunan ke sebuah bank pemerintah. Setelah proses kredit disetujui dan uang sudah masuk ke rekening, perburuan untuk mencari rumah pun dimulai. Aku mulai bertanya-tanya ke teman-temanku yang sudah punya rumah duluan. Bagaimana mereka mencarinya? Kira-kira butuh waktu berapa lama? Ya, tentu saja kalau uang kami banyak, mungkin tak butuh waktu lama untuk mendapatkan rumah. Masalahnya, budget kami terbatas.

Berbekal koran yang setiap hari aku pinjam dari teman kerja sebelah meja, aku mulai rajin membaca iklan-iklan rumah di jual. Tentu saja, karena budget terbatas, rumah yang dicari kami utamakan yang di perkampungan alias di luar komplek perumahan. Wow,...ternyata harganya mahal-mahal, jauh diatas budget. Ya iyalah mahal, orang yang kamu lihat iklan di kompas, begitu komentar temanku. Aku hanya senyum-senyum saja, maklum belum pengalaman. Saran temanku, bacalah koran Pos Pota, terutama edisi sabtu-minggu. Di situ, banyak sekali iklan rumah di jual. Akhirnya, setiap sabtu-minggu aku dan suamiku rajin memelototi iklan baris rumah di jual di Pos Kota. Setiap menemukan rumah yang murah, dan lokasinya masih sekitar Jakarta Selatan, aku  dan suami dengan semangat empat lima segera menelepon ke nomor telepon pada rumah yang diiklankan. Rumah yang kira-kira memenuhi syarat idaman kami, kami tulis pada buku kecil. Alamat, nomor telepon dan perkiraan lokasi sesuai pembicaraan telepon. Setelah menelpon ke beberapa rumah yang diiklankan, dan catatan telah siap, biasanya minggu pagi-pagi, kami mulai berburu.

Pengalaman-pengalaman seru kami dapatkan. Pencarian pertama, sebuah rumah di dekat Pasar Minggu, arah Ragunan. Setelah di jalan beberapa kali menelpon karena salah jalan, kami hampir menemukan alamat yang dicari. Ya Ampun, kok jauh banget dari jalan utama, jalan memutar-mutar, ke kiri, kanan, kanan, kiri. Tanya sama orang yang lagi duduk depan rumah. Rumah nomor 10A yang mana pak? Oh, itu, ke kanan dikit, lewat jalan kecil. Duh,..sudah malas melanjutkan, tapi telanjur. Ternyata, rumah itu menghadap ke samping jalan raya. Depan rumah sudah tembok orang. Teras rumah sempit dengan lebar sekitar satu meter. Tak ada cahaya matahari. Rumah itu pun kami coret dari daftar.

Pencarian selanjutnya, sebuah rumah yang katanya dekat jalan TB. Simatupang. Setelah menelpon, kami mendapat arahan. Motor kami lajukan sampai dekat kantor pajak Pasar Minggu. Ada jalan sebelum kantor, ke belakang, ke kanan, duh aku tidak hafal. Urusan jalan, aku serahkan ke suami. Setelah masuk cukup jauh, ketemu rumah yang kami cari. Rumahnya sesuai dengan idaman kami. Tapi, ternyata sebelah rumah adalah warnet dan banyak sekali anak-anak punk yang nongkrong di situ. Hm,..kami coret lagi.

Rumah ketiga. Sebuah rumah di daerah Ciganjur apa Jagakarsa ya? Pokoknya, melewati jalan depan rumah sakit Zahirah, terus ke belakang. Hatiku langsung sreg melihat rumah tersebut. Kecil, sesuai standar kami. Baru selesai dibangun, masih tahap finishing. Saat itu, hujan yang tak begitu deras turun. Kami pun menanti hujan reda sambil mengobrol dengan pemilik rumah. Setelah hujan reda kami pulang, dan kalo cocok, akan kembali lagi. Olala, ternyata jalan menuju rumah baru yang tadi kami lalui, telah penuh dengan air. Aku sudah takut saja kalau daerah itu daerah banjir. Pencarian hari itu pun kami cukupkan.Rumah itu pun kami coret dari daftar.

Hari-hari selanjutnya tetap sama, mencari iklan, menghubungi, mencatat pada buku kecil.Kadang, teman-temanku ikut membantu perburuan ini. Saat jalan dan menemukan ada iklan rumah murah yang kebetulan mereka lihat, mereka beritahukan padaku.Teman-temanku yang tinggal di Depok pun ikut menyemangatiku, dan membantu mencari rumah sekitar Depok.

Entah untuk pencarian yang ke berapa. Aku sudah lupa. beberapa unit rumah siap bangun di Pasar Minggu. Untuk ukuran komplek, ini terhitung murah, pikir kami. Dengan bersemangat, kami menuju sebuah rumah di  jalan raya Pasar Minggu, arah Tanjung Barat. Sebelum pintu rel Poltangan. Oh, rupanya sebuah kantor pemasaran. Kami bertemu langsung dengan pemilik. Setelah membahas mengenai rumah, melihat gambar desainnya, selanjutnya kami bertiga menuju lokasi tanah. Jalannya lebar, bisa masuk mobil, lokasi tak begitu jauh dari jalan raya. Nah, mataku melihat deretan nisan yang terletak tak begitu jauh persis di belakang lokasi yang akan dibangun rumah. 
"Ih, deket kuburan Mas" kataku pada suamiku
"Iya sih Bu. Tapi kuburan di kota 'kan tidak seram seperti di desa" kata pemilik tanah menanggapi perkataanku. Kembali kucoret daftar rumah pada buku kecil.

Perburuan berikutnya daerah Depok, sekitar Kembang Beji. Lagi-lagi gagal. Kali ini, karena tidak sesuai dengan budget kami, alias ketinggian. Pemilik rumah tetap keukeuh tak mau menurunkan harga rumah sedikit pun. Ya sudahlah. Lagi tidak BU (butuh uang). Beberapa lama memutuskan berhenti berburu rumah.Capek. Lagi pula, aku sedang hamil muda. Sementara suami tak mau mencari sendiri, dengan alasan, soal rumah akulah yang menentukan pilihan cocok tidaknya. Rasanya susah menemukan rumah yang sesuai dengan budget kami dan seperti harapan kami.

Suatu sore suami mendapat telepon dari Pak Robby, orang yang dulu rumahnya pernah kami lihat. Beliau memberikan informasi bahwa ada rumah yang sesuai budget kami di belakang kampus UI. Suami pun menjawab, kalau tidak sesuai budget kami, tawarkan ke orang lain saja pak. (Haduh, harus memberi fee ke calo nih). Tetapi, Pak Robby membujuk, agar kami melihat dulu, siapa tahu ada yang cocok. Tenang saja, pak. Nanti kalau deal, saya dapat feenya dari yang punya rumah kok. Ada tiga rumah di lokasi yang berdekatan, terang pak Robby yang membuat semangat kami berburu rumah kembali bangkit.

Siang menjelang sore, dengan perut besar aku nekat ikut suami ke Depok dengan naik krl ekonomi. Zaman itu, belum ada AC Ekonomi, apalagi Commuter Line. Yang ada hanya krl Ekspress yang berhenti di stasiun tertentu, dan krl ekonomi yang berhenti di tiap stasiun. Mungkin karena hari libur, jadi kereta agak lengang dan aku mendapatkan tempat duduk. Sebenarnya lebih senang naik motor, tapi apadaya motor sedang di pinjam sepupu suami menjemput saudaranya di Kelapa Gading. Turun kereta, kami janjian ketemu pak Robby di pintu perlintasan kereta. Tak lama beliau muncul. Pak Robby memboncengku, sedangkan suami naik ojek. Motor berjalan pelan, di samping karena membawaku yang hamil besar, juga saat itu masih pengerjaan Fly over Arif Rahman Hakim sehingga kendaraan yang melintas tidak dapat mengebut karena banyak kendaraan proyek dan material bangunan di sepanjang jalan. 

Tibalah kami di lokasi rumah. Rumah pertama, lokasi belakang masjid. Masih benar-benar bangunan baru. Harganya sepuluh juta lebih tinggi dari budget kami. Selain itu, depan dan samping rumah itu masih tanah kosong. Tetangga rumah adalah kontrakan dengan beberapa gerobak pedagang. Takut saja kalau nanti bayiku hanya tinggal sama pengasuh, sedangkan tetangga pada pergi dagang. Kalau ada apa-apa bagaimana? Rumah kedua, adalah rumah di komplek kecil sebelah masjid. Bagus sih, tapi harganya tak terjangkau. Bisa KPR, tapi sayangnya aku baru berutang ke bank, jadi pasti permohonan KPR bakal ditolak. 

Rumah ketiga adalah rumah yang masih di sekitar masjid juga. Berpagar setengah meter, bercat coklat muda. Dadaku langsung berdesir begitu melihat dan menapakkan kakiku di terasnya. Rasanya seperti melihat orang ganteng saja. Ha ha ha. Kok aku merasa cocok dan suka ya? Kami pun masuk dan melihat ruangan rumah. Pemiliknya, Pak Franky dengan ramah menunjukkan ruangan-ruangan pada kami. Karena merasa cocok, kami pun memberanikan diri bertanya berapa harganya. Oh, rupanya masih lebih tinggi dari budget kami. Kami meminta agar harganya bisa diturunkan. Kami pun pulang dengan membawa harapan. Semoga harganya bisa turun.

Dua hari kemudian, suami mendapat telepon dari pak Franky tentang kelanjutan pembelian rumah. Harganya bisa turun, tapi tak banyak, jelas suamiku lewat hape. Okelah, kalau harganya sesuai yang pak Franky mau, kita minta beres saja mas. Dalam arti, pajak, BPHTB, notaris, ditanggung penjual. Alhamdulillah, pak Franky setuju.

Pada hari yang sudah ditentukan, aku izin kantor untuk tak masuk kerja. Dengan naik motor kami menyusuri jalanan menuju Depok. Entah karena perasaan senang, rasanya jarak Jakarta-Depok menjadi dekat saja. Ketemu pak Franky, kami langsung menuju notaris yang sudah dipilih. Setelah tanda tangan ini itu, kami pun pulang. Hanya dalam hitungan hari rumah itu telah menjadi milik kami. Alhamdulillah. Benar-benar saat yang tepat yang Allah berikan. Rumah itu kami dapatkan tepat seminggu sebelum kontrakan rumah habis masanya. Sebuah perburuan yang berakhir indah. Dan rumah kecil ini terasa begitu luas ketika cicilan utangku lunas akhir tahun 2010 kemarin.

Buat semuanya yang sedang berburu rumah, tetap semangat, jangan menyerah.


Selasa, 03 April 2012

TENTANG MERTUA : HIDUP DARI ALAM, TIDAK MEREPOTKAN

Banyak teladan yang bisa aku ambil dari mertuaku. Mereka memang orang ndeso, tetapi pemikiran mereka luas dan penuh perencanaan. Mertuaku, hanya tinggal berdua saja di rumah tua mereka. Kedua anaknya, salah satunya adalah suamiku, sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Kakak suamiku tinggal masih satu desa dengan mertuaku, tetapi karena kesibukan bekerja dan mengurus keluarga, mereka hanya sesekali bertemu. Ibu mertuaku, yang kupanggil Mak Cas, masih sangat kuat dan gesit, sehat sekali. Diusianya yang sudah hampir tujuh puluh tahun, masih kuat ke sawah, menanam padi, membersihkan rumput-rumput disela batang padi, bahkan masih kuat menggendong sekarung gabah di punggungnya.
Bapak Mertuaku, Pak Ruban, juga masih sehat, berjalan tegap, meski umurnya mendekati delapan puluh tahun. Masih kuat berjalan jauh, masih bisa turun ke sawah. Sejak aku menikah dengan anaknya, bapak mertuaku selalu menganggapku seperti anaknya sendiri, bukan sebagai menantu. Aku sangat dekat dengan bapak mertuaku. Mengobrol, aku pun tak canggung-canggung, seperti halnya mengobrol dengan bapak kandungku. Kedua mertuaku hidup rukun, akrab dan saling mengasihi. Selama aku menjadi menantunya, tak sekali pun aku mendengar bapak mertua mengomeli ibu mertua, atau berkata yang kasar. Ibu mertua juga tipe istri yang melayani suami banget. Setiap pagi, ketika hari masih gelap dan masih dingin, Mak sudah bangun, menjerang air dan memasak nasi. Semua dikerjakan sendiri dengan cepat dan cekatan, setelah selesai barulah Mak turun ke sawah. Sehari-hari, mereka mengurusi sawah, memelihara ayam dan bebek sebagai kerjaan sampingan. Untuk makan, mereka mengandalkan dari alam. Daun kacang panjang (lembayung), kacang panjang, daun singkong, timun, juga oyong adalah sayuran sehari-hari yang mereka santap. Sayuran tersebut, mereka tanam sendiri disela-sela tanaman padi. Dibelakang rumah berjajar tanaman cabe dengan buahnya yang lebat dan pedas. Sayuran itu hanya dikukus saja, dimakan dengan sambal terasi dan ikan asin bakar atau ikan panggang. Selain dikukus, kadang Mak membuat sayur asem atau sayur bening tanpa minyak. Kadang memanfaatkan kelapa di samping rumah untuk membuat sayur lodeh. Minyak goreng jarang digunakan. Untuk memasak, Mak tidak menggunakan gas, melainkan menggunakan kayu. Kalau kayu habis, masih bisa menggunakan daun-daun kering, batang-batang jagung kering atau daun kelapa yang sudah kering. Makanya, ketika harga minyak tanah dan gas mahal, Mak tidak ikut pusing. Alam menyediakan apa yang Mak butuhkan.

Suatu hari, suamiku ditelpon seorang saudaranya yang mengabarkan bahwa pak Ruban sakit demam dan meriyang sudah dua hari, buang air kecil sakit. Katanya karena kebanyakan makan jengkol. Ya, jengkol adalah menu favorit bapak. Tahu kan jengkol? buah yang berbentuk bulat gepeng,berkulit coklat, aromanya dahsyat, tapi banyak yang suka. Kalau kebanyakan orang makan jengkol yang sudah disemur, bapak makan jengkol untuk lalapan. Setiap hari, jengkol adalah menu wajib. Jika sedang musim, pasti mudah mencarinya, tetapi saat tidak musim sangatlah susah. Untungnya, selama ini mudah saja mendapatkan jengkol. Bahkan, sering dibela-belain masuk ke hutan untuk mencari jengkol. Sepulang kerja suamiku langsung ke terminal bus pulang ke Pemalang.
"Tolong pak, sudah semakin sepuh, dijaga ya pola makannya biar sehat, jangan sering-sering makan jengkol. Saya kan jauh"cerita suamiku saat menasihati bapaknya
Bukannya mengiyakan permintaan anaknya, pak Ruban malah berucap. Aku sudah tua, sudah melihat kamu mentas, Le. Masmu juga sudah jadi orang. Rasanya, bapak sudah siap kapan pun dipanggil. Tapi, soal jengkol bapak tak mungkin berhenti.
Aku hanya bisa senyump-senyum mendengar kengototan bapak. Lha,..wis kadhung tresno, mau pisah sama jengkol mah susah.
Bapak dan Emak juga bukan orang tua yang mau merepotkan anak-anaknya. Mereka sangat tahu diri. Melihat anak-anaknya mandiri, punya keluarga sendiri tanpa merepotkan orang tua, mereka sudah sangat bersyukur. Banyak kita lihat, orang tua yang direpotkan anak-anaknya. Sudah menikah dan punya keluarga, makan masih numpang sama orang tua. Orang tua disuruh untuk menjaga cucunya dari pagi sampai malam dengan segala kerepotannya. Alhamdulillah anak-anak bapak tidak merepotkan bapak. Kadang, ketika ada uang lebih, kusisihkan untuk mereka, saat suamiku pulang menjenguk. Aku memang tak bisa sering ikut pulang, karena masih ada bayi yang rentan sakit jika sering kubawa pulang naik bus, trus naik-turun kendaraan, sambung ojek juga. Ternyata, uang yang selama ini kami berikan tak serupiahpun digunakan oleh mertuaku. uang itu mereka pinjamkan ke saudara-saudara, pastinya tanpa bunga ya. Maksudnya, daripada disimpan di rumah, atau ditabung ke bank, mertuaku tak punya rekening, dan bank begitu jauh di kota. jadilah, uang itu dipinjam pada saudara. Harapan mertuaku, ketika nanti mereka sudah tua sekali, tak bisa lagi bekerja, mereka bisa menggunakan uang itu untuk menyambung hari tua mereka. Aku sangat terharu sekali mendengar cerita ini. Mertuaku sungguh mulia. Sungguh berpikiran jauh ke depan. Padahal sebagai anak, aku pun tak menolak jika mereka mau tinggal dirumahku. Aku akan berusaha memperlakukan mereka dengan baik. Dari cerita saudara-saudara suami, mereka melakukan itu karena mereka tak mau merepotkan anak-anaknya.