Selasa, 30 Juli 2013

KETIKA MENILAI SESEORANG DARI PENAMPILAN

Zaman ini, semua hal dilihat dari penampilan. Rumah yang bagus, kendaraan yang bagus, pakaian yang bagus, juga gadget yang bagus.
Di mana-mana, rasanya ketemu orang perlente berpenampilan serba bagus, orang lebih menaruh hormat, dibandingkan apabila ketemu dengan orang yang berpenampilan bersahaja.

Entahlah, zaman ini kadang membingungkan. Orang lebih senang berpenampilan bagus memoles diri disana-sini, hanya untuk bisa dilihat lebih "wah" daripada orang lain. Tampil dari ujung rambut sampai dengan ujung kaki dengan semua barang yang bagus. Jam bagus, baju bagus, sepatu bagus, tas bagus, cincin gelang, pakai semua deh, udah serasa toko perhiasan berjalan. Emang gak takut apa ya? Kejahatan mengintai dimana-mana. Makanya kapan hari tuh ada meme : Mendingan mana pake tas harga jutaan tapi isi tasnya cuma ada duit seratus ribu. Atau Pake tas harga seratus ribu tapi isinya uang jutaan? hahahha.
Bukannya tidak suka dengan penampilan yang serba wah. Boleh berhias, tapi tidak berlebihan. Apalagi tampil elegan tapi dari uang pinjam -istilah di kampungku "galih gaya-gaya tapi nyilih"- yang ketika ditagih galakan yang punya utang daripada yang punya duit.

Zaman ini, orang mudah terbujuk rayu. Mudah ikut-ikutan gaya orang lain. Selalu berusaha memenuhi keinginan tapi susah untuk menuruti hal yang memang dibutuhkan. Tetangga beli mesin cuci satu tabung, ikutan beli. Padahal mesin cucinya yang dua tabung masih baik-baik saja. Tetangga beli kulkas dua pintu, ikutan beli, padahal kulkasnya yang satu pintu masih adem gak ada masalah. Tetangga pasang AC, ikutan pasang AC, padahal dia gak perlu-perlu amat. Rela tiap hari makan di tempat makan mahal, padahal masak sendiri lebih hemat dan sehat. Alasannya masak di dapur tuh panas, capek, bikin berantakan, ntar gak bisa disambi buka facebook, instagram, youtube dll. Rela memakai kartu kredit dengan tagihan bengkak demi mendapatkan barang diskon yang sebenarnya kurang dibutuhkan. Giliran tagihan CC datang, gelagapan.
Nek ngene yo kasihan suamimu, istrimu, anakmu, ortumu, tetanggamu, temanmu. Loh?
Zaman ini semua menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, yaitu uang. Mendapatkan uang tak melulu dengan jalan halal berpeluh-peluh dan menguras tenaga. Kalau bisa, dengan jalan pintas tapi langsung dapat banyak. Orang lupa arti kerja keras, arti harga diri. 
Orang selalu menuntut kesejahteraan. Menuntut upah yang tinggi tetapi tidak dibarengi dengan peningkatan kinerja. Rewang minta naik gaji ke tuan. Tapi setelah dinaikkan gajinya, kerja gak makin bagus. Malah makin kusyuk nonton tivi, ngerumpi. Kerjaan rumah gak beres, anak tuan gak diurusin. Orang lain yang gaji sudah tinggi sudah sangat layak dibandingkan dengan orang lain, tetapi senantiasa merasa kurang. Banyak cicilan ini itu, jadi gaji selalu habis di akhir bulan. Kok bisa kan gaji dan tunjangan udah naik? Ya bisa lah. Wong selisih kenaikannya dipake buat ngredit barang baru, buka utangan baru, bukannya disimpan sebagai tabungan. Yekan, yekan???
Tungggu,..ini soal cicilan. Cicilan KPR okelah, kan memang rumah kebutuhan pokok. Cicilan mobil perlulah. Tapi kalo sudah buat nyicil ini itu yang kurang perlu, sebenarnya ya salah dia tidak bisa memanaj keuangannya dengan baik. Jadi, kalo sudah begini, punya penghasilan berapa pun akan selalu merasa kekurangan.
Mengutip kalimat orang terdekat : dulu, aku begitu hormat dengan orang kaya, rapi, dan berpenampilan bagus. Tetapi kini, rasa hormat itu perlahan luntur setelah tahu bahwa kekayaan itu diperolehnya dengan mudah lewat cara-cara yang tidak baik. Aku lebih menghormati tukang angkut sampah,  tukang ojeg dan tukang-tukang asongan lain, tukang jual keliling dan siapa pun yang mereka memperoleh uangnya dengan peluh dan pedih, lewat perjuangan keras. Menunggu rizkinya datang, dijemput, dan ketika datang sedikit mereka tetap berlapang dada, tersenyum dan tetap terucap syukur dari bibirnya. Sebesar apapun penghasilan, kalo kita sendiri tidak mencukupkan, maka akan selalu kekurangan. Gajimu selalu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi tak akan pernah cukup untuk memenuhi gaya hidup.

(Edisi curhat)