Selasa, 03 April 2012

TENTANG MERTUA : HIDUP DARI ALAM, TIDAK MEREPOTKAN

Banyak teladan yang bisa aku ambil dari mertuaku. Mereka memang orang ndeso, tetapi pemikiran mereka luas dan penuh perencanaan. Mertuaku, hanya tinggal berdua saja di rumah tua mereka. Kedua anaknya, salah satunya adalah suamiku, sudah berkeluarga dan tinggal terpisah. Kakak suamiku tinggal masih satu desa dengan mertuaku, tetapi karena kesibukan bekerja dan mengurus keluarga, mereka hanya sesekali bertemu. Ibu mertuaku, yang kupanggil Mak Cas, masih sangat kuat dan gesit, sehat sekali. Diusianya yang sudah hampir tujuh puluh tahun, masih kuat ke sawah, menanam padi, membersihkan rumput-rumput disela batang padi, bahkan masih kuat menggendong sekarung gabah di punggungnya.
Bapak Mertuaku, Pak Ruban, juga masih sehat, berjalan tegap, meski umurnya mendekati delapan puluh tahun. Masih kuat berjalan jauh, masih bisa turun ke sawah. Sejak aku menikah dengan anaknya, bapak mertuaku selalu menganggapku seperti anaknya sendiri, bukan sebagai menantu. Aku sangat dekat dengan bapak mertuaku. Mengobrol, aku pun tak canggung-canggung, seperti halnya mengobrol dengan bapak kandungku. Kedua mertuaku hidup rukun, akrab dan saling mengasihi. Selama aku menjadi menantunya, tak sekali pun aku mendengar bapak mertua mengomeli ibu mertua, atau berkata yang kasar. Ibu mertua juga tipe istri yang melayani suami banget. Setiap pagi, ketika hari masih gelap dan masih dingin, Mak sudah bangun, menjerang air dan memasak nasi. Semua dikerjakan sendiri dengan cepat dan cekatan, setelah selesai barulah Mak turun ke sawah. Sehari-hari, mereka mengurusi sawah, memelihara ayam dan bebek sebagai kerjaan sampingan. Untuk makan, mereka mengandalkan dari alam. Daun kacang panjang (lembayung), kacang panjang, daun singkong, timun, juga oyong adalah sayuran sehari-hari yang mereka santap. Sayuran tersebut, mereka tanam sendiri disela-sela tanaman padi. Dibelakang rumah berjajar tanaman cabe dengan buahnya yang lebat dan pedas. Sayuran itu hanya dikukus saja, dimakan dengan sambal terasi dan ikan asin bakar atau ikan panggang. Selain dikukus, kadang Mak membuat sayur asem atau sayur bening tanpa minyak. Kadang memanfaatkan kelapa di samping rumah untuk membuat sayur lodeh. Minyak goreng jarang digunakan. Untuk memasak, Mak tidak menggunakan gas, melainkan menggunakan kayu. Kalau kayu habis, masih bisa menggunakan daun-daun kering, batang-batang jagung kering atau daun kelapa yang sudah kering. Makanya, ketika harga minyak tanah dan gas mahal, Mak tidak ikut pusing. Alam menyediakan apa yang Mak butuhkan.

Suatu hari, suamiku ditelpon seorang saudaranya yang mengabarkan bahwa pak Ruban sakit demam dan meriyang sudah dua hari, buang air kecil sakit. Katanya karena kebanyakan makan jengkol. Ya, jengkol adalah menu favorit bapak. Tahu kan jengkol? buah yang berbentuk bulat gepeng,berkulit coklat, aromanya dahsyat, tapi banyak yang suka. Kalau kebanyakan orang makan jengkol yang sudah disemur, bapak makan jengkol untuk lalapan. Setiap hari, jengkol adalah menu wajib. Jika sedang musim, pasti mudah mencarinya, tetapi saat tidak musim sangatlah susah. Untungnya, selama ini mudah saja mendapatkan jengkol. Bahkan, sering dibela-belain masuk ke hutan untuk mencari jengkol. Sepulang kerja suamiku langsung ke terminal bus pulang ke Pemalang.
"Tolong pak, sudah semakin sepuh, dijaga ya pola makannya biar sehat, jangan sering-sering makan jengkol. Saya kan jauh"cerita suamiku saat menasihati bapaknya
Bukannya mengiyakan permintaan anaknya, pak Ruban malah berucap. Aku sudah tua, sudah melihat kamu mentas, Le. Masmu juga sudah jadi orang. Rasanya, bapak sudah siap kapan pun dipanggil. Tapi, soal jengkol bapak tak mungkin berhenti.
Aku hanya bisa senyump-senyum mendengar kengototan bapak. Lha,..wis kadhung tresno, mau pisah sama jengkol mah susah.
Bapak dan Emak juga bukan orang tua yang mau merepotkan anak-anaknya. Mereka sangat tahu diri. Melihat anak-anaknya mandiri, punya keluarga sendiri tanpa merepotkan orang tua, mereka sudah sangat bersyukur. Banyak kita lihat, orang tua yang direpotkan anak-anaknya. Sudah menikah dan punya keluarga, makan masih numpang sama orang tua. Orang tua disuruh untuk menjaga cucunya dari pagi sampai malam dengan segala kerepotannya. Alhamdulillah anak-anak bapak tidak merepotkan bapak. Kadang, ketika ada uang lebih, kusisihkan untuk mereka, saat suamiku pulang menjenguk. Aku memang tak bisa sering ikut pulang, karena masih ada bayi yang rentan sakit jika sering kubawa pulang naik bus, trus naik-turun kendaraan, sambung ojek juga. Ternyata, uang yang selama ini kami berikan tak serupiahpun digunakan oleh mertuaku. uang itu mereka pinjamkan ke saudara-saudara, pastinya tanpa bunga ya. Maksudnya, daripada disimpan di rumah, atau ditabung ke bank, mertuaku tak punya rekening, dan bank begitu jauh di kota. jadilah, uang itu dipinjam pada saudara. Harapan mertuaku, ketika nanti mereka sudah tua sekali, tak bisa lagi bekerja, mereka bisa menggunakan uang itu untuk menyambung hari tua mereka. Aku sangat terharu sekali mendengar cerita ini. Mertuaku sungguh mulia. Sungguh berpikiran jauh ke depan. Padahal sebagai anak, aku pun tak menolak jika mereka mau tinggal dirumahku. Aku akan berusaha memperlakukan mereka dengan baik. Dari cerita saudara-saudara suami, mereka melakukan itu karena mereka tak mau merepotkan anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar