Selasa, 31 Juli 2018

Saya Pernah Bekerja di Pabrik (Bagian Satu)

      Aku pernah merasakannya. Hidup berdampingan dengan gemuruh suara mesin. Manusia-manusia yang mempunyai kesibukan berdasarkan jam kelompoknya. Mess yang selalu ramai saat jam pulang kerja, dan kembali menjadi sunyi saat ditinggalkan penghuninya. Para pedagang makanan matang penyelamat dari kelaparan, serta nikmatnya tidur panjang di hari libur yang panjang.

Tahun 2000
      Lulus sekolah, tapi tak lulus ujian menuju kampus idaman. Membuatku terpuruk dalam keminderan. Malas keluar rumah, karena akan selalu dapat sapaan tetangga. 
-Masih di rumah aja?
-Katanya kuliah, kok belum berangkat?
-Nggak jadi kuliah?
-Gak kuliah di rumah mau apa?
-Emang kemarin ambil jurusan apa kok gak lulus? ketinggian sih standarnya.
dan....banyak sekali pertanyaan sejenis yang dilancarkan para tetangga.
seolah aku adalah artis terkenal. Orang beken, yang segala urusanku perlu diketahui oleh khalayak umum. Hariku terasa berat. Berat badan pun naik pesat. Bayangkan saja kerjaan tiap hari hanya makan minum tidur. Main keluar rumah jarang, abisnya takut ditanya-tanya orang.
      Sesekali aku turun ke sawah membantu orang tuaku menanam padi, mencabuti rumput, dan memanen padi ketika sudah masuk waktu panen. Jangan dibayangkan apa enaknya di sawah. Selain puanas, bikin kulit jadi eksotik, kaki gatal, rambut merah, juga kadang-kadang ada hewan lintah. Tapi, sebagai anak yang baik, kutunjukkan baktiku pada orang tua. Masak cuma makan tidur aja kerjaanku.
      Waktu berlalu terasa lambat. Pengin rasanya segera masuk bulan-bulan daftar kuliah. Kenapa tidak memanfaatkan waktu buat bimbel? Gak punya duit, itu jawabnya. Pengin kerja, kerja kemana? Gimana nyarinya? Ah...terbayang betapa susahnya menjadi aku waktu itu. Anak muda yang baru lepas dari bangku SMU dan baru merasakan gimana rasanya perjuangan hidup setelah lepas seragam putih abu. Duit tak punya. Gebetan tak ada. Hampa dah hampa.
      Empat bulan berlalu terasa setahun. Suatu ketika untuk menghilangkan suntuk aku pergi ke kota, naik sepeda ontel cuyy, demi untuk menghemat ongkos. Jarak desa ke kota sekitar dua belas kilo, dengan beban dua puluh kilo diboncengan. Iya, aku pergi bareng adikku yang masih berumur sembilan tahunan demi agar selama perjalanan aku punya teman ngobrol. Kami ke kota, sekedar untuk beli mie ayam dan es teh manis. Iya sesekali kami pun orang ndesa butuh hiburan. Sekedar makan mie ayam pun itu sudah sebuah hiburan yang mewah. Kau tahu kawan? Hidup di desa dari keluarga yang sederhana dengan penghasilan seadanya, nyari uang itu susah bener. Mau jajan barang seharga seribu dua ribu pun susah. Maka kadang kami anak kecil suka nahan-nahan jajan dari uang yang kami kumpulkan entah pemberian kakek nenek atau saudara, seratus dua ratus rupiah, kami kumpulkan untuk bisa membeli semangkok mie ayam. Bukan ayam goreng kaefsi atau mekdi atau yang serba kekinian, kami tidak kenal semua itu.
      Pulang dari kota, jam dinding tua sudah menunjukkan pukul dua siang. Ada bekas gelas teh di meja ruang tamu. Ibu dan bapakku sudah berangkat kembali ke sawah. Kuhabiskan waktu dengan bermain bersama adikku menunggu kepulangan bapak ibuku. 
"Tadi temanmu Marni kesini waktu kamu ke kota"ucap ibuku sore itu di dapur sambil mengaduk sayur
"Marni ada pesan apa bu?"tanyaku penasaran
"Dia bilang mau ke Purwakarta cari kerja. Mau ngajakin kamu"
 "Ya besok aku coba main ke rumahnya"
              
                    *********
      Dua hari berlalu. Aku lupa pada janjiku untuk main ke rumah Marni. Ketika siang itu ibu pulang dari rumah, ibu membujukku untuk ke rumah Marni. Kukayuh pelan-pelan sepedaku membelah siang hari yang panas dan berangin sepoi. Suasana desa sepi. Kebanyakan warganya sibuk di sawah ladangnya. Sepedaku menembus pohon-pohon jagung dan aneka tanaman lain. Sesekali suara ternak mengembik bersahutan. Rumah marni tak jauh lagi, diujung perladangan ini. Kusandarkan sepeda pada pohon mlinjo di halaman rumah. Tanganku mengetuk pintu yang sedikit terbuka.
      Simbok Marni menyambutku. Setelah salaman dan saling menanyakan kabar, kuutarakan maksud kedatanganku. Kaget kudengar kabar itu. Kecewa itu pasti. Aku terlambat. Marni telah berangkat ke Purwakarta tadi pagi. Air mata menetes. Kuminta alamat yang dituju Marni di Purwakarta sana. Entah bagaimana dan dengan siapa aku akan menyusulnya ke Purwakarta.
      Aku menangis sepanjang perjalanan ke rumah. Menyesal. Kenapa aku kemarin tidak segera ke rumah Marni ketika tahu dia ke rumahku. Aku harus menyusulnya. aku harus kerja. Pergi ke Purwakarta adalah alasan yang jelas agar aku terlepas dari segala pertanyaan orang. Agar aku bisa tegak lagi menatap dunia. Agar aku bisa membuang segala keminderanku karena gagal diterima di kampus impian.

Jumat, 20 Juli 2018

Tangisku Luruh dalam Kebekuanmu

(Nyoba bikin cerpen. ini kutulis tahun 2012)

"Sekarang kamu makan. Selesai makan, bantu Bapak mengangkat gabah yang sedang dijemur" ucap Bapak tegas tanpa ekspresi.
Aku menganggguk. Kakiku masih pegal-pegal setelah jalan sekitar tiga kilo meter jarak dari sekolah ke rumah. Rasanya aku ingin istrirahat, merebahkan badanku di dipan kayu dan bisa tidur. Tetapi khayalanku harus kembali kukubur dalam-dalam. Perintah Bapak harus aku laksanakan, tanpa alasan. Aku makan dengan pelan, menikmati tumis kangkung dan tempe goreng serta sambal terasi. Ibu masih sibuk membolak-balik gabah yang sedang di jemur. Panas matahari sudah berkurang, berganti dengan awan yang mulai menghitam menggelayuti langit.

 "Ayo cepat makannya. Nanti keburu hujan dan padi-padi belum masuk rumah" teriak Bapak dari halaman
Buru-buru kuselesaikan makanku, dan segera menuju halaman sebelum Bapak bertambah marah.

Padi-padi yang tadi dijemur sudah selesai dimasukkan ke dalam karung-karung. Ada lima belas karung. Dan au harus memanggulnya satu persatu. Padi-padi ini bukan sepenuhnya milik Bapak, tetapi milik Bu Sri, pemilik sawah yang digarap bapak. Besok siang bu Sri akan datang mengambil hasil paro, setengah dari jumlah padi di karung-karung ini. Sudah empat karung padi yang berhasil kupindahkan ke rumah. Duh, aku lelah sekali. Pengin rasanya bilang ke bapak, biar bapak membantuku.
"Yang benar bawanya. Anak laki-laki harus kuat" teriak bapak ketika melihatku terhuyung saat memanggul padi.

Ditengah pekerjaanku mengangkuti padi, beberapa teman mainku melintas. Rupanya mereka hendak pergi memancing persawahan dekat kantor pos.Pengin sekali aku ikut memancing. Membayangkan dapat ikan banyak, digoreng buat lauk makan malam. Hmm, nikmat.
"Wan, kami mau memancing. Mau ikut?" Budi menawariku
"Iya, ikannya lagi banyak. Kemarin saja kita dapat ikan banyak" cerita Jono berapi-api, membuatku semakin tertarik

Aku menengok ke arah bapak. Bapak memandangku galak. Dari sorot matanya, aku paham bapak tak mengijinkan aku ikut mereka. Aku menggelengkan kepala ke arah teman-temanku. Mereka juga kecewa karena aku tak bisa bergabung dengan mereka.Mereka paham bagaimana watak bapakku.

Pekerjaan mengangkuti padi selesai sudah. Kuteguk segelas air putih. Peluh membanjiri dahi dan punggungku. Kutarik nafas penuh kelegaan. Selesai kerjaan ini, berarti aku bisa menyusul teman-temanku. Hari beranjak sore. Kukemasi peralatan memancingku. Kail, joran, dan umpan berupa cacing yang kucari di tanah belakang rumah telah siap. Aku mengendap-endap keluar pintu samping. Ehm. Suara deheman bapak seketika menghentikan langkah kakiku.
"Mau kemana? Tugasmu belum selesai" bentak bapak
"Itu, beras ibumu sudah habis" tangannya menunjuk pada ember penyimpanan beras yang sudah kosong "Sekarang, ke penggilingan padi, bawa gabah yang digudang" lanjutnya
Uh, bapak. Kapan sih aku bisa beristirahat dan bisa menikmati duniaku barang sejenak. Jengkel dengan sikap bapak, aku pun lari dengan peralatan pancingku. Eh ternyata bapak mengejarku. Aku kalah gesit dan bapak berhasil mencengkeram krah bajuku.

"Dasar anak nakal. Pulang" tangan kekar menampar pipiku.
Sakit dan panas sekali rasanya pipiku. Beberapa orang tetangga yang melihat kejadian ini tak bisa berbuat apa-apa. Mereka sudah hapal, bapak memang terkenal galak dan pemarah.Dengan terpaksa kuturuti kemauan bapak. Kutuntun sepeda dengan langkah cepat. Sekarung gabah kuletakkan ditengah-tengah sepeda. Iri rasanya melihat anak-anak seumuranku yang sedang asyik bermain bola di halaman, ada juga yang asyik bersepeda dengan penuh canda tawa.

**************************

 Pagi ini kembali aku ke sekolah jalan kaki. Kata bapak sepedaku mau dipakai ibu ke sawah. Padahal ibu sudah bilang, ke sawahnya mau jalan kaki saja, lewat jalan pintas biar bisa cepat sampai. Kasihan kalau aku jalan kaki lagi, mana pulangnya panas-panas. Tetapi, bapak tak menggubris permintaan ibu. Entahlah, kok bapak rasanya tak pernah sayang padaku. Tak pernah tahu dan mau tahu kebutuhan sekolahku.Bayar sekolah pun aku harus minta berkali-kali. Kalau pun akhirnya diberi, tak jarang uang itu disumpalkan kemulutku saat aku menangis menunggu uluran uang darinya.

Siang ini begitu panas. Teman-temanku sudah pulang duluan, mungkin sudah sampai rumah. Aku jalan kaki sendiri. Bukannya tak ada yang menawariku untuk dibonceng sepeda, tetapi aku merasa tak enak menumpang terlalu sering. Duh, ujian kenaikan kelas seminggu lagi. Bagaimana aku bisa belajar dan dapat nilai bagus, kalau setiap hari aku harus selalu bantu bapak ini itu. Setiap pulang sekolah selalu ada pekerjaan yang menungguku. Seolah bapak tak pernah senang membiarkan aku tenang tak terganggu.

"Jadi anak itu harus nurut sama orang tua. Gini-gini aku bapakmu, yang ngasih makan kamu. Kalau masih kecil saja susah diatur, bagaimana nanti kalau sudah besar? Jangan ikut-ikutan teman-temanmu. Mereka anak orang berpunya. Kamu? kalau bapak tak kerja mati-matian kita semua tak bisa makan" panjang lebar pidato bapak saat melihat mukaku yang cemberut dan ditekuk waktu disuruh menggembala kambing

"Wawan kan mau belajar Pak. Seminggu lagi ujian untuk kenaikan kelas" rajukku
"Alah. belajar. belajar. Memang mau jadi apa kamu nanti. Tetap aja nanti jadi orang susah seperti bapakmu ini" bantah bapak

Dengan cemberut kukeluarkan empat kambing-kambing ini dari kandang. Tanpa mempedulikan raut wajah keterpaksaanku, kambing-kambing itu keluar kandang dengan ceria. Tanpa dikomando mereka kompak menuju lapangan rumput yang letaknya beberapa rumah dari rumahku. Lapangan rumput ini persis di pinggir jalan raya. Motor dan mobil berseliweran. Beberapa anak gembala berteduh di bawah pohon cemara yang mengitari sepanjang lapangan rumput. Angin sepoi-sepoi membelai wajahku. Nikmatnya. Kambing-kambingku sedang asyik merumput. Hoamm. Mengantuk.

"Hei, bangun!" aku kaget ketika sebuah pukulan kayu telah melayang di kepalaku. bapak.
" Disuruh jaga kambing malah enak-enak tidur. Tuh, kambingmu keserempet motor" kualihkan pandanganku ke seberang jalan. Seekor kambingku terduduk dengan kaki berlumuran darah. Aduh. Salah lagi.
"Makanya kalau kerja yang benar" kembali bapak memukulkan kayu kali ini ke punggungku.
"Ampun pak. Sakit" Sebisa mungkin kutahan air mataku. Aku tak mau menangis dan dibilang cengeng. Malu dilihat orang-orang yang lewat.

Sejak insiden kambing, kegalakan bapak makin menjadi-jadi. Aku selalu jadi bahan pelampiasan. Aku sudah tak betah di rumah. Mau pergi, pergi ke mana? Pengin rasanya nakal sekalian daripada aku tersiksa begini. Tapi mau merokok aku tak punya uang. Mau nongkrong-nongkrong di perempatan jalan, kasihan ibu pasti malu kalau aku jadi omongan. Detik demi detik tak cepat berlalu. Setahun lagi, setelah aku lulus SMP, aku bisa bebas dari rumah ini, dari neraka yang diciptakan bapak. Kadang aku berpikir, apa aku bukan anak kandungnya, kok bapak begitu galak dan ganas padaku. Ibu juga sering tak bisa bertindak netral, tak bisa membelaku saat bapak memarahiku.
"Betapa pun buruk tabiatnya, dia itu bapakmu, bapak kandungmu. Tanpa dia, tak mungkin kamu ada di dunia ini" Nasihat ibu setiap kali kukeluhkan sikap bapak.