tag:blogger.com,1999:blog-33309187491322237232024-03-07T02:04:08.866+07:00Bunda Keisha Berbagi CeritaBlog tentang catatan harian ibu pekerja dan rumah tanggajejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.comBlogger16125tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-36525001112366750652018-09-14T10:33:00.001+07:002018-09-14T17:02:08.905+07:00BERSABARLAH DENGAN KESABARAN YANG BAIKSemalam, ketika aku menyempatkan diri untuk membaca kitab suci-Nya selepas sholat isya. Sejenak tertegun membaca ayat berikut ini : <br />
<br />
<span style="font-size: large;">فَٱصۡبِرۡ صَبۡرٗا جَمِيلًا</span> <br />
Faashbir shabran jamiilaa(n)<br />
<br />
artinya : Maka berssabarlah kamu dengan sabar yang baik<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Aku termenung, berulang membaca ayat tersebut. Sungguh, ini sebuah nasihat yang sangat indah. Cubitan buat diriku. Selama ini, aku susah sekali berlaku menjadi orang yang sabar. Selalu mengedepankan amarah, tidak bisa menahan. Penginnya, ketika marah, segala rasa yang kurasakan aku muntahkan agar hilang semua kesal, rasa kecewa, tanpa mempedulikan perasaan orang lain. Jeleknya, ketika sudah pernah berselisih dengan seseorang, aku memilih untuk menjaga jarak dengan orang tersebut. Bukan menghindar atau tak lagi berteman, tetapi menjaga jarak, karena ada rasa takut akan tersakiti kembali.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pun Alloh sangat tahu, bahwa saat ini pikiranku sedang kacau. Bermacam masalah datang dan pergi silih berganti. Mungkin di luar aku terlihat kuat, padahal sebenarnya aku rapuh. Ada sebuah transaksi pribadi dengan pihak lain, yang membutuhkan bantuan orang dekat di sekelilingku. Aku pengin semua sesuai prosedur, cepat, tidak ditunda-tunda dan berharap masalah cepat rampung. Jarak dan waktu yang terbentang membuatku tak bisa menangani kasus ini secara langsung, karena akan memakan banyak waktu dan biaya serta kasihan anak-anak jika aku tinggalkan sementara waktu. Akibatnya, aku membutuhkan bantuan dari adikku, orang tua, saudara dan juga tetangga. Namun, sering kali harapan tak sesuai dengan kenyataan. Ada kalanya, pihak yang kumintai bantuan sedang sibuk dengan urusannya. Kadang kala, karena komunikasi tidak langsung, jadi pesan tidak tersampaikan dengan sempurna. Ada kalanya pihak lain ini seakan mempersulit, santai menanggapi kelengkapan berkas yang aku minta. Mereka mungkin lupa atau tidak tahu ada sebagian kewajiban yang belum dituntaskan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sering kali aku menangis, dan berdo'a dalam cucuran air mata, agar Alloh permudah jalan ini. Agar aku selalu diberi kesabaran untuk bisa melewati semua ini. Ada rasa lelah yang mendera. Perasaan putus asa, kecewa, dan ada rasa menyesal juga kenapa dulu aku mengiyakan sehingga terjadi transaksi ini. Rasa kecewa ke seseorang yang seakan lepas tangan dan membiarkanku berjuang sendiri untuk menyelesaikan masalah ini. Bayangkan, saat aku galau dan berkali menangis, tetiba dapat pesan wa tanpa salam tanpa sapa nama, dan langsung berkata yang menyudutkan. Sakit, karena yang mengirim pesan adalah orang dekatku. Namun, paksu selalu menghibur, insyaalloh ada jalannya. Tidak merugi orang-orang yang bersabar. Mereka orang baik, pasti semua akan berakhir baik. Mungkin, mereka biasa melaksanakan apa-apa tidak buru-buru, sedangkan kita terbiasa dengan ritme yang serba cepat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Selain rumitnya menyelesaikan masalah ini, ditambah lagi masalah domestik. Iya, menghadapi anak-anak yang baru tumbuh besar, yang sifat ngeyelnya mendominasi, belum bisa patuh dan paham berkomunikasi serta capek merasakan pekerjaan rumah tangga, makin memperburuk emosiku. Tak jarang aku kelepasan, dan berujung mengunci diri di kamar, menangis sambil membenamkan wajah ke bantal. Iya, aku lelah. dan aku bukan orang yang sabar. Maka ketika aku membaca ayat ke 5 di surat Al-Ma'arij diatas, aku benar-benar serasa ditegur. Selama ini mulut sering berucap sabar, tetapi hati tidak. Aku mencari tahu tentang bersabar dengan kesabaran yang baik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kesabaran yang baik adalah kesabaran yang menenangkan, yang tidak disertai dengan kemarahan, kegoncangan dan keraguan terhadap kebenaran janji Allah. </div>
<div style="text-align: justify;">
Adalah kesabaran orang yang percaya pada akibat yang akan terjadi, yang ridho pada ketetapan Alloh, yang merasakan hikmah di balik ujian-Nya.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kesabaran yang baik adalah kemampuan untuk menghadapi masalah dengan diam, tenang, dan ridha.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sabar yang baik langsung dibarengi dengan prasangka yang baik terhadap Alloh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ya Alloh, bimbinglah hamba-Mu ini agar bisa belajar sabar, bersabar dengan kesabaran yang baik.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b><br /></b></div>
jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-8276391169004929272018-08-21T12:59:00.000+07:002018-09-05T11:41:20.265+07:00JANGAN ADA CANDID DI ANTARA KITA<div style="text-align: justify;">
Pagi hari ini, tanggal 21 Agustus 2018 saya membuka sosial media dan membaca sebuah berita duka cita. Jelas saya sangat terkejut ketika membaca berita yang dimuat dalam grup sebuah transportasi. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kronologisnya begini. Beberapa waktu lalu, beredar foto seorang ibu hamil yang nekad masuk di kereta yang sudah penuh sesak. Jadi, terlihat si ibu berdiri berpegangan, sementara pintu kereta hendak menutup. Foto tersebut diambil oleh orang lain, dan menyebar kemana-mana instagram, facebook, dan media lain tanpa seijin si bumil. Awal mula foto itu diambil sih tujuannya baik, yaitu memberi semangat kepada para bumil akan besarnya perjuangan seorang ibu yang sedang hamil. Namun yang kemudian terjadi adalah adanya pembelokan opini, muncullah komentar-komentar pedas dari para netizen (pernah baca kalimat : maha benar netizen dengan segala komentarnya?). Komentar-komentar yang positifnya adalah banyak yang mendoakan dan menyemangati bumil, pengingat-ingat begitulah perjuangan seorang ibu. Akan tetapi sangat banyak komentar yang bernada membully, menyalahkan si bumil yang seakan-akan tidak memikirkan keselamatan dirinya dan bayinya. Ibu nekad, tidak sayang janin yang dikandungnya. Suaminya kemana? dan masih banyak koment pedas lainnya. Emang nih netizen kalau koment pedas melebihi pedasnya cabe. Semua yang komentar miring seakan menumpahkan kekesalannya dan menimpakan tuduhan kepada si bumil tanpa pernah tahu alasan si bumil nekad masuk di krl yang penuh.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oke, kita yang berkomentar merasa puas sudah menuliskan uneg-unegnya. Sudah tuntas dan tak ada lagi beban yang terpendam. Entah salah atau benar komentarnya, yang penting sudah merasa menyampaikan apa yang dirasakan oleh diri sendiri. Peristiwa berlalu, sebagian besar sudah melupakan bahwa jemarinya telah menorehkan sejarah kepada seseorang. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Jangan lupa, ini era teknologi. foto candid itu pun sampai kepada si pemilik asli dari foto yang beredar. Segala komentar terbaca oleh si bumil. Mungkin, kita akan berkomentar lagi. Gak usah diambil hati, gak usah baper deh. Kondisi mental seseorang tuh berbeda dengan orang lain. Apalagi ini seorang ibu hamil, yang mana dalam masa kehamilannya si ibu hamil mengalami perubahan hormon yang membuat kejiwaannya menjadi mudah melow, mudah tersentuh, mudah sensitif dan suasana hatinya mudah berubah-ubah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ibu hamil ini tertekan karena merasa telah dibully. Bullying menurut Wikipedia bullying adalah penggunaan kekerasan, ancaman, atau paksaan untuk menyalahgunakan atau mengintimidasi orang lain, bisa secara emosional, fisik, verbal, dan cyber. Nah ibu hamil ini terkejut, shock fotonya nyebar kemana-mana dan dengan segala komentar tentangnya. Dia tak salah apa-apa, tetapi karena selembar foto orang menjudgenya. Menilai sesukanya, tanpa tahu apa alasan yang mendasarinya. Yang mengenalnya dengan baik pastilah orang-orang yang dekat dengannya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dibully dalam keadaan hamil itu sangat menyakitkan. Sekali lagi, kondisi mental orang itu berbeda. Ada yang mentalnya sekuat baja, ndableg dan tidak baperan. Ada yang seolah kuat tapi sebenarnya lemah. Lah ini kondisi ibu yang sedang hamil? Ya Alloh, pasti bebanmu sangat berat buk. Pasti engkau sangat sedih dan terus memikirkan soal ini setiap hari sehingga mengganggu kesehatanmu dan bayi kembar dalam perutmu. Semoga Engkau tenang disisi Allah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pelajaran buat kita semua, terutama buat diri saya sendiri. Jangan merasa menjadi orang penting bila bisa menjadi orang pertama yang menyampaikan berita atau kejadian. Mau memfoto atau mengupload sesuatu ada aturan dan etikanya. Jangan lagi suka candid, jika yang diambil fotonya tidak terima dan menempuh jalur hukum, maka anda akan kena Undang-Undang ITE. Jangan suka mengomentari sesuatu hal hanya berdasarkan sesuatu yang tampak dari luar. Ingatlah, yang secuil itu tidak menampakkan yang keseluruhan. Seperti halnya ketemu orang saat itu sedang marah, jangan lantas menjudge bahwa orang tersebut seorang pemarah. Jangan juga mengecap seseorang yang saat itu tersenyum sebagai orang yang murah senyum. Kesan pertama tak selalu menunjukkan jati diri yang sebenarnya. Ingat ya....</div>
<h3 class="r">
</h3>
jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-69469181596742458002018-08-20T17:07:00.003+07:002018-08-20T17:07:51.039+07:00BUNTU<div style="text-align: justify;">
Di kepala banyak cerita yang ingin kutuangkan dalam bentuk tulisan. Akan tetapi, ketika aku mulai mengetiknya, cerita-cerita tersebut menguap begitu saja. Hilang sebagian, kadang hanya ingat sebagian, dan rasanya aku begitu kesusahan untuk kembali merangkainya. Lalu menyadari, ah...cerita ini tak menarik untuk kutulis. Apalagi sampai dibaca oleh orang banyak. Tentu hanya akan membuatku malu saja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di jalan banyak kejadian, yang tentunya akan menarik bila diceritakan dalam rangkaian kalimat. Tentang pejalan kaki yang susah menyeberang padahal sudah berada di zebra cross, tentang pemotor yang nekad-nekad dan tak mau memberi kesempatan pada pejalan lain juga kendaraan lain. Para pengendara yang memacu kendaraannya dengan cepat dan serba terburu-buru, saling serobot bahkan kadang tak mempedulikan nyawa, seakan hidup di ibukota adalah perlombaan yang abadi dengan waktu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Di stasiun kereta. Kita terbiasa melihat orang yang datang dan pergi serba terburu-buru. Naik dan turun kereta berpacu dengan waktu. Memaksakan masuk, tak mau menunggu kereta berikut. Turun kereta, keluar stasiun berlarian sambil mata tak lepas dari jam di pergelangan tangan. Menunggu ojek dengan gelisah. Mau naik angkutan pun khawatir terlambat. Waktu terus berjalan, detik berlalu demikian cepat. Terkadang, meski segala usaha telah dilakukan, tetapi ada saatnya mengalami kata terlambat. Berujung pada pemotongan gaji. Berimbas pada mood di hari itu. Wajah tak lagi menampakkan senyuman manis.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Serumit apapun hidupmu, sepahit apapun hidupmu, hidup haruslah terus berjalan. Kadang-kadang kita bercanda mengomentari segelas kopi yang terasa pahit, bahwa masih lebih pahit hidup ketimbang segelas kopi. Ketika seorang teman mengeluh bahwa hidupnya selalu banyak masalah, banyak rintangan, kita dengan enaknya komentar kalau banyak rantangan itu kateringan namanya. Hahaha. Ironi ya. Kadang manusia memang suka menertawakan diri sendiri. Hidup memang sudah pahit, jadi nikmatilah. Sesekali kita perlu menertawakan diri sendiri biar terlihat bahagia bisa tertawa.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-24536138657694267332018-08-19T16:00:00.001+07:002018-08-20T17:16:40.643+07:00BERSYUKUR BERSYUKUR BERSYUKUR<div style="text-align: justify;">
Pernahkah anda merasa hidup begini-begini saja? Stuck. Monoton. Seolah tiada tantangan? Pernahkan merasa bosan bekerja di suatu tempat, karena saking sudah sangat nyamannya sampai-sampai anda merasa jenuh dan butuh tantangan atau pengin pindah kerja ke tempat lain?</div>
<div style="text-align: justify;">
Seringkah kita merasa, gaji segini-segini saja yang diterima setiap awal bulan. Sebenarnya sudah cukup besar, tetapi kenapa selalu merasa kehabisan dan ngap-ngapan menjelang akhir bulan. Kenapa mau beli ini itu belum juga kesampaian, kalah oleh banyak kebutuhan rumah tangga, sekolah, keluarga besar, cicilan, sumbangan dll.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Wahai kawan, jika anda sering merasa begitu, tenang saja. Banyak kok temannya. Banyak orang yang merasakan apa yang anda rasakan. Rumah punya, kendaraan punya, tabungan meski dikit ada, pakaian bisa berganti-ganti tinggal pilih seisi lemari. Makan bisa kenyang tanpa takut esok tak makan. Akan tetapi, serasa hidup itu gersang ya? Seperti sudah minum tetapi masih terasa haus? Hidup tak ada yang kurang, tapi serasa ada yang tidak pas. Semua itu berpangkal pada rasa syukur. Yap. Kita hanya merasa, tiap bulan gajian adalah memang hak kita setelah sebulan bekerja. Itu hak kita. Kita tak ingat bahwa itu memang rejeki yang sudah ditentukan oleh Alloh sang maha pemberi rejeki. Seandainya dalam sebulan itu ada waktunya kita sakit, tidak bisa berangkat kerja atau ada anak kita yang sakit, apakah gaji yang akan kita terima nanti akan utuh? Ada banyak kantor loh yang memotong gaji karyawannya ketika karyawan tidak masuk kantor (dengan alasan selain cuti). Kantor tempat saya mengais rejeki pun begitu. Jika pegawai mendaratkan jari diatas mesein presensi diatas pukul 08.00.59, maka pegawai tersebut akan kena potong 0.5% per hari pegawai tersebut terlambat. Semisal pegawai tersebut terlambat datang karena gangguan transportasi contohnya karena KRL mogok, atau terjadi kecelakaan di tol yang dilalui pegawai tersebut, pegawai tsb akan tetap kena potongan bila telat sampai kantor.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seringkali kita masih merasa kurang saja dengan penghasilan yang kita peroleh. Ada kenaikan gaji satu juta. Kenaikan tersebut bukannya kita tabung, tapi malah kita gunakan untuk menambah kebutuhan lain. Ada kenaikan gaji sedikit, gaya hidup ikutan berubah. Yang semula mau makan di warteg, sekarang ganti makannya di warung bersahaja. Yang semula mau saja pakai sepatu biasa, mulai melirik dan belanja sepatu merek lain yang harganya lebih waow. Tidak ada yang salah kalau kita mau memantaskan diri agar penampilan kita terlihat lebih pantas. Akan tetapi, jika gaya hidup tersebut mengganggu biaya hidup yang berujung pada hutang dan ketidaksyukuran atas rejeki yang kita dapat, ini jelas sesuatu yang salah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika kita selalu merasa kekurangan, tengoklah ke bawah. Pada orang-orang lain yang tidak seberuntung kita. Banyak sekali contohnya. Kita harus keluar rumah, berjalan. Di perjalanan, di pasar, di stasiun atau tempat lain, akan banyak hal yang membuat kita menjadi lebih bersyukur. Tukang angkut sampah, kerjanya keras, menggunakan otot untuk bisa menarik atau mendorong gerobak sampah. Menyingkirkan segala rasa jijik akan bau sampah, demi untuk mendapatkan upah atas pekerjaan yang di jalaninya. Pedagang keliling, semisal es lilin. Di saat hari panas terik. Menjajakan es lilin keliling kampung. Suara serak meneriakkan barang dagangan. Kaki capek melangkah, es di termos mulai mencair. Tapi baru beberapa es lilin yang terjual. Di rumah, sang istri menunggu dengan cemas. Apakah sore nanti beras terbeli untuk makan anak-anak yang masih kecil?</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu siang yang panas, selepas dhuhur. Waktu yang tepat buat beristirahat merebahkan badan pada kasur yang empuk dan ac yang dingin serasa membelai wajah meninabobokan. Akan tetapi siang yang panas itu, saya keluar rumah untuk membeli susu di toko serba ada dekat perbatasan desa. Melintasi jalanan dari gang ke gang, dan pandangan mata tertumbuk pada sosok tua yang terkantuk-kantuk di depan pagar sebuah rumah, di bawah pohon rindang. Bapak tua tukang sol sepatu, terlihat dari properti yang tergeletak disebelahnya. Hati langsung berdesir. Ya Alloh, beginilah beratnya hidup seorang kepala keluarga.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sekitar satu jam berbelanja, Saya pun pulang dan kembali melewati jalanan yang tadi. Bapak tukang sol sepatu masih duduk di tempat yang sama. Apakah dia sudah dapat uang hari ini? entahlah, semoga Alloh mudahkan rejekinya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Semalam, sepulang kerja saya mencari ciput ninja untuk anak saya yang mau ikut lomba. Mencari ke setiap toko yang menjual pernak-pernik muslimah, tapi barang yang saya maksud tidak ada. Seseorang menawari saya tissu, tapi saya hanya melihatnya sekilas lalu menolaknya karena sedang fokus berjalan ke toko satunya. Namun, ada perasaan aneh yang membuat saya bertekad nanti akan beli tissunya si bapak. Dari toko tersebut, kembali melewati pedagang tissu, kubeli sebungkus tissu yang harganya tak seberapa. Ya Alloh, penjualnya sudah sepuh, indra pernglihatannya juga bermasalah. Senyumnya sumringah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Alhamdulillah. Terima kasih ya Neng. Ini bonusnya mau tidak?" ucap beliau sambil membuka kotak yang ternyata isinya adalah es lilin (sejenis es lilin).</div>
<div style="text-align: justify;">
"Maaf pak. Tidak usah ya" tolakku halus sembari tersenyum.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terus terang, hatiku sangat teriris. Tiba-tiba ada sebongkah rasa sedih dan entah perasaan apa namanya. Hari sudah malam tapi bapak tua masih menjajakan dagangan. Duduk ngedeprok di dekat pintu masuk sebuah toko. Kupandangi beliau sekali lagi, sebelum motorku meninggalkan parkiran. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kembali kususuri toko demi toko, tapi barang yang kumaksud tidak ada. Akhirnya saya kirim pesan wa ke salah satu orang tua temannya Kei, curhat bahwa saya ada kendala. Setelah berbalas pesan via wa, akhirnya saya membeli ciput yang hampir serupa dengan yang tadi dicari. Selesai membayar dan menyimpan ciput dalam tas, kami pulang. Ah, masih terbayang wajah bapak tua penjual tissu. Di perjalanan pulang kami melihat sekeluarga pemulung. Dua anak-anak naik gerobak yang ditarik oleh lelaki dewasa, yang saya perkirakan adalah bapaknya dan seorang bayi dalam gendongan perempuan dewasa yang mengikuti lajunya gerobak. Dua anak perempuan kecil dalam gerobak berceloteh khas anak-anak, bercanda, tak mempedulikan pandangan dari orang-orang yang berpapasan dengan mereka. Angin malam, udara kotor dari sisa-sisa kendaraan bermotor, juga suara bising menyertai langkah kaki mereka mengais sampah dan barang-barang bekas. Mungkin ada yang berkomentar, kenapa sih si bayi tidak tinggal di rumah saja barang si ibu? Kita biasanya hanya berkomentar dari apa yang kita lihat, tanpa tahu pasti alasannya apa. Yang jelas, hidup di kota besar itu memang keras dan butuh kerja keras. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Makanya setelah melihat kehidupan dari kacamata lain, setidaknya membuat kita jauh lebih bersyukur. Syukuri apa yang sudah kita capai. Jangan selalu melihat ke atas, sesekali melihatlah ke bawah. Jika kita punya suami yang penghasilannya kecil, jangan asal mengeluh dan menuduh pemalas. Lihatlah dan ingat-ingatlah semua kebaikannya. Sering manusia sudah berusaha sedemikian keras, tapi kalau takaran rejekinya hanya segitu, mau gimana lagi? Yang penting halal, dan dia sudah berusaha keras untuk memberikan nafkah terbaik buat keluarganya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Begitu pula sang suami, ketika pulang bekerja dan mendapati rumah berantakan, jangan serta merta menuduh istri pemalas. Bisa jadi, seharian tadi si kecil rewel, sang istri tidak bisa memasak dan beberes karena si kecil maunya digendong terus. Kalau masih ada tenaga, bantulah beberes, pasti itu akan membuat sang istri tersenyum manis dan membuatnya merasa sangat bersyukur memiliki suami seperti anda.</div>
<br />
<br />jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-54330899020270855972018-08-15T17:17:00.000+07:002018-08-15T17:17:01.259+07:00ALHAMDULILLAH, MASIH REJEKI<div style="text-align: justify;">
Sabtu pagi, adalah hari bersantai-santai setelah lima hari sebelumnya berurusan dengan pekerjaan. Sabtu pagi, cita-cita adalah bangun siang, tapi apalah daya, kewajiban adalah kewajiban tak bisa ditinggalkan. Jadi tetap bangun pagi, menunaikan kewajiban dan tidak bisa bobok lagi (ilang ngantuknya).</div>
<div style="text-align: justify;">
Selesai shalat selonjoran di kamar sejenak membuka hape melihat ada kesibukan apa di dunia maya. Baru sebentar ngeklik sana-sini, sudah kedengaran suara Paksu di luar kamar.</div>
<div style="text-align: justify;">
"Bun, mau ke pasar tidak?"tanyanya sambil membawa baju kotor sekeranjang ke belakang</div>
<div style="text-align: justify;">
"Pasar donk"jawabku sambil mata tetap melihat ke hape.</div>
<div style="text-align: justify;">
"Yuk ayuk ah, sebelum makin siang" ajak paksu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dengan setengah malas aku beranjak keluar kamar. Mengganti baju dengan baju panjang, kulot, dan jilab slup-slupan. Tak perlu menengok ke dalam kulkas, karena aku sudah hapal apa saja yang habis. Baru buka pagar, si kecil berlari dari dalam kamar merengek minta ikut. Jadilah kami ke pasar bertiga. Sabtu pagi, jalanan sekitar Beji lumayan lengang. Jauh banget bedanya dibandingkan dengan ketika hari kerja. Tak sampai lima belas menit, kami sampai di Pasar Kemiri. You know, di mana itu Pasar Kemiri? Letaknya persis di sebelah stasiun kereta Depok Baru.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah menitipkan motor di parkir langganan, kami melintasi rel menuju pasar. Baru tahu, kalau tempat jualan sudah ditembok permanen. Kami menuju tukang sayur langganan dengan jalan satu-satu, tidak bisa bersisian, karena jalannya hanya muat untuk dua orang dua arah. Areal pasar sebenarnya luas, tetapi karena selama ini mengganggu aktivitas transportasi di sekitar Depok Baru, apalagi para pedagang berjualannya sangat memakan jalanan angkot, akhirnya sering menimbulkan kemacetan. Ditambah lagi, ada agenda pemkot Depok untuk merenovasi terminal bus, sehingga demi kelancaran transportasi, maka ruas jalan yang semula digunakan oleh para pedagang untuk berjualan, sekarang sudah dipagar tembok. Menurut mbak pedagang ayam, para pedagang kini waktu jualannya shift shift an, ada yang jualan pagi, dan sebagian lain gantian jualan di waktu siang, demi sama-sama bisa punya tempat dan rejeki tetap mengalir.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pagi tampak mulai panas, karena tak ada terpal atau apapun yang biasanya dipakai pedagang buat berteduh. Sinar matahari langsung mengenai kulit. Suasana pasar tampak ramai seperti biasanya, karena memang di pasar ini lah semua barang dijual dengan harga murah. Aku membeli dua ekor ayam, ati ampela, udang dan sayur mayur serta buah untuk kebutuhan seminggu. Belanjanya sudah biasa di langganan, jadi tidak lagi menggunakan tawar menawar. Meskipun ditawar, toh harga paling turun seribu dua ribu, karena rata-rata sudah menjual dengan harga pas, jadi tidak khawatir dimahalkan buat yang jarang belanja disini.</div>
<div style="text-align: justify;">
Selesai belanja, Paksu memanggul belanjaan, saya menggendong Fakhri. Duh, bocah yang tampak kurus ini tetap saja membuatku terengah-engah saat menggendongnya. Apalagi pas digendongan badannya sengaja meliuk kesana kemari sambil tak henti menciumi pipi bundanya (so sweet), jadinya makin kepayahan aku menggendongnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebelum melintasi rel kereta, tak lupa kami menoleh ke kanan ke kiri memastikan keadaan aman. Jalan disisi rel ini memang sangat sempit, jadi harus jalan bergantian jika sama-sama membawa tentengan, karena setengah jalanan dimakan pedagang, ditambah lagi papasan dengan orang yang keluar masuk stasiun atau baru pulang dari pasar yang kebanyakan bawaannya bejibun.</div>
<div style="text-align: justify;">
Kugendong Fakhri sampai parkiran. Setelah meletakkan Fakhri posisi berdiri di parkiran, aku menuju tukang kelapa langganan, beli kelapa parut. Paksu sibuk mengemas belanjaan agar memudahkan membawanya. Setelah semua beres dan tak lupa membayar parkir, kami pun keluar parkiran dengan hati-hati. Jangan pikir setelah keluar parkiran langsung ketemu jalanan lancar. Tidak, karena ini masih area pasar. Banyak pengunjung pasar yang menaroh parkir seenaknya, ditinggal belanja di sekitar jalan. Juga becak dengan banyak muatan, dan abangnya yang kecapekan mengayuh becak. Ditambah lagi angkot yang menurunkan penumpang, berderet-deret membuat macet. Sabar saja kalo tiap hari lewat pasar kemiri. Untung saja, aku naik turun kereta tidak di stasiun ini, bisa emosi tiap hari ehehhehe.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berhasil melewati barisan angkot, kemacetan lain menghadang di depan kami. Yap. Depok diatas jam delapanan pagi, mulai macet bok. Justru macet banget di hari Sabtu Minggu. Lengangnya cuma bentar waktu pagi tadi. Arus kendaraaan yang berasal dari jalan margonda, juga dari arah depok lama tumpah ruah di ujung fly over jalan Arif Rahman Hakim. kadang ikut terpancing juga ketika motor dan kendaraan lain di belakang bersikap tak sabaran, mainan klakson dengan harapan kendaraan di depannya segera memberi jalan. Emang dikira yang denger klakson telinganya gak pada pengeng apa ya. Dengan sangat hati-hati paksu selap selip diantara kendaraan. Ketika kami membelok ke arah jalan kembang, kami bisa sedikit lebih lega sudah masuk di jalanan kampung. Ujug-ujug paksu menghentikan motor di abang sayur depan mpokalfa, dan menunjuk-nunjuk barang hijau panjang, kode minta dibelikan. Setelah membayar, aku pun memasukkan barang hijau panjang beraroma semerbak ke dalam plastik belanjaan. </div>
<br />
Singkat cerita, sampailah kami di rumah. Aku turun dari boncengan dan membuka pagar. Setelah menurunkan Fakhri, aku masuk menaroh belanjaan.<br />
<br />
"Bun, plastik(isi) ayam mana?" panggil paksu. Suaranya terdengar panik.<br />
"kan tadi mas yang ngemasin" jawabku<br />
"Iya, tapi ini gak ada. Jatuh apa ya"ujar paksu<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Kupastikan keberaaan plastik ayam di belanjaan yang sudah kubawa masuk. Memang tak ada. Tak lama terdengar suara motor paksu menjauh dari rumah. Tinggallah aku di dapur sendiri. Fakhri sudah bergabung dengan kakaknya nonton kartun kesayangan di layar kaca. Fokus mereka tak terganggu ketika ayah bundanya panik kehilangan ayam. Kuambil segelas air putih dan kuteguk cepat. Ada rasa sebal yang tiba-tiba datang. Terbesit tanya, si ayam jatuh dimana? Lumayanlah harga dua ekor ayam, setengah kilo udang dan tiga ati ampela. Sambil menarik napas dan mengumpulkan energi positif, kucoba berpikir jernih. Ya namanya belum rejeki ya begini. Ya sudah seminggu ini makannya tempe tahu telor saja. Males kalau harus mengeluarkan uang lagi untuk belanja ayam. Kalau ayam dkk sudah ditemukan orang dan berniat menggorengnya, semoga itu bermanfaat buat lauk sang penemu. Tapi belajar ikhlas itu susah ya. Tapi tetap berusaha. Wis dah. Lupakan soal ayam. Mau disusuri sepanjang jalan apa iya ketemu? Gimana caranya? Ap malah si ayam sudah remek karena kelindes kendaraan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kunyalakan kompor buat menggoreng nugget untuk sarapan anak-anakku. Sambil menggoreng, kumasukkan sayuran-sayuran yang tadi dibeli ke dalam kulkas. Tak berapa lama, terdengar suara motor paksu. Antara harapan tapi takut kecewa, aku mengintip dari pintu dapur. Kudengan Faris bertanya ke ayahnya soal palastik merah yang dibawa. Hmm,...plastik merah???</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
"Ketemu dimana mas?" tanyaku senang saat kulihat plastik ayam ditenteng paksu</div>
<div style="text-align: justify;">
"Wah,.tadi mas udah sampai parkiran lagi. Pelan-pelan nengokin ke bawah kiri kanan. Eh ini tadi ketemu di di jalan Palem"jelas paksu</div>
<div style="text-align: justify;">
"Kok bisa ketahuan?"tanyaku penasaran</div>
<div style="text-align: justify;">
"Iya, tadi pas lagi noleh-noleh Mas lihat ada plastik merah di ruko jalan Palem. Trus ada koko-koko nanya, nyari apa mas? mas jawab nyari plastik isi ayam. Kayaknya itu ya ko? tanya mas sambil nunjuk plastik merah di ruko si koko. kata koko nya, tadi itu plastik dikira sampah, pas dibuka isinya ayam. Alhamdulillah ya bun, masih rejeki kita" senyum paksu sambil menowel hidung pesekku.</div>
<div style="text-align: justify;">
"Iya, alhamdulillah, seminggu ini gak jadi makan cuma dengan tahu tempe aja hehehe"</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terkadang, manusia susah untuk bersikap ikhlas, dan terlalu menakutkan tentang rejekinya. Dia lupa, ada Alloh sang maha pemberi rejeki. Kadang manusia, terlalu egois, ketika miliknya ada yang hilang. Tak jarang ada doa jelek yang terucap pada siapa saja yang menemukan barang miliknya. Padahal barang hilang tersebut karena keteledorannya sendiri, bukan karena dicuri atau diambil. Hikmahnya, ikhlaskan jika barangmu hilang karena keteledoranmu. Seandainya barang milikmu ditemukan orang dan orang itu tidak mau mengembalikan, ya ikhlaskan. Semoga Alloh memberi gantinya yang lebih baik. Namun, ketika kita berusaha untuk mengikhlaskan, ndilalah barang tersebut malah kembali lagi ke kita. </div>
jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-8799836377107832492018-07-31T15:01:00.000+07:002018-07-31T15:01:07.078+07:00Saya Pernah Bekerja di Pabrik (Bagian Satu)<div style="text-align: justify;">
Aku pernah merasakannya. Hidup berdampingan dengan gemuruh suara mesin. Manusia-manusia yang mempunyai kesibukan berdasarkan jam kelompoknya. Mess yang selalu ramai saat jam pulang kerja, dan kembali menjadi sunyi saat ditinggalkan penghuninya. Para pedagang makanan matang penyelamat dari kelaparan, serta nikmatnya tidur panjang di hari libur yang panjang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tahun 2000</div>
<div style="text-align: justify;">
Lulus sekolah, tapi tak lulus ujian menuju kampus idaman. Membuatku terpuruk dalam keminderan. Malas keluar rumah, karena akan selalu dapat sapaan tetangga. </div>
<div style="text-align: justify;">
-Masih di rumah aja?</div>
<div style="text-align: justify;">
-Katanya kuliah, kok belum berangkat?</div>
<div style="text-align: justify;">
-Nggak jadi kuliah?</div>
<div style="text-align: justify;">
-Gak kuliah di rumah mau apa?</div>
<div style="text-align: justify;">
-Emang kemarin ambil jurusan apa kok gak lulus? ketinggian sih standarnya.</div>
<div style="text-align: justify;">
dan....banyak sekali pertanyaan sejenis yang dilancarkan para tetangga.</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
seolah aku adalah artis terkenal. Orang beken, yang segala urusanku perlu diketahui oleh khalayak umum. Hariku terasa berat. Berat badan pun naik pesat. Bayangkan saja kerjaan tiap hari hanya makan minum tidur. Main keluar rumah jarang, abisnya takut ditanya-tanya orang.</div>
<div style="text-align: justify;">
Sesekali aku turun ke sawah membantu orang tuaku menanam padi, mencabuti rumput, dan memanen padi ketika sudah masuk waktu panen. Jangan dibayangkan apa enaknya di sawah. Selain puanas, bikin kulit jadi eksotik, kaki gatal, rambut merah, juga kadang-kadang ada hewan lintah. Tapi, sebagai anak yang baik, kutunjukkan baktiku pada orang tua. Masak cuma makan tidur aja kerjaanku.</div>
<div style="text-align: justify;">
Waktu berlalu terasa lambat. Pengin rasanya segera masuk bulan-bulan daftar kuliah. Kenapa tidak memanfaatkan waktu buat bimbel? Gak punya duit, itu jawabnya. Pengin kerja, kerja kemana? Gimana nyarinya? Ah...terbayang betapa susahnya menjadi aku waktu itu. Anak muda yang baru lepas dari bangku SMU dan baru merasakan gimana rasanya perjuangan hidup setelah lepas seragam putih abu. Duit tak punya. Gebetan tak ada. Hampa dah hampa.</div>
<div style="text-align: justify;">
Empat bulan berlalu terasa setahun. Suatu ketika untuk menghilangkan suntuk aku pergi ke kota, naik sepeda ontel cuyy, demi untuk menghemat ongkos. Jarak desa ke kota sekitar dua belas kilo, dengan beban dua puluh kilo diboncengan. Iya, aku pergi bareng adikku yang masih berumur sembilan tahunan demi agar selama perjalanan aku punya teman ngobrol. Kami ke kota, sekedar untuk beli mie ayam dan es teh manis. Iya sesekali kami pun orang ndesa butuh hiburan. Sekedar makan mie ayam pun itu sudah sebuah hiburan yang mewah. Kau tahu kawan? Hidup di desa dari keluarga yang sederhana dengan penghasilan seadanya, nyari uang itu susah bener. Mau jajan barang seharga seribu dua ribu pun susah. Maka kadang kami anak kecil suka nahan-nahan jajan dari uang yang kami kumpulkan entah pemberian kakek nenek atau saudara, seratus dua ratus rupiah, kami kumpulkan untuk bisa membeli semangkok mie ayam. Bukan ayam goreng kaefsi atau mekdi atau yang serba kekinian, kami tidak kenal semua itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
Pulang dari kota, jam dinding tua sudah menunjukkan pukul dua siang. Ada bekas gelas teh di meja ruang tamu. Ibu dan bapakku sudah berangkat kembali ke sawah. Kuhabiskan waktu dengan bermain bersama adikku menunggu kepulangan bapak ibuku. </div>
<div style="text-align: justify;">
"Tadi temanmu Marni kesini waktu kamu ke kota"ucap ibuku sore itu di dapur sambil mengaduk sayur</div>
<div style="text-align: justify;">
"Marni ada pesan apa bu?"tanyaku penasaran</div>
<div style="text-align: justify;">
"Dia bilang mau ke Purwakarta cari kerja. Mau ngajakin kamu"</div>
<div style="text-align: justify;">
"Ya besok aku coba main ke rumahnya"</div>
<div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
*********</div>
<div style="text-align: justify;">
Dua hari berlalu. Aku lupa pada janjiku untuk main ke rumah Marni. Ketika siang itu ibu pulang dari rumah, ibu membujukku untuk ke rumah Marni. Kukayuh pelan-pelan sepedaku membelah siang hari yang panas dan berangin sepoi. Suasana desa sepi. Kebanyakan warganya sibuk di sawah ladangnya. Sepedaku menembus pohon-pohon jagung dan aneka tanaman lain. Sesekali suara ternak mengembik bersahutan. Rumah marni tak jauh lagi, diujung perladangan ini. Kusandarkan sepeda pada pohon mlinjo di halaman rumah. Tanganku mengetuk pintu yang sedikit terbuka.</div>
<div style="text-align: justify;">
Simbok Marni menyambutku. Setelah salaman dan saling menanyakan kabar, kuutarakan maksud kedatanganku. Kaget kudengar kabar itu. Kecewa itu pasti. Aku terlambat. Marni telah berangkat ke Purwakarta tadi pagi. Air mata menetes. Kuminta alamat yang dituju Marni di Purwakarta sana. Entah bagaimana dan dengan siapa aku akan menyusulnya ke Purwakarta.</div>
Aku menangis sepanjang perjalanan ke rumah. Menyesal. Kenapa aku kemarin tidak segera ke rumah Marni ketika tahu dia ke rumahku. Aku harus menyusulnya. aku harus kerja. Pergi ke Purwakarta adalah alasan yang jelas agar aku terlepas dari segala pertanyaan orang. Agar aku bisa tegak lagi menatap dunia. Agar aku bisa membuang segala keminderanku karena gagal diterima di kampus impian.<br /><br />jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-24311010334147355342018-07-20T10:58:00.001+07:002018-07-20T10:58:29.575+07:00Tangisku Luruh dalam Kebekuanmu(Nyoba bikin cerpen. ini kutulis tahun 2012) <br />
<br />
"Sekarang kamu makan. Selesai makan, bantu Bapak mengangkat gabah yang sedang dijemur" ucap Bapak tegas tanpa ekspresi.<br />
Aku menganggguk. Kakiku masih pegal-pegal setelah jalan sekitar tiga kilo meter jarak dari sekolah ke rumah. Rasanya aku ingin istrirahat, merebahkan badanku di dipan kayu dan bisa tidur. Tetapi khayalanku harus kembali kukubur dalam-dalam. Perintah Bapak harus aku laksanakan, tanpa alasan. Aku makan dengan pelan, menikmati tumis kangkung dan tempe goreng serta sambal terasi. Ibu masih sibuk membolak-balik gabah yang sedang di jemur. Panas matahari sudah berkurang, berganti dengan awan yang mulai menghitam menggelayuti langit.<br />
<br />
"Ayo cepat makannya. Nanti keburu hujan dan padi-padi belum masuk rumah" teriak Bapak dari halaman<br />
Buru-buru kuselesaikan makanku, dan segera menuju halaman sebelum Bapak bertambah marah.<br />
<br />
Padi-padi yang tadi dijemur sudah selesai dimasukkan ke dalam karung-karung. Ada lima belas karung. Dan au harus memanggulnya satu persatu. Padi-padi ini bukan sepenuhnya milik Bapak, tetapi milik Bu Sri, pemilik sawah yang digarap bapak. Besok siang bu Sri akan datang mengambil hasil paro, setengah dari jumlah padi di karung-karung ini. Sudah empat karung padi yang berhasil kupindahkan ke rumah. Duh, aku lelah sekali. Pengin rasanya bilang ke bapak, biar bapak membantuku.<br />
"Yang benar bawanya. Anak laki-laki harus kuat" teriak bapak ketika melihatku terhuyung saat memanggul padi.<br />
<br />
Ditengah pekerjaanku mengangkuti padi, beberapa teman mainku melintas. Rupanya mereka hendak pergi memancing persawahan dekat kantor pos.Pengin sekali aku ikut memancing. Membayangkan dapat ikan banyak, digoreng buat lauk makan malam. Hmm, nikmat.<br />
"Wan, kami mau memancing. Mau ikut?" Budi menawariku<br />
"Iya, ikannya lagi banyak. Kemarin saja kita dapat ikan banyak" cerita Jono berapi-api, membuatku semakin tertarik<br />
<br />
Aku menengok ke arah bapak. Bapak memandangku galak. Dari sorot matanya, aku paham bapak tak mengijinkan aku ikut mereka. Aku menggelengkan kepala ke arah teman-temanku. Mereka juga kecewa karena aku tak bisa bergabung dengan mereka.Mereka paham bagaimana watak bapakku.<br />
<br />
Pekerjaan mengangkuti padi selesai sudah. Kuteguk segelas air putih. Peluh membanjiri dahi dan punggungku. Kutarik nafas penuh kelegaan. Selesai kerjaan ini, berarti aku bisa menyusul teman-temanku. Hari beranjak sore. Kukemasi peralatan memancingku. Kail, joran, dan umpan berupa cacing yang kucari di tanah belakang rumah telah siap. Aku mengendap-endap keluar pintu samping. Ehm. Suara deheman bapak seketika menghentikan langkah kakiku.<br />
"Mau kemana? Tugasmu belum selesai" bentak bapak<br />
"Itu, beras ibumu sudah habis" tangannya menunjuk pada ember penyimpanan beras yang sudah kosong "Sekarang, ke penggilingan padi, bawa gabah yang digudang" lanjutnya<br />
Uh, bapak. Kapan sih aku bisa beristirahat dan bisa menikmati duniaku barang sejenak. Jengkel dengan sikap bapak, aku pun lari dengan peralatan pancingku. Eh ternyata bapak mengejarku. Aku kalah gesit dan bapak berhasil mencengkeram krah bajuku.<br />
<br />
"Dasar anak nakal. Pulang" tangan kekar menampar pipiku.<br />
Sakit dan panas sekali rasanya pipiku. Beberapa orang tetangga yang melihat kejadian ini tak bisa berbuat apa-apa. Mereka sudah hapal, bapak memang terkenal galak dan pemarah.Dengan terpaksa kuturuti kemauan bapak. Kutuntun sepeda dengan langkah cepat. Sekarung gabah kuletakkan ditengah-tengah sepeda. Iri rasanya melihat anak-anak seumuranku yang sedang asyik bermain bola di halaman, ada juga yang asyik bersepeda dengan penuh canda tawa.<br />
<br />
**************************<br />
<br />
Pagi ini kembali aku ke sekolah jalan kaki. Kata bapak sepedaku mau dipakai ibu ke sawah. Padahal ibu sudah bilang, ke sawahnya mau jalan kaki saja, lewat jalan pintas biar bisa cepat sampai. Kasihan kalau aku jalan kaki lagi, mana pulangnya panas-panas. Tetapi, bapak tak menggubris permintaan ibu. Entahlah, kok bapak rasanya tak pernah sayang padaku. Tak pernah tahu dan mau tahu kebutuhan sekolahku.Bayar sekolah pun aku harus minta berkali-kali. Kalau pun akhirnya diberi, tak jarang uang itu disumpalkan kemulutku saat aku menangis menunggu uluran uang darinya.<br />
<br />
Siang ini begitu panas. Teman-temanku sudah pulang duluan, mungkin sudah sampai rumah. Aku jalan kaki sendiri. Bukannya tak ada yang menawariku untuk dibonceng sepeda, tetapi aku merasa tak enak menumpang terlalu sering. Duh, ujian kenaikan kelas seminggu lagi. Bagaimana aku bisa belajar dan dapat nilai bagus, kalau setiap hari aku harus selalu bantu bapak ini itu. Setiap pulang sekolah selalu ada pekerjaan yang menungguku. Seolah bapak tak pernah senang membiarkan aku tenang tak terganggu.<br />
<br />
"Jadi anak itu harus nurut sama orang tua. Gini-gini aku bapakmu, yang ngasih makan kamu. Kalau masih kecil saja susah diatur, bagaimana nanti kalau sudah besar? Jangan ikut-ikutan teman-temanmu. Mereka anak orang berpunya. Kamu? kalau bapak tak kerja mati-matian kita semua tak bisa makan" panjang lebar pidato bapak saat melihat mukaku yang cemberut dan ditekuk waktu disuruh menggembala kambing<br />
<br />
"Wawan kan mau belajar Pak. Seminggu lagi ujian untuk kenaikan kelas" rajukku<br />
"Alah. belajar. belajar. Memang mau jadi apa kamu nanti. Tetap aja nanti jadi orang susah seperti bapakmu ini" bantah bapak<br />
<br />
Dengan cemberut kukeluarkan empat kambing-kambing ini dari kandang. Tanpa mempedulikan raut wajah keterpaksaanku, kambing-kambing itu keluar kandang dengan ceria. Tanpa dikomando mereka kompak menuju lapangan rumput yang letaknya beberapa rumah dari rumahku. Lapangan rumput ini persis di pinggir jalan raya. Motor dan mobil berseliweran. Beberapa anak gembala berteduh di bawah pohon cemara yang mengitari sepanjang lapangan rumput. Angin sepoi-sepoi membelai wajahku. Nikmatnya. Kambing-kambingku sedang asyik merumput. Hoamm. Mengantuk.<br />
<br />
"Hei, bangun!" aku kaget ketika sebuah pukulan kayu telah melayang di kepalaku. bapak.<br />
" Disuruh jaga kambing malah enak-enak tidur. Tuh, kambingmu keserempet motor" kualihkan pandanganku ke seberang jalan. Seekor kambingku terduduk dengan kaki berlumuran darah. Aduh. Salah lagi.<br />
"Makanya kalau kerja yang benar" kembali bapak memukulkan kayu kali ini ke punggungku.<br />
"Ampun pak. Sakit" Sebisa mungkin kutahan air mataku. Aku tak mau menangis dan dibilang cengeng. Malu dilihat orang-orang yang lewat.<br />
<br />
Sejak insiden kambing, kegalakan bapak makin menjadi-jadi. Aku selalu jadi bahan pelampiasan. Aku sudah tak betah di rumah. Mau pergi, pergi ke mana? Pengin rasanya nakal sekalian daripada aku tersiksa begini. Tapi mau merokok aku tak punya uang. Mau nongkrong-nongkrong di perempatan jalan, kasihan ibu pasti malu kalau aku jadi omongan. Detik demi detik tak cepat berlalu. Setahun lagi, setelah aku lulus SMP, aku bisa bebas dari rumah ini, dari neraka yang diciptakan bapak. Kadang aku berpikir, apa aku bukan anak kandungnya, kok bapak begitu galak dan ganas padaku. Ibu juga sering tak bisa bertindak netral, tak bisa membelaku saat bapak memarahiku.<br />
"Betapa pun buruk tabiatnya, dia itu bapakmu, bapak kandungmu. Tanpa dia, tak mungkin kamu ada di dunia ini" Nasihat ibu setiap kali kukeluhkan sikap bapak.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-19629847806329125192013-09-10T13:36:00.004+07:002018-12-26T14:39:55.500+07:00Dimanakah Nurani Itu? (Episode Kursi Prioritas)<img border="0" height="480" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjIRqTfS1FzImD-ZUl3pnitrQIcI22xr6zFyYBfBsPtpLo8yaBC4jSIu-JKQDsXgOluAgfS04jY2VdwQ13r3tExCjiCo-lrsLfPbsiqRdsPr1kj4ktyz-G3HIbC83eaHbMwwQK8nIVP1vbM/s640/img-20111110-00100.jpg" width="640" />gambar tempat duduk prioritas yang saya ambil dari blog orang<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">Pagi itu seperti biasa aku terburu-buru melangkah ke stasiun ketika kudengar tanda-tanda kereta hendak datang. Secepat apapun langkahku, tak dapat mengurai kemacetan dan tumpukan orang di peron ruang tunggu. Tak bisa langkahku mebawaku ke gerbong paling ujung, gerbong khusus wanita. Dengan ragu, kuhentikan langkah, melongok pada pintu yang terbuka. Kosong? secepat angin, aku meloncat ke gerbong campur. Kereta yang "aneh" karena ga sepadet biasanya. Definisi padat disini : Tak bisa berdiri tegak dengan dua kaki, badan mengkeret karena dipress dari depan belakang kanan kiri. Leher ga bisa berdiri tegak karena tangan tetangga nyelonong seenaknya di depan muka hanya untuk berpegangan pada gantungan pegangan. Padahal tanpa berpegangan pun tidak akan jatuh.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">Dan perjalanan kereta "aneh" ini pun dimulai. Oh ya. Menjelang detik detik pintu hendak ditutup dan kereta siap berangkat, meloncatlah sepasang manusia bergabung ke gerbong ini. Sebenarnya sih aku tidak bermaksud menguping apa yang mereka bicarakan, tetapi, kupingku tak sengaja saja mendengarnya, tanpa terlihat sengaja. Sebutan yang mesra. Mereka memanggil mama dan papa. Tadinya sebelum kudengar si cowok manggil mama, si cewek berjilbab (tapi aku belum lihat wajahnya) ini memang anaknya si papa. Tapi kok lama-lama mencurigakan ya. Kok papa mama, dan pengin dekat-dekat papa. Lalu dengan gerakan pelan gak mencurigakan, pura-pura melihat jalan diseberangku, aku amati wajah itu cewek,..oalah,.ini mah papa mama ketemu gedhe. Risih juga nih berdiri dekat-dekat orang kasmaran. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">Stasiun demi stasiun terlewati. Naiklah seorang ibu membawa batita yang tertidur dalam gendongannya, dan seorang perempuan hamil. Para lelaki di depan pintu segera memberi ruang pada mereka." Ayo ke dalam biar dapat duduk". Mereka meminta jalan dan bisa berdiri tepat di depan kursi prioritas. Seorang mbak cantik yang berdiri di depan kursi prioritas tetap asyik memainkan BB nya, demikian juga mas ganteng di sebelahnya. Dan, aku pun menunggu. Sungguh. Aku menunggu. Aku pengin tahu siapa yang peduli dan siapa yang gak mau tahu. Aku pengin tahu, seberapa egois orang di kereta ini-termasuk aku didalamnya-. Sejatinya aku merasa kesal karena kadang tak bisa berbuat apa-apa, hanya membantu meminta buat mereka, sedang orang lain hanya melihat sekilas saja, tak peka tak merasa. Menit demi menit berlalu. Kereta yang tersendat-sendat akibat ada gangguan sinyal di Manggarai makin memakan waktu. Si papa mama berbisik di telingaku. "Bu colek aja tuh yang duduk disitu. Kan ntar mereka bangun". Kuilhat bapak yang duduk di kursi prioritas, sepertinya sakit. Mata kirinya diperban. </span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">"Ibu geser ke dalam aja, biar dapat duduk" kata si mbak hamil ke ibu yang membawa batita. Oh,..jadi mereka ga saling kenal ya. kupikir siibu yang gendong batita ini adalah ibu si mbak hamil.</span><br />
</div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">Si ibu menggendong bayi bergerak ke arah kursi prioritas di belakangku, sisi lain kursi prioritas. Orang-orang hanya memberi celah untuk melangkah tanpa ada kata-kata. Lama-lama aku tak kuat menahan kejengkelanku. Kesal dan Jengkel. Masa orang sebanyak ini gak ada yang berniat menolong sungguh-sungguh. Hanya enteng-enteng saja bilang kedalam aja masuk aja biar g dapat duduk. Hello,..kau pikir semua orang itu punya nyali untuk minta?</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">"Tolong donk yang dekat kursi, colekin yang duduk disitu jangan cuma saling menunggu. Gak semua orang itu berani untuk minta. Mesti ada yang mbantuin" ucap seseorang di dekatku, dan langsung kuiyakan.</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">Baru deh orang bereaksi. Sebel. Kesal. Kecewa. Sedih. Marah. Ini soal kecil apa besar? Ya memang ini soal kecil. Tapi soal kecil ini dibiarin gimana dengan yang besar? Alah,...ini kan kejadian biasa di kereta. Wis, biasa aja. Ya setiap saat bisa saja terjadi. Tapi kita manusia-manusia yang punya hati, manusia sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Kita harus bisa berempati pada orang lain. Bangku prioritas ya memang untuk prioritas. Bukan orang g hamil, sehat sehat saja karena saking nyamannya duduk disitu sampai tertidur tidur pulas dan gak mau beranjak berbagi tempat dengan yang membutuhkan. Manusia manusia dengan baju rapi dan wangi, intelek, pegang BB atau gadget mahal, asyik saja mainin gadget ga peduli dengan orang lain. Paling banter update status : "a</span><i><span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">da ibu bawa anak dan wanita hamil, udah berdiri depan kursi prioritas, tapi ga dapat duduk juga</span>"</i></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "arial" , "helvetica" , sans-serif;">Akhirnya si ibu dapat duduk, demikian juga dengan si mbak hamil. Apa semua hal harus diminta dengan keras baru diberikan? Apa memang hati para manusia kota sudah demikian kerasnya sehingga tidak bisa disentuh dengan kata lembut, ataukah ini hanya sepenggal potret kehidupan yang kebetulan saja tersaji nyata di depan mata?</span></div>
jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-54382784822845165872013-07-30T16:56:00.002+07:002018-12-26T14:49:11.038+07:00KETIKA MENILAI SESEORANG DARI PENAMPILAN<div style="text-align: justify;">
Zaman ini, semua hal dilihat dari penampilan. Rumah yang bagus, kendaraan yang bagus, pakaian yang bagus, juga gadget yang bagus.</div>
<div style="text-align: justify;">
Di mana-mana, rasanya ketemu orang perlente berpenampilan serba bagus, orang lebih menaruh hormat, dibandingkan apabila ketemu dengan orang yang berpenampilan bersahaja.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entahlah, zaman ini kadang membingungkan. Orang lebih senang berpenampilan bagus memoles diri disana-sini, hanya untuk bisa dilihat lebih "wah" daripada orang lain. Tampil dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki dengan semua barang yang bagus. Jam bagus, baju bagus, sepatu bagus, tas bagus, cincin gelang, pakai semua deh, udah serasa toko perhiasan berjalan. Emang gak takut apa ya? Kejahatan mengintai dimana-mana. Makanya kapan hari tuh ada meme : Mendingan mana pake tas harga jutaan tapi isi tasnya cuma ada duit seratus ribu. Atau Pake tas harga seratus ribu tapi isinya uang jutaan? hahahha.<br />
Bukannya tidak suka dengan penampilan yang serba wah. Boleh berhias, tapi tidak berlebihan. Apalagi tampil elegan tapi dari uang pinjam -istilah di kampungku <i>"galih gaya-gaya tapi nyilih"- </i>yang ketika ditagih galakan yang punya utang daripada yang punya duit.<br />
<br />
Zaman ini, orang mudah terbujuk rayu. Mudah ikut-ikutan gaya orang lain. Selalu berusaha memenuhi keinginan tapi susah untuk menuruti hal yang memang dibutuhkan. Tetangga beli mesin cuci satu tabung, ikutan beli. Padahal mesin cucinya yang dua tabung masih baik-baik saja. Tetangga beli kulkas dua pintu, ikutan beli, padahal kulkasnya yang satu pintu masih adem gak ada masalah. Tetangga pasang AC, ikutan pasang AC, padahal dia gak perlu-perlu amat. Rela tiap hari makan di tempat makan mahal, padahal masak sendiri lebih hemat dan sehat. Alasannya masak di dapur tuh panas, capek, bikin berantakan, ntar gak bisa disambi buka facebook, instagram, youtube dll. Rela memakai kartu kredit dengan tagihan bengkak demi mendapatkan barang diskon yang sebenarnya kurang dibutuhkan. Giliran tagihan CC datang, gelagapan.<br />
Nek ngene yo kasihan suamimu, istrimu, anakmu, ortumu, tetanggamu, temanmu. Loh?</div>
<div style="text-align: justify;">
Zaman ini semua menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, yaitu uang. Mendapatkan uang tak melulu dengan jalan halal berpeluh-peluh dan menguras tenaga. Kalau bisa, dengan jalan pintas tapi langsung dapat banyak. Orang lupa arti kerja keras, arti harga diri. </div>
<div style="text-align: justify;">
Orang selalu menuntut kesejahteraan. Menuntut upah yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan kinerja. Rewang minta naik gaji ke tuan. Tapi setelah dinaikkan gajinya, kerja gak makin bagus. Malah makin kusyuk nonton tivi, ngerumpi. Kerjaan rumah gak beres, anak tuan gak diurusin. Orang lain yang gaji sudah tinggi sudah sangat layak dibandingkan dengan orang lain, tetapi senantiasa merasa kurang. Banyak cicilan ini itu, jadi gaji selalu habis di akhir bulan. Kok bisa kan gaji dan tunjangan udah naik? Ya bisa lah. Wong selisih kenaikannya dipake buat ngredit barang baru, buka utangan baru, bukannya disimpan sebagai tabungan. Yekan, yekan???</div>
<div style="text-align: justify;">
Tungggu,..ini soal cicilan. Cicilan KPR okelah, kan memang rumah kebutuhan pokok. Cicilan mobil perlulah. Tapi kalo sudah buat nyicil ini itu yang kurang perlu, sebenarnya ya salah dia tidak bisa memanaj keuangannya dengan baik. Jadi, kalo sudah begini, punya penghasilan berapa pun akan selalu merasa kekurangan.</div>
<div style="text-align: justify;">
Mengutip kalimat orang terdekat : dulu, aku begitu hormat dengan orang kaya, rapi, dan berpenampilan bagus. Tetapi kini, rasa hormat itu perlahan luntur setelah tahu bahwa kekayaan itu diperolehnya dengan mudah lewat cara-cara yang tidak baik. Aku lebih menghormati tukang angkut sampah, tukang ojeg dan tukang-tukang asongan lain, tukang jual keliling dan siapa pun yang mereka memperoleh uangnya dengan peluh dan pedih, lewat perjuangan keras. Menunggu rizkinya datang, dijemput, dan ketika datang sedikit mereka tetap berlapang dada, tersenyum dan tetap terucap syukur dari bibirnya. Sebesar apapun penghasilan, kalo kita sendiri tidak mencukupkan, maka akan selalu kekurangan. Gajimu selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi tak akan pernah cukup untuk memenuhi gaya hidup.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
(Edisi curhat)</div>
jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-82931608071521022252013-01-17T09:07:00.000+07:002013-01-17T09:07:02.498+07:00JANUARI : Hujan Sehari-hari, Banjir Dimana mana<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Semenjak Selasa lalu, 15 Januari 2013, wilayah sekitar jembatan Kalibata terkena banjir. Warga banyak mengungsi di bawah fly over, dan tempat sekitarnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
Saya pribadi ikut prihatin terhadap para korban banjir ini. Saya sendiri pernah mengalaminya sekitar akhir tahun 2006 atau awal tahun 2007, saat masih mengontrak rumah di Rawajati Barat. Saya merasakan betul bagaimana menderitanya kebanjiran.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dalam ingatan saya, waktu itu hujan turun terus menerus tiada hentinya semenjak sore. Sekitar jam sembilanan malam, air mulai masuk rumah. Saat itu rumah kami(saya dan suami) tanggul seadanya. Ember, plastik, cobek, dan perkakas lain kami gunakan untuk membuat tanggul sementara. Barang-barang sudah kami amankan diatas kursi atau meja atau tempat tidur. Pikir kami, amanlah, semoga hujan segera berhenti. Tanpa kami perhitungkan, serangan banjir muncul dari arah kamar mandi. Jadi, saluran air kamar mandi itu desainnya langsung terhubung dengan saluran air di pinggir-pinggir rumah warga. Paniklah kami, tanpa bisa menghentikan laju air tersebut. Lalu suami menyuruh saya tinggal di kamar saja. Dengan agak ragu, saya turuti permintaan suami. Kamar pun mulai ditanggul dari luar. Tiba-tiba perut besar saya mules. Aduh, apakah saya akan melahirkan dalam keadaan seperti ini? Rasanya belum waktunya. Oalah, ternyata pengin pup. Panik, Saya panggil suami, biar mau membukakan pintu. Tapi suami menolak dengan alasan agar air tidak masuk kamar. Dan jreng jreng, terpaksalah dengan selembar kresek hitam saya tuntaskan hasrat malam itu. Untungnya masih ada satu botol aqua yang bisa saya gunakan untuk bersih-bersih, hihi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Menit demi menit terasa begitu lama. Hujan bukannya berhenti malah semakin deras. Pukul sepuluh atau sebelas malam rumah kami benar-benar diserbu air yang deras mendesak berlomba memenuhi rumah, dan langsung tinggi hampir setengah meter. Pasrah. Saya pun naik ke tempat tidur, berdampingan dengan barang-barang. Badan lelah, tapi pikiran gelisah, membuat kami tak bisa tidur. Yang kami pikirkan, kapan air surut agar kami segera bisa bebersih.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entah pukul berapa air mulai surut, kami dan para tetangga mulai sibuk membersihkan rumah masing-masing. Bau amis, sampah, hewan kecil-kecil, cacing bertebaran disana-sini. Dengan sisa tenaga kami bersihkan rumah secepat mungkin agar bisa segera memejamkan mata.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pagi, pukul tujuh saya tinggalkan rumah menuju tempat kerja. Hujan masih deras, sepanjang jalan digenangi air setengah betis. Masih ada suami di rumah yang siaga banjir, barangkali dia akan ke kantor agak siangan.Dan benar, sekitar pukul sembilan suami menelpon mengabarkan baru saja ada banjir susulan dan sudah suami bereskan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seharian hujan jatuh terus-menerus. Karena di kantor yang tertutup, saya tak begitu tahu sederas apa. Setelah pulang kerj, begitu sampai rumah langsung kaget. melihat tanah kotoran memenuhi lantai dan dinding. Ternyata kebanjiran lagi. Berarti sedari malam, kena banjir 3X!. Kami pun mulai berpikir untuk mencari kontrakan baru, atau cari rumah. Capek membersihkan bekas banjir. Alhamdulillah, awal Februari kami dapat rumah kecil di Depok. Bye bye banjir.</div>
<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://www.act.or.id/bencanabanjir/Kresek%2001.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="213" src="http://www.act.or.id/bencanabanjir/Kresek%2001.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
Gambar banjir yang saya ambil dari Website Aksi Cepat Tanggap. <br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://statik.tempo.co/data/2012/11/22/id_152324/152324_475.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="182" src="http://statik.tempo.co/data/2012/11/22/id_152324/152324_475.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
Gambar lain yang saya ambil dari Tempo<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Terhadap para korban banjir, saya ucapkan turut bersedih, semoga semua tabah, tetap sehat dan semangat membersihkan sisa banjir. Saya saja yang kena tiga kali sudah menyerah, capek banget rasanya. Semoga banjir ini membuat kita semua jadi introspeksi diri, menyadari bahwa ada yang salah antara manusia dengan alam. Okelah, kita tak perlu ikut menghujat, menyalahkan pejabat dan orang-orang. Saya bukan warga Jakarta, tetapi setiap hari, kurang lebih sepuluh jam waktu saya habiskan di Jakarta. Kalau masalah banjir ini kita timpakan pada pemimpin yang baru menjabat beberapa bulan, ini salah besar. Siapa pemimpin sebelumnya, dan sebelumnya? Banjir kan tidak datang begitu saja, tentu ada pencetusnya.Apa sebenarnya akar masalah ini? Saya akan jawab dengan pemikiran saya, sekali lagi saya hanya orang awam, bukan ahli dibidang perbanjiran, jadi bisa saja banyak yang tidak sepakat dengan yang saya ungkapkan.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Pertama</b>, kurangnya daerah resapan air. Pohon-pohon sudah sangat jauh berkurang, dan jalanan disemen atau diaspal semua. Tanah yang tersisa hanya sedikit, makanya kalau hujan terjadi genangan dimana-mana.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Kedua</b>, gorong-gorong yang kecil dan sempit, parit atau selokan yang kecil dan mampet, tak mampu menampung debit air.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Ketiga</b>, sampah dimana-mana. Di parit, di selokan, di gorong-gorong isinya sampah dengan banyak ragamnya, segala jenis sampah. Mau bukti? Kalau naik mikrolet 16 dari Pasar Minggu atau naik Kopaja 57, saat melintas di atas jembatan Kalibata, lihatlah sungainya. Warnanya coklat keruh dan didominasi sampah. Orang buang sampah dimana-mana. Sudah disediakan tempat sampah, jalan cuma bentar ke tempat sampah, tapi ogah dan memilih buang sampah dibawah atau di dekat duduknya. Alasannya kan ada petugas yang dibayar buat bersihin sampah. Hallo,...semua mengandalkan petugas? Apa susah dan salahnya sih kita bantu petugas dengan kebiasaan baik ini. Trus, si pembuang sampah sembarangan ini, kalau ditegur atau diingatkan lebih galak dari yang menegur. Anak kecil itu lebih pinter dan lebih taat pada aturan, buang sampah pada tempatnya. Lha orang dewasa malah lebih parah? Di tempat umum disediakan tempat sampah yang bagus, eh umurnya tidak lama. Ada saja yang lalu menjadikannya koleksi pribadi atau malah menjualnya dengan alasan perut. Contoh lain, orang ramai-ramai buang sampah di lingkungan kampus UI Depok, sambil melintas disitu, sambil buang sampah. Okelah, kalau buang sampahnya di tempat yang sudah disediakan, tak masalah. Lha ini buang sampahnya di sepanjang kiri kanan jalan. Sudah diberi spanduk peringatan, juga pada tidak bisa baca tuh. Kalau kampusnya berang dan akhirnya jalan ditutup untuk umum, kan rugi semua, padahal itu ulah segelintir orang.</div>
<div style="text-align: justify;">
<b>Keempat</b>, banyaknya para penduduk yang tinggal di bantaran sungai. Tinggal disitu, buang sampah disitu juga. Waktu kapan pernah baca, lupa dimana. Kalau tidak salah ada sebuah LSM atau apa yang wawancara dengan warga yang tinggal di bantaran sungai di Bukit Duri, Tebet. Intinya ditanyakan, adakah warga yang buang sampah di sungai? Si Narasumber, seorang ibu menjawab dengan mantap. Tidak ada. Nah, tiba-tiba melintas warga lain yang dengan santainya menenteng plastik gede lalu menceburkannya ke sungai. Jadilah si narasumber senyum tersipu-sipu. Padahal tinggal dibantaran sungai itu sangat berbahaya, dan sebenarnya dilarang. Namun, kebanyakan orang tak bisa membiarkan tanah kosong barang sedikit, langsung ditempati.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sudah saatnya kita harus berbenah. Mulai melakukan hal kecil yang kelihatan sepele, tapi besar manfaatnya. Mungkin membuang sampah sembarangan hanya sampah kecil, tetapi bila dilakukan terus-menerus dan oleh banyak orang, akan seperti ini akibatnya. Banjir dimana-mana, harta benda tenggelam, mengungsi dengan tidak nyaman, karena kepikiran dengan harta benda disekitarnya. Semoga banjir ini, membuat kita semua sadar, bahwa antara manusia dan alam adalah dua hal yang saling berkaitan, dan menimbulkan sebab akibat. Jika kita menjaga alam, maka alam pun akan menjaga kita.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-58363277985007329302012-05-01T10:32:00.001+07:002012-05-01T10:32:46.268+07:00Warna-Warni Pagi di Rangkaian Si Ular BesiAktivitas pagi telah dimulai. Matahari masih malu menampakkan diri. Tetapi, para manusia telah ramai memenuhi stasiun Depok Baru ini. Menunggu kedatangan kereta sesuai tujuannya. Beberapa calon pengguna kereta terburu-buru berlari ke peron begitu terdengar pengumuman bahwa kereta akan segera masuk jalur 1.<br />
<br />
Pintu terahir, Gerbong KKW (Kereta Khusus Wanita), Bogor-Tanah Abang<br />
Pintu belum membuka sempurna ketika kereta merapat di stasiun Depok Baru. Namun, para wanita sudah berebut, merangsek masuk. Teriakan terdengar dari mereka yang terkena dorongan. Sudah biasa terjadi keriuhan seperti ini, lalu sebentar kemudian kembali menjadi sepi. Meninggalkan stasiun Depok Baru, kereta oleng karena ada perlintasan rel. Kembali teriakan terdengar.<br />
"Aduh, jangan dorong-dorong donk"<br />
"Yee,..siapa juga yang dorong. kan memang lagi diperlintasan rel, agak miring pula tanahnya"<br />
"Sudah. sudah. Memang begini kalau naik kereta" <br />
<br />
Kereta melaju perlahan. Sepanjang kanan rel, pasar tradisional Kemiri Muka menampakkan geliatnya. Para pedagang sibuk melayani pembeli yang membeli dagangannya. Beberapa motor dengan muatan penuh sayuran memberi jalan pada lajunya si ular besi. Kereta hampir mencapai stasiun Pondok Cina.<br />
"Ntar jangan dikasih masuk aja. Biar mereka ikut kereta berikutnya"<br />
"Benar, gak usah dikasih masuk"<br />
"Itu yang depan-depan nahan donk"<br />
"Jangan begitu. Kasihan. Ini kan fasilitas publik" <br />
<br />
Pintu kereta terbuka, langsung diserbu wanita-wanita perkasa, dengan sorot mata siaga dan menghiba mencari celah diantara kaki-kaki bersepatu yang tertata di lantai kereta.Para penumpang yang bersiaga di depan pintu terdorong masuk ke dalam. Teriakan, gerutuan, omelan tak dipedulikan. Yang penting bisa masuk, terangkut, itu sudah lebih dari cukup.<br />
"Ibu, tasnya dong bu, kena wajah saya nih. Bisa enggak di taruh di atas saja" tangannya menunjuk ke rak di atas tempat duduk. Ternyata sudah penuh dengan tas dan aneka bawaan lainnya.<br />
"Bu, bu. Tasnya isinya apaan sih, kok punggung saya yang kena, sakit semua"<br />
"Oh, isinya botol kaca penampung ASI" yang ditanya menjawab dengan senyuman penuh bangga. Bangga karena bisa tetap memberikan ASI untuk buah hatinya meskipun dirinya bekerja, bukan bangga karena membuat sakit punggung tetangga.<br />
"Mbak, bawa apaan sih? kok anget-anget panas"<br />
"Oh, bawa bubur ayam mbak" <br />
<br />
Stasiun Universitas Indonesia<br />
Pintu terbuka. Serombongan wanita-wanita menatap penuh harap, ada ruang yang tersisa buat mereka.<br />
"Mas, tolong dorongin saya" ucap calon penumpang pada petugas penjaga pintu masuk. Si mas mendekat.<br />
"Satu dua tiga. Hup" didorongnya si mbak dengan sigap yang berakhir dengan teriakan beberapa penumpang dari dalam gerbong.<br />
Pintu hampir ketutup, ketika tiba-tiba seorang makhuk asing, menyeruak memaksa masuk. Para penumpang dekat pintu saling berpandangan dalam diam. Saling bertanya meski tanpa berucap. Waduh, gimana nih? kereta mulai melaju. Si makhluk asing diam menatap pemandangan di luar pintu. Tak disadari tatapan aneh dari orang-orang di sekitarnya.<br />
"Pak, ini gerbong khusus wa-ni-ta". kata wanita diucapkan dengan jelas.<br />
"Iya mas. Mas salah masuk gerbong" sambut yang lain. Kalau ada yang mendahului, yang lain mengikuti. <br />
Si Mas-mas terkaget-kaget. Mungkin jarang naik kereta, jadi tak tahu kalau gerbong paling depan dan paling belakang adalah gerbong khusus wanita.Wajahnya memerah, gugup dan salah tingkah. Ditepoknya jidatnya berulang kali. Matanya tak berani melihat ke para wanita di sekitarnya yang menatapnya dengan pandangan beragam.<br />
<br />
Begitu masuk stasiun Universitas Pancasila, si Mas keluar dengan perasaan lega, terbebas dari pandangan curiga wanita. Berlari cepat menuju ke gerbong campur. Seumur-umur baru kali ini jadi pusat perhatian para makhluk manis dengan pandangan sinis. Stasiun UP terlalui tanpa hambatan. Di stasiun ini, di peron belakang jarang sekali dapat tambahan muatan. Yang diserbu selalu pintu depan kereta.<br />
<br />
Menjelang stasiun Lenteng Agung, para penumpang mulai gelisah. Sedikit-demi sedikit bergeser memberi celah. Stasiun ini terkenal angker dan menyeramkan. Daripada terlempar, terdorong dengan kasar, lebih baik menyingkir. Pintu terbuka, sesaat setelah beberapa penumpang menyingkir ke kiri dan ke kanan. Ternyata celah yang ada tak mampu menampung banyaknya penumpang yang ingin masuk.<br />
"Aduh, udah full. Jangan maksa. Ikut kereta belakangnya saja" teriak ibu-ibu di ujung pintu belakang<br />
"Hm,...bisa jadi ikan asin nih tiap pagi begini"<br />
"Ihh, naik kereta ongkosnya enam ribu sampai tujuh ribu. Buat pijit lima puluh ribu. Tekor deh gue"<br />
"Ini yang naik dari Lenteng, sarapannya apa sih? kok kuat-kuat banget ya. Tenaganya luar biasa"<br />
"Bukan sarapannya apa, sarapannya berapa piring kaliiii"<br />
<br />
Kereta melesat ke Tanjung Barat. Jarak Lenteng-Tanjung barat lumayan jauh. Sepanjang kiri kereta, Jalur motor mobil macet luar biasa, tetapi hal biasa bagi penduduk ibukota. Seorang Mbak-mbak yang lagi asyik update status lewat BB nya dicolek penumpang di belakangnya.<br />
"Mbak mau turun enggak? tukeran tempat donk"<br />
Si Mbak bergeser dengan tangannya masih sibuk otak-atik BB. Pintu kebuka. Para penumpang turun.Seseorang menjerit.Mungkinkah kejepit?<br />
"Aduh mbak, kenapa?" tanya orang-orang dengan panik.<br />
"Turun aja dulu mbak. Minta petugas ngambilin sandalnya"<br />
"Nggak apa-apa, sandal jepit ini. Saya buru-buru, takut kesiangan"<br />
Si Mbak kembali memencet BBnya, update status,'<i>sandal gue jatuh di stasiun Tanjung Barat. Tobat. Kereta penuh amat seh'</i><br />
<br />
Kereta terus melaju ke Pasar Minggu<br />
"Bu, mau turun enggak? tukeran tempat ya"<br />
Si ibu yang ditanya tak menjawab.<br />
"Maaf, bu. mau turun enggak?"<br />
"Ih, cerewet amat. Sudah lewat belakang saya saja. Terserah donk saya turun dimana"<br />
Si Ibu tetap tak mau menggeser posisinya. Si Mbak juga tetap merangsek menuju pintu. Bagaimanapun dia harus turun di Pasar Minggu.<br />
"Aduh, sakit amat nih" si ibu tadi spontan melihat ke bawah<br />
"Eh, mbak. Tolong ya, kalo naik kereta jangan pakai high heel. Sakit tau keinjak"<br />
"Ya, terserah saya donk mau pake apa" Si Mbak merasa punya kesempatan untuk membalas<br />
"Sudah-sudah. Jangan berantem, masih pagi. Buang-buang energi" <br />
<br />
Di stasiun Pasar Minggu, banyak penumpang yang turun, tetapi yang naik juga banyak. Turun tiga naik lima. Seorang penumpang dengan perut besar hendak masuk. Orang-orang sudah berpandangan. Mau melarang bingung, membiarkan juga kasihan. Berdesakan dengan perut membuncit tentu sangat tak nyaman.<br />
"Mbak-mbak yang duduk. Tolong gantian ya. Kasih tempat duduknya buat ibu hamil ini" ucap seorang ibu<br />
Yang disapa hanya membuka mata sedikit dan kembali menutupnya. Tidur atau pura-pura tidur?<br />
"Mbak,...kasihan ibu hamil ini. Gantian duduknya ya?" colek ibu yang lain<br />
"Hm, sedang tak enak badan, Bu. Ke tempat duduk prioritas saja" jawabnya cuek.<br />
Bagaimana mungkin hendak ke tempat duduk prioritas, bergerak saja terbatas. <br />
"Memang bukan tempat duduk prioritas, tapi berbagi kebaikan kan lebih prioritas" ujar si Ibu. <br />
Si Ibu hamil hanya bisa mengusap-usap perut buncitnya.<br />
Penumpang yang lain mulai beraksi, mencolek orang di sebelah mbak yang menolak memberikan tempat duduknya.<br />
"Mbak, meskipun ini bukan tempat duduk prioritas, tolong gantian duduknya dengan ibu hamil ini ya?"<br />
Untungnya si mbak ini dengan rela memberikan tempat duduknya diiringi senyum sumringah si ibu hamil dan pandangan lega dari para penumpang lain.<br />
"Semoga Allah membalas kebaikanmu, Mbak" ucap si ibu hamil penuh haru <br />
<br />
"Ya Allah, hape saya tak ada. Kok resleting tas saya kebuka" teriak seorang ibu-ibu dengan panik<br />
"Hati-hati bu. Ada copet berkeliaran" bisik-bisik penumpang di samping si ibu<br />
"Hah. Ini kan gerbong khusus wanita. Masa iya" si Ibu masih berpikiran positif<br />
"Zaman sekarang bu, profesi tak mengenal gender"<br />
<br />
Stasiun Pasar Minggu Baru.<br />
Aman. Tak ada penumpang yang turun maupun naik. Stasiun sepi. Mulai terasa ada dorongan-dorongan serentak di sisi kiri kanan.<br />
"Bu turun Kalibata? Tolong tukeran tempat ya"<br />
Yang ditanya tidak menjawab, diam saja.<br />
Beberapa orang di depan pintu tak mau bergeser. Oh, barang kali mereka juga akan turun di kalibata.<br />
<br />
"Ya sudahlah, kalau tak turun dan tak mau bergeser kita dorong aja ramai-ramai" celetuk beberapa orang dari belakang.<br />
"Betul. Setujuh"<br />
<br />
Benarlah, begitu kereta masuk ke stasiun Kalibata, dan pintu terbuka. Orang-orang berhamburan turun. Dua orang yang ternyata tak turun tapi tak mau tukeran tempat, ikut terdorong, bahkan sampai jatuh. Ternyata kalau ibu-ibu nekad bersatu hasilnya sangat menakutkan. <br />
"Aduh, kok didorong-dorong sih. Jatuh nih" teriak ibu yang jatuh<br />
"Salah sendiri, sudah ditanya dan disuruh minggir enggak mau minggir juga"<br />
"Makanya Bu, kalau tidak turun jangan berdiri dekat pintu"<br />
"Eh, tolongin dong, bukannya nolong malah ngata-ngatain" beberapa orang yang masih punya hati segera menolong si Ibu yang jatuh.<br />
<br />
<br />
Tips naik kereta :<br />
Kuatkan tekad, Sarapan yang banyak, berani mendorong agar bisa masuk, Waspada terhadap aksi copet, Jangan pakai high heel, sepatu anda bisa menginjak kaki siapa saja dengan tingkat kesakitan yang tinggi. Jangan terlalu kencang mendengarkan music by earphone, akibatnya bisa tak mendengar saat ditanya orang. Tanyalah penumpang depan Anda ketika hendak turun, agar bisa memberikan jalan buat Anda. Yang paling penting, jangan kapok naik kereta.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-57406444332631467012012-04-25T16:32:00.002+07:002012-04-25T16:32:54.188+07:00Tips Membeli Rumah dengan Sistem KPR (Kredit Pemilikan Rumah)Rumah adalah kebutuhan pokok selain Pangan (makan) dan Sandang (pakaian). Untuk orang yang sudah mampu, rumah adalah kebutuhan utama. Rasanya, akan jauh lebih nyaman tinggal di rumah sendiri meskipun kecil dan nyicil, daripada tinggal di kontrakan yang bagus tapi bukan milik sendiri. Tulisan ini tak bermaksud untuk menyinggung pihak mana pun atau siapa pun. Terus terang, saya sebagai penulis tulisan ini juga pernah mengalami menjadi anak kost, menjadi pengontrak rumah selama dua tahun.<br />
<br />
Bagi sebagian orang, kendaraan lebih penting dari rumah. Persepsi orang berbeda-beda, semua punya alasan masing-masing. Tetapi, bagi sebagian besar orang tua, pasti lebih merasa senang dan tenang ketika anaknya terutama yang sudah berkeluarga, mempunyai rumah sendiri.<br />
<br />
Untuk sebagian orang yang penghasilannya sangat tinggi, membeli rumah mungkin perkara gampang. Tetapi, bagi orang dengan penghasilan biasa-biasa saja, termasuk saya, membeli rumah perlu perjuangan panjang. Mau membeli cash, tak cukup uang. Menabung, uangnya tidak kumpul-kumpul, malah terpakai lagi dan lagi untuk hal lain yang bukan prioritas. Salah satu yang bisa dilakukan adalah membeli rumah dengan sistem KPR (Kredit Pemilikan Rumah).<br />
<br />
Berikut ini adalah tips-tips untuk pembelian rumah secara KPR :<br />
<br />
1. Kalau beli rumah di perumahan, pilih Developer terpercaya yang sudah terkenal bagus bangunan dan kualitas terjamin<br />
Kalau untuk rumah yang di luar perumahan (di perkampungan) pilih yang lokasinya masuk mobil <br />
<br />
2. Pilih lokasi rumah yang bebas banjir, strategis<br />
Untuk mengetahuinya, saat yang tepat untuk mencari tahu adalah saat musim hujan<br />
<br />
3. Pilih bank pemberi kredit yang terpercaya<br />
Suku bunganya tetap, atau berubah-ubah?<br />
<br />
<br />
4. Surat Keterangan Penghasilan<br />
Surat ini didapatkan dari
perusahaan tempat kerja orang yang mengajukan KPR. Pihak pemberi KPR
biasanya menelpon ke perusahaan untuk klarifikasi kebenaran surat
keterangan penghasilan tersebut.<br />
<br />
5. Fotokopi buku tabungan/rekening koran, 3 bulan terakhir<br />
Ini sangat penting. Dari sinilah, bank pemberi kredit bisa tahu sehat tidaknya keuangan orang yang mengajukan KPR.<br />
<br />
<br />
6. Siapkan DP (down payment) alias Uang Muka<br />
Umumnya DP berkisar 20% dari total harga rumah. Untuk harga rumah 200 juta, DPnya berarti 40 juta.<br />
Banyak ya? Iya. Makanya menabung dulu, kencangkan ikat pinggang, jangan banyak jajan yang tak perlu.<br />
Nah, meskipun DP biasanya 20%, tetapi, jika plafond kredit yang diberikan bank tidak sesuai dengan yang diajukan, berarti harus menambah DP lagi<br />
<br />
7. Jika akad kredit telah dilaksanakan, dan ada jadwal bertemu dengan arsitek dari developer perumahan, manfaatkanlah.<br />
Anda bisa mengajukan permintaan agar ruangan di desain sesuai keinginan anda. Tetapi, tentu saja tak semua keinginan anda diterima. Biasanya, Bagian muka rumah harus sama, hanya desain dalam yang boleh berbeda.<br />
<br />
8. Pantau terus pembangunan rumah.<br />
Biasanya developer akan menginformasikan sejauh mana pembangunan rumah anda. Mungkin saat selesai pasang keramik anda bisa mengecek apakah ada keramik yang pecah atau salah pasang.<br />
<br />
9. Pastikan waktu pembangunan rumah sesuai janji Developer<br />
Rata-rata pembangunan sebuah rumah di perumahan memerlukan waktu 4-6 bulan. Jika developer berjanji membangun paling lama enam bulan, sedangkan masa enam bulan hampir habis, sering-seringlah menelpon developer untuk menunaikan kewajibannya.<br />
<br />
10. Tanyakan berapa lama waktu pemeliharaan bangunan<br />
Jika waktu pemeliharaan adalah enam bulan, berarti jika ada kerusakan misalnya genteng bocor, mesin air rusak, maka yang bertanggungjawab memperbaiki adalah pihak developer bukan pemilik rumah.<br />
<br />Selamat berburu rumah,..jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-41564103678867371222012-04-25T15:28:00.002+07:002012-04-25T15:28:41.963+07:00Pengalaman Seru : Berburu Rumah Idaman<div style="text-align: justify;">
Setahun setelah menikah, aku dan suami berencana untuk membeli rumah idaman. Alasannya, bosan mengontrak. Apalagi harga kontrakan naik setiap tahun.Ditambah lagi, kami sudah kena banjir tiga kali saat banjir besar melanda Jakarta, tetapi kami malas pindah kontrakan dan angkut-angkut barang. Rumah yang kami idamkan, standar saja. Cukup dua kamar tidur, satu kamar mandi, ada ruang tamu, ruang tengah, teras ya sekitar lebar dua meter, juga dapur. Lokasinya strategis, dekat dengan jalur transportasi. Secara kemampuan, kami tak punya cukup uang. Duit di tabungan hanya ada beberapa juta saja. Tak kehilangan akal, kami pun memutuskan untuk meminjam kredit tanpa agunan ke sebuah bank pemerintah. Setelah proses kredit disetujui dan uang sudah masuk ke rekening, perburuan untuk mencari rumah pun dimulai. Aku mulai bertanya-tanya ke teman-temanku yang sudah punya rumah duluan. Bagaimana mereka mencarinya? Kira-kira butuh waktu berapa lama? Ya, tentu saja kalau uang kami banyak, mungkin tak butuh waktu lama untuk mendapatkan rumah. Masalahnya, budget kami terbatas.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berbekal koran yang setiap hari aku pinjam dari teman kerja sebelah meja, aku mulai rajin membaca iklan-iklan rumah di jual. Tentu saja, karena budget terbatas, rumah yang dicari kami utamakan yang di perkampungan alias di luar komplek perumahan. Wow,...ternyata harganya mahal-mahal, jauh diatas budget. Ya iyalah mahal, orang yang kamu lihat iklan di kompas, begitu komentar temanku. Aku hanya senyum-senyum saja, maklum belum pengalaman. Saran temanku, bacalah koran Pos Pota, terutama edisi sabtu-minggu. Di situ, banyak sekali iklan rumah di jual. Akhirnya, setiap sabtu-minggu aku dan suamiku rajin memelototi iklan baris rumah di jual di Pos Kota. Setiap menemukan rumah yang murah, dan lokasinya masih sekitar Jakarta Selatan, aku dan suami dengan semangat empat lima segera menelepon ke nomor telepon pada rumah yang diiklankan. Rumah yang kira-kira memenuhi syarat idaman kami, kami tulis pada buku kecil. Alamat, nomor telepon dan perkiraan lokasi sesuai pembicaraan telepon. Setelah menelpon ke beberapa rumah yang diiklankan, dan catatan telah siap, biasanya minggu pagi-pagi, kami mulai berburu.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pengalaman-pengalaman seru kami dapatkan. Pencarian pertama, sebuah rumah di dekat Pasar Minggu, arah Ragunan. Setelah di jalan beberapa kali menelpon karena salah jalan, kami hampir menemukan alamat yang dicari. Ya Ampun, kok jauh banget dari jalan utama, jalan memutar-mutar, ke kiri, kanan, kanan, kiri. Tanya sama orang yang lagi duduk depan rumah. Rumah nomor 10A yang mana pak? Oh, itu, ke kanan dikit, lewat jalan kecil. Duh,..sudah malas melanjutkan, tapi telanjur. Ternyata, rumah itu menghadap ke samping jalan raya. Depan rumah sudah tembok orang. Teras rumah sempit dengan lebar sekitar satu meter. Tak ada cahaya matahari. Rumah itu pun kami coret dari daftar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pencarian selanjutnya, sebuah rumah yang katanya dekat jalan TB. Simatupang. Setelah menelpon, kami mendapat arahan. Motor kami lajukan sampai dekat kantor pajak Pasar Minggu. Ada jalan sebelum kantor, ke belakang, ke kanan, duh aku tidak hafal. Urusan jalan, aku serahkan ke suami. Setelah masuk cukup jauh, ketemu rumah yang kami cari. Rumahnya sesuai dengan idaman kami. Tapi, ternyata sebelah rumah adalah warnet dan banyak sekali anak-anak punk yang nongkrong di situ. Hm,..kami coret lagi.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rumah ketiga. Sebuah rumah di daerah Ciganjur apa Jagakarsa ya? Pokoknya, melewati jalan depan rumah sakit Zahirah, terus ke belakang. Hatiku langsung sreg melihat rumah tersebut. Kecil, sesuai standar kami. Baru selesai dibangun, masih tahap finishing. Saat itu, hujan yang tak begitu deras turun. Kami pun menanti hujan reda sambil mengobrol dengan pemilik rumah. Setelah hujan reda kami pulang, dan kalo cocok, akan kembali lagi. Olala, ternyata jalan menuju rumah baru yang tadi kami lalui, telah penuh dengan air. Aku sudah takut saja kalau daerah itu daerah banjir. Pencarian hari itu pun kami cukupkan.Rumah itu pun kami coret dari daftar.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hari-hari selanjutnya tetap sama, mencari iklan, menghubungi, mencatat pada buku kecil.Kadang, teman-temanku ikut membantu perburuan ini. Saat jalan dan menemukan ada iklan rumah murah yang kebetulan mereka lihat, mereka beritahukan padaku.Teman-temanku yang tinggal di Depok pun ikut menyemangatiku, dan membantu mencari rumah sekitar Depok.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Entah untuk pencarian yang ke berapa. Aku sudah lupa. beberapa unit rumah siap bangun di Pasar Minggu. Untuk ukuran komplek, ini terhitung murah, pikir kami. Dengan bersemangat, kami menuju sebuah rumah di jalan raya Pasar Minggu, arah Tanjung Barat. Sebelum pintu rel Poltangan. Oh, rupanya sebuah kantor pemasaran. Kami bertemu langsung dengan pemilik. Setelah membahas mengenai rumah, melihat gambar desainnya, selanjutnya kami bertiga menuju lokasi tanah. Jalannya lebar, bisa masuk mobil, lokasi tak begitu jauh dari jalan raya. Nah, mataku melihat deretan nisan yang terletak tak begitu jauh persis di belakang lokasi yang akan dibangun rumah. </div>
<div style="text-align: justify;">
"Ih, deket kuburan Mas" kataku pada suamiku</div>
<div style="text-align: justify;">
"Iya sih Bu. Tapi kuburan di kota 'kan tidak seram seperti di desa" kata pemilik tanah menanggapi perkataanku. Kembali kucoret daftar rumah pada buku kecil.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Perburuan berikutnya daerah Depok, sekitar Kembang Beji. Lagi-lagi gagal. Kali ini, karena tidak sesuai dengan budget kami, alias ketinggian. Pemilik rumah tetap keukeuh tak mau menurunkan harga rumah sedikit pun. Ya sudahlah. Lagi tidak BU (butuh uang). Beberapa lama memutuskan berhenti berburu rumah.Capek. Lagi pula, aku sedang hamil muda. Sementara suami tak mau mencari sendiri, dengan alasan, soal rumah akulah yang menentukan pilihan cocok tidaknya. Rasanya susah menemukan rumah yang sesuai dengan budget kami dan seperti harapan kami. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu sore suami mendapat telepon dari Pak Robby, orang yang dulu rumahnya pernah kami lihat. Beliau memberikan informasi bahwa ada rumah yang sesuai budget kami di belakang kampus UI. Suami pun menjawab, kalau tidak sesuai budget kami, tawarkan ke orang lain saja pak. (Haduh, harus memberi fee ke calo nih). Tetapi, Pak Robby membujuk, agar kami melihat dulu, siapa tahu ada yang cocok. Tenang saja, pak. Nanti kalau deal, saya dapat feenya dari yang punya rumah kok. Ada tiga rumah di lokasi yang berdekatan, terang pak Robby yang membuat semangat kami berburu rumah kembali bangkit.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Siang menjelang sore, dengan perut besar aku nekat ikut suami ke Depok dengan naik krl ekonomi. Zaman itu, belum ada AC Ekonomi, apalagi Commuter Line. Yang ada hanya krl Ekspress yang berhenti di stasiun tertentu, dan krl ekonomi yang berhenti di tiap stasiun. Mungkin karena hari libur, jadi kereta agak lengang dan aku mendapatkan tempat duduk. Sebenarnya lebih senang naik motor, tapi apadaya motor sedang di pinjam sepupu suami menjemput saudaranya di Kelapa Gading. Turun kereta, kami janjian ketemu pak Robby di pintu perlintasan kereta. Tak lama beliau muncul. Pak Robby memboncengku, sedangkan suami naik ojek. Motor berjalan pelan, di samping karena membawaku yang hamil besar, juga saat itu masih pengerjaan Fly over Arif Rahman Hakim sehingga kendaraan yang melintas tidak dapat mengebut karena banyak kendaraan proyek dan material bangunan di sepanjang jalan. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tibalah kami di lokasi rumah. Rumah pertama, lokasi belakang masjid. Masih benar-benar bangunan baru. Harganya sepuluh juta lebih tinggi dari budget kami. Selain itu, depan dan samping rumah itu masih tanah kosong. Tetangga rumah adalah kontrakan dengan beberapa gerobak pedagang. Takut saja kalau nanti bayiku hanya tinggal sama pengasuh, sedangkan tetangga pada pergi dagang. Kalau ada apa-apa bagaimana? Rumah kedua, adalah rumah di komplek kecil sebelah masjid. Bagus sih, tapi harganya tak terjangkau. Bisa KPR, tapi sayangnya aku baru berutang ke bank, jadi pasti permohonan KPR bakal ditolak. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rumah ketiga adalah rumah yang masih di sekitar masjid juga. Berpagar setengah meter, bercat coklat muda. Dadaku langsung berdesir begitu melihat dan menapakkan kakiku di terasnya. Rasanya seperti melihat orang ganteng saja. Ha ha ha. Kok aku merasa cocok dan suka ya? Kami pun masuk dan melihat ruangan rumah. Pemiliknya, Pak Franky dengan ramah menunjukkan ruangan-ruangan pada kami. Karena merasa cocok, kami pun memberanikan diri bertanya berapa harganya. Oh, rupanya masih lebih tinggi dari budget kami. Kami meminta agar harganya bisa diturunkan. Kami pun pulang dengan membawa harapan. Semoga harganya bisa turun.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dua hari kemudian, suami mendapat telepon dari pak Franky tentang kelanjutan pembelian rumah. Harganya bisa turun, tapi tak banyak, jelas suamiku lewat hape. Okelah, kalau harganya sesuai yang pak Franky mau, kita minta beres saja mas. Dalam arti, pajak, BPHTB, notaris, ditanggung penjual. Alhamdulillah, pak Franky setuju.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pada hari yang sudah ditentukan, aku izin kantor untuk tak masuk kerja. Dengan naik motor kami menyusuri jalanan menuju Depok. Entah karena perasaan senang, rasanya jarak Jakarta-Depok menjadi dekat saja. Ketemu pak Franky, kami langsung menuju notaris yang sudah dipilih. Setelah tanda tangan ini itu, kami pun pulang. Hanya dalam hitungan hari rumah itu telah menjadi milik kami. Alhamdulillah. Benar-benar saat yang tepat yang Allah berikan. Rumah itu kami dapatkan tepat seminggu sebelum kontrakan rumah habis masanya. Sebuah perburuan yang berakhir indah. Dan rumah kecil ini terasa begitu luas ketika cicilan utangku lunas akhir tahun 2010 kemarin.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Buat semuanya yang sedang berburu rumah, tetap semangat, jangan menyerah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-1960906484307961182012-04-03T12:50:00.007+07:002012-04-04T14:03:16.738+07:00TENTANG MERTUA : HIDUP DARI ALAM, TIDAK MEREPOTKAN<div style="TEXT-ALIGN: justify">Banyak teladan yang bisa aku ambil dari mertuaku. Mereka memang orang ndeso, tetapi pemikiran mereka luas dan penuh perencanaan. Mertuaku, hanya tinggal berdua saja di rumah tua mereka. Kedua anaknya, salah satunya adalah suamiku, sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Kakak suamiku tinggal masih satu desa dengan mertuaku, tetapi karena kesibukan bekerja dan mengurus keluarga, mereka hanya sesekali bertemu. Ibu mertuaku, yang kupanggil Mak Cas, masih sangat kuat dan gesit, sehat sekali. Diusianya yang sudah hampir tujuh puluh tahun, masih kuat ke sawah, menanam padi, membersihkan rumput-rumput disela batang padi, bahkan masih kuat menggendong sekarung gabah di punggungnya.<br />Bapak Mertuaku, Pak Ruban, juga masih sehat, berjalan tegap, meski umurnya mendekati delapan puluh tahun. Masih kuat berjalan jauh, masih bisa turun ke sawah. Sejak aku menikah dengan anaknya, bapak mertuaku selalu menganggapku seperti anaknya sendiri, bukan sebagai menantu. Aku sangat dekat dengan bapak mertuaku. Mengobrol, aku pun tak canggung-canggung, seperti halnya mengobrol dengan bapak kandungku. Kedua mertuaku hidup rukun, akrab dan saling mengasihi. Selama aku menjadi menantunya, tak sekali pun aku mendengar bapak mertua mengomeli ibu mertua, atau berkata yang kasar. Ibu mertua juga tipe istri yang melayani suami banget. Setiap pagi, ketika hari masih gelap dan masih dingin, Mak sudah bangun, menjerang air dan memasak nasi. Semua dikerjakan sendiri dengan cepat dan cekatan, setelah selesai barulah Mak turun ke sawah. Sehari-hari, mereka mengurusi sawah, memelihara ayam dan bebek sebagai kerjaan sampingan. Untuk makan, mereka mengandalkan dari alam. Daun kacang panjang (lembayung), kacang panjang, daun singkong, timun, juga oyong adalah sayuran sehari-hari yang mereka santap. Sayuran tersebut, mereka tanam sendiri disela-sela tanaman padi. Dibelakang rumah berjajar tanaman cabe dengan buahnya yang lebat dan pedas. Sayuran itu hanya dikukus saja, dimakan dengan sambal terasi dan ikan asin bakar atau ikan panggang. Selain dikukus, kadang Mak membuat sayur asem atau sayur bening tanpa minyak. Kadang memanfaatkan kelapa di samping rumah untuk membuat sayur lodeh. Minyak goreng jarang digunakan. Untuk memasak, Mak tidak menggunakan gas, melainkan menggunakan kayu. Kalau kayu habis, masih bisa menggunakan daun-daun kering, batang-batang jagung kering atau daun kelapa yang sudah kering. Makanya, ketika harga minyak tanah dan gas mahal, Mak tidak ikut pusing. Alam menyediakan apa yang Mak butuhkan.</div><br /><div style="TEXT-ALIGN: justify">Suatu hari, suamiku ditelpon seorang saudaranya yang mengabarkan bahwa pak Ruban sakit demam dan meriyang sudah dua hari, buang air kecil sakit. Katanya karena kebanyakan makan jengkol. Ya, jengkol adalah menu favorit bapak. Tahu kan jengkol? buah yang berbentuk bulat gepeng,berkulit coklat, aromanya dahsyat, tapi banyak yang suka. Kalau kebanyakan orang makan jengkol yang sudah disemur, bapak makan jengkol untuk lalapan. Setiap hari, jengkol adalah menu wajib. Jika sedang musim, pasti mudah mencarinya, tetapi saat tidak musim sangatlah susah. Untungnya, selama ini mudah saja mendapatkan jengkol. Bahkan, sering dibela-belain masuk ke hutan untuk mencari jengkol. Sepulang kerja suamiku langsung ke terminal bus pulang ke Pemalang.<br />"Tolong pak, sudah semakin sepuh, dijaga ya pola makannya biar sehat, jangan sering-sering makan jengkol. Saya kan jauh"cerita suamiku saat menasihati bapaknya<br />Bukannya mengiyakan permintaan anaknya, pak Ruban malah berucap. Aku sudah tua, sudah melihat kamu mentas, Le. Masmu juga sudah jadi orang. Rasanya, bapak sudah siap kapan pun dipanggil. Tapi, soal jengkol bapak tak mungkin berhenti.<br />Aku hanya bisa senyump-senyum mendengar kengototan bapak. Lha,..wis kadhung tresno, mau pisah sama jengkol mah susah.<br />Bapak dan Emak juga bukan orang tua yang mau merepotkan anak-anaknya. Mereka sangat tahu diri. Melihat anak-anaknya mandiri, punya keluarga sendiri tanpa merepotkan orang tua, mereka sudah sangat bersyukur. Banyak kita lihat, orang tua yang direpotkan anak-anaknya. Sudah menikah dan punya keluarga, makan masih numpang sama orang tua. Orang tua disuruh untuk menjaga cucunya dari pagi sampai malam dengan segala kerepotannya. Alhamdulillah anak-anak bapak tidak merepotkan bapak. Kadang, ketika ada uang lebih, kusisihkan untuk mereka, saat suamiku pulang menjenguk. Aku memang tak bisa sering ikut pulang, karena masih ada bayi yang rentan sakit jika sering kubawa pulang naik bus, trus naik-turun kendaraan, sambung ojek juga. Ternyata, uang yang selama ini kami berikan tak serupiahpun digunakan oleh mertuaku. uang itu mereka pinjamkan ke saudara-saudara, pastinya tanpa bunga ya. Maksudnya, daripada disimpan di rumah, atau ditabung ke bank, mertuaku tak punya rekening, dan bank begitu jauh di kota. jadilah, uang itu dipinjam pada saudara. Harapan mertuaku, ketika nanti mereka sudah tua sekali, tak bisa lagi bekerja, mereka bisa menggunakan uang itu untuk menyambung hari tua mereka. Aku sangat terharu sekali mendengar cerita ini. Mertuaku sungguh mulia. Sungguh berpikiran jauh ke depan. Padahal sebagai anak, aku pun tak menolak jika mereka mau tinggal dirumahku. Aku akan berusaha memperlakukan mereka dengan baik. Dari cerita saudara-saudara suami, mereka melakukan itu karena mereka tak mau merepotkan anak-anaknya. </div>jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-30655858643136568312012-03-15T07:55:00.002+07:002012-03-15T15:56:17.344+07:00Nostalgia Krl Ekspress : Ibu-Ibu Hamil yang Nekat Turun Saat Kereta MogokPeristiwa ini sudah lama terjadi, mungkin sekitar satu setengah tahun yang lalu. Namun, sampai saat ini, peristiwa pagi itu masih jelas membekas dalam ingatanku, dan juga beberapa temanku yang mengalami langsung.<br /><br />Pagi itu, aku sudah menunggu kedatangan KRL Ekspres yang berhenti di Stasiun Pondok Cina. Tempat menungguku sudah kuperhitungkan yang kira-kira tepat di pintu sebelah tempat duduk prioritas. Ketika KRL datang dan berhenti didepanku, perjuangan pun dimulai. Orang-orang yang sudah hapal dengan perutku (bukan wajahku), segera memberiku jalan untuk mencapai tempat duduk prioritas. Pada masa itu, KRL Ekspres bukan lagi kereta eksekutif, karena padat dan penuhnya sama dengan KRL AC Ekonomi, maupun ekonomi. Orang-orang banyak yang beralih ke KRL Ekspres, karena meskipun tiketnya lebih mahal (dari Stasiun Depok : KRL Ekpress RP9.000,00 AC Ekonomi Rp5.500,00 Ekonomi Rp2.000,00) dan padat penumpang, tetapi KRL Ekspress tidak berhenti di setiap stasiun, hanya berhenti di stasiun tertentu, sehingga otomatis butuh waktu yang lebih singkat untuk sampai ke tempat tujuan dibandingkan apabila menggunakan KRL AC Ekonomi atau KRL Ekonomi.<br />Memang, untuk menempuh jarak dari Stasiun Pondok Cina sampai Stasiun Cawang hanya dibutuhkan waktu sekitar lima belas menit, tetapi, bagi wanita yang sedang hamil, akan sangat melelahkan jika terpaksa harus berdiri karena tidak dapat tempat duduk. Untuk mendapatkan tempat duduk prioritas pun bukan hal yang mudah, karena pasti sudah ada yang mendudukinya, seringnya diduduki oleh orang yang bukan prioritas (yang diprioritaskan adalah wanita hamil, lansia, orang cacat, ibu membawa balita). Seringkali aku harus meminta secara "paksa" (pastinya dengan mengucapkan permintaan maaf dahulu) pada orang yang bukan prioritas yang duduk di kursi prioritas. Reaksi orang bermacam-macam, ada yang dengan rela memberikan, ada yang dengan wajah cemberut dan terpaksa. Ada pula yang tetap bertahan dan dengan isyarat mata menyuruhku duduk disela-sela duduknya yang untuk setengah badanku pun tak muat. Bersyukur sekali, selama menjalankan masa kehamilanku, hanya tiga kali aku tak mendapatkan duduk, karena kereta bermasalah, sehingga dua kereta dikawin paksa (digabung) yang membuat kereta begitu penuh tak bisa bergerak kemana pun. Bisa terangkut saja sudah sangat bersyukur.<br />Dari stasiun Cawang, aku berbalik arah ke stasiun Duren Kalibata (aku dan teman-teman lebih gampang menyebut dengan stasiun kalibata), karena tempat kerjaku di Kalibata. Jika waktu masih memungkinkan (masuk kerja pukul 07.30), aku masih bisa menggunakan kereta. Tetapi, jika waktu sudah mepet, dan petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta jauh, terpaksa ke Kalibata menggunakan ojek yang banyak mangkal diluar stasiun Cawang. Sambil menunggu kereta aku dan teman-teman yang hendak ke Kalibata mengobrol apa saja. Pukul 07.15 KRL AC Ekonomi membawa kami ke stasiun Kalibata. baru beberapa menit jalan, kereta sudah tersendat-sendat, lalu berhenti. Ditunggu satu menit, dua menit, lima menit, masih belum jalan. Kami, yang berjumlah puluhan orang mulai gelisah. Ada apa gerangan? Stasiun masih jauh. Kami berada di tengah-tengah antara Cawang-Kalibata. Beberapa teman inisiatif menanyai petugas sentinel. Dari mereka, kami tahu bahwa bukan karena ada kereta mogok di depan kereta yang kunaiki, tetapi kereta inilah yang bermasalah. Panik, kulirik jam tanganku. Pukul 07.20. Sepuluh menit lagi.<br />"Mas, kami mau turun saja. Bisa bantu turunkan kami?"<br />"Yan, gimana kita?" tanya mba Titik panik.<br />Aku menoleh ke Euis, Lina, Reni, Novi. Wajah mereka semuanya kebingungan. Bagaimana tidak bingung, kami semua dalam keadaan hamil. Ngeri rasanya harus turun dari kereta yang mogok ditengah rel. Jarak antara lantai kereta dan tanah begitu tinggi. Teman-teman lelaki, dan yang lain yang tidak hamil, sudah mulai turun. Tinggal kami yang hamil yang masih ragu dan ngeri.<br />"Mari ibu-ibu hamil, kalau mau turun, kami bantu"beberapa petugas menawarkan bantuan<br />"Bismillah"ucapku pasrah, menjulurkan kaki ke bawah kereta. Seorang teman lelaki, mas Aris, tampak masih menunggu evakuasi para bumil, sementara lelaki-lelaki yang lain sudah melarikan diri agar tak terlambat meletakkan jari pada finger absen. Dengan sigap mas Aris membantu menurunkanku dan teman-teman. Begitu menginjak tanah, detak jantung kami seakan berkejaran. Deg degan lur biasa. Lalu, kami mulai menyisir jalan menuju jalur angkot dengan petunjuk dari para penduduk sekitar yang menonton mogoknya kereta. Begitu sampai jalan raya, sebuah angkot menunggu kami. Alhamdulillah. Perjalanan dilanjutkan. Baru beberapa meter jalan, angkot sudah tak bisa meneruskan perjalanan. Diperempatan jalan, mobil-mobil sudah memenuhi jalan, sementara palang kereta masih tertutup akibat kereta dua arah, yang ke arah bogor keretanya mogok, sedangkan arah jakarta masih lancar.<br />Beramai-ramai kami turun dari angkot dan tak lupa membayar ongkos meskipun baru jalan beberapa meter. Kami kebingungan. Semua ingin menyelamatkan diri dari potongan absensi. waktu tinggal enam menit lagi. Teman-teman lelaki sudah berebutan naik ojek. Ojek benar-benar laris manis. Untuk kondisi tak hamil, bagiku mungkin saja untuk lari menuju kantor, tetapi dalam kondisi hamil besar, jalan tak bisa kencang, rasanya tak mungkin bisa sampai kantor dalam waktu cepat. Mas Aris masih peduli pada kami para ibu hamil. Dihentikannya para pemotor yang melintas searah perjalanan kami. Aku berjalan beriringan dengan mba Titik. Kami tak kebagian ojek. Pun para pemotor sudah membonceng para bumil lainnya. Sudahlah kami pasrah, karena tak bisa berlari. Tiba-tiba dua orang pemotor berhenti disebelah kami.<br />"Mari mba, naik. Saya antar" seorang lelaki berjaket hitam berkata padaku. Kulihat mba Titik sudah duduk di boncengan motor lain<br />"Alhamdulillah. Terima kasih, mas" aku pun duduk di boncengan. Dengan perlahan, motor menyusuri jalan menuju kantorku.<br />Kuucapkan terima kasih berkali-kali kepada mas-mas yang sudah menolongku, mengantarkanku dengan ikhlas. Maaf mas, aku lupa menanyakan siapa namamu, semoga Allah membalas kebaikanmu. Lega rasanya, ketika mengangkat jariku dari mesin finger absen. Pukul 07.29. Sejenak duduk di lobby kantor untuk meluruskan kaki yang pegal-pegal dan panas. Pagi yang penuh perjuangan. Alhamdulillah, semua teman yang hamil berhasil di evakuasi dan kondisi kehamilan baik-baik saja.<br />"Yan, kemarin perutnya enggak apa-apa 'kan?" tanya mas Aris ketika kami bertemu kembali keesokan harinya<br />"Alhamdulillah mas. Tak apa-apa. Makasih banget ya mas, sudah peduli dan menolong kami para bumil"<br />"Iya sama-sama. Aku kepikiran, jangan-jangan kalian kenapa-napa. Aku aja membayangkan ngeri, turun dari kereta setinggi itu"<br />Kini, KRL Ekspress sudah tak ada lagi. Sudah berganti menjadi commuter line yang berhenti di setiap stasiun. Dan, janin di perutku yang kuceritakan ini, kini sudah berumur tiga belas bulan. laki-laki, sehat, lucu dan menggemaskan. Kelak akan bunda ceritakan padamu nak, perjuangan bunda dan teman-teman bunda yang sama-sama hamil, menyelamatkan diri dari mogoknya kereta demi mengejar absensi.jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3330918749132223723.post-58687665891791300532012-03-07T15:04:00.003+07:002012-03-07T15:23:05.157+07:00Teman yang Tak dianggap temanJenuhnya,..sungguh hari yang menjenuhkan. Boleh ya sesekali aku mengeluh? Aku bukan orang yang super tangguh. Sesekali, aku pun merasa jenuh. Jenuh dengan pekerjaanku. Jenuh dengan teman-temanku. Benarkah mereka teman atau hanya rekan kerja seruangan? Menurutmu, apa itu definisi teman? Teman menurutku, bukan sekadar orang yang bersama-sama kita, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan lainnya. Teman, seharusnya bisa memahami, menghargai, dan saling pengertian. Setidaknya, ketika teman tidak bersama-sama kita, kita merasakan ada yang kurang atas ketidakhadirannya. Kehadirannya menambah semangat, menghidupkan suasana, menggenapkan istilahnya, jadi ketika dia tak ada, ada sesuatu yang terasa kurang.<br />Bagaimana jika kamu tidak dianggap teman oleh orang sekitarmu? kehadiranmu tidak menambah, pun tidak mengurangi. Kehadiranmu tak dipertanyakan, tak dikangeni. Sungguh sesuatu yang sangat menyakitkan ya. Pantaslah jika engkau merasa sakit, karena selama ini engkau sudah berusaha amat sangat untuk mengerti dan memahami mereka. Menghargai mereka sebisanya. dan Engkau sudah berkorban cukup banyak, mengorbankan perasaanmu, untuk tidak menyakiti dan melukai hati mereka, meskipun tak jarang, mereka sering melukai hatimu lewat kata-kata.<br />Bagaimana jika kamu berada pada posisi seperti seseorang yang tak dibutuhkan dan tak perlu diperhatikan? kehadiranmu tak menimbulkan ucap dan tanya kerinduan, perasaan kehilangan atas tak kehadiranmu. Benar seperti kata hatimu, ada dan tiada dirimu, bagi mereka kau tetap dianggap tak ada. Kau tak dilibatkan dalam segala urusan, dianggap tak tahu banyak hal, tak pantas dijadikan tempat buat bertanya, bahkan untuk membagi tawa mereka pun segan.<br />Hei,...mengapa kamu baru menyadari semua ini? Bukankah ini sedari dulu sudah begitu? Iya,..kuanggap itu hanya semu, hanya perasaanku. Ternyata ini adalah nyata. Aku bukan orang yang pengin diperhatikan, gila diperhatikan. Aku hanya ingin diperlakukan sepadan. Ingin dipersamakan. Aku kecewa dengan perlakuan ini. Aku kecewa, kenapa sih manusia tak bisa saling menghargai. Jangan hanya ketrampilan kantor saja yang diperdalam. Hubungan sosial pun harus dipelajari. Ingatlah, hal-hal kecil yang bisa kamu lakukan, akan ada kalanya sangat berarti bagi orang lain, palagi saat orang tersebut sedang rapuh dan jenuh, yang menginginkan tempat untuk sekedar membagi kisah dan berkeluh.jejakcoretanyanihttp://www.blogger.com/profile/12575646339784220461noreply@blogger.com16