Jumat, 20 Juli 2018

Tangisku Luruh dalam Kebekuanmu

(Nyoba bikin cerpen. ini kutulis tahun 2012)

"Sekarang kamu makan. Selesai makan, bantu Bapak mengangkat gabah yang sedang dijemur" ucap Bapak tegas tanpa ekspresi.
Aku menganggguk. Kakiku masih pegal-pegal setelah jalan sekitar tiga kilo meter jarak dari sekolah ke rumah. Rasanya aku ingin istrirahat, merebahkan badanku di dipan kayu dan bisa tidur. Tetapi khayalanku harus kembali kukubur dalam-dalam. Perintah Bapak harus aku laksanakan, tanpa alasan. Aku makan dengan pelan, menikmati tumis kangkung dan tempe goreng serta sambal terasi. Ibu masih sibuk membolak-balik gabah yang sedang di jemur. Panas matahari sudah berkurang, berganti dengan awan yang mulai menghitam menggelayuti langit.

 "Ayo cepat makannya. Nanti keburu hujan dan padi-padi belum masuk rumah" teriak Bapak dari halaman
Buru-buru kuselesaikan makanku, dan segera menuju halaman sebelum Bapak bertambah marah.

Padi-padi yang tadi dijemur sudah selesai dimasukkan ke dalam karung-karung. Ada lima belas karung. Dan au harus memanggulnya satu persatu. Padi-padi ini bukan sepenuhnya milik Bapak, tetapi milik Bu Sri, pemilik sawah yang digarap bapak. Besok siang bu Sri akan datang mengambil hasil paro, setengah dari jumlah padi di karung-karung ini. Sudah empat karung padi yang berhasil kupindahkan ke rumah. Duh, aku lelah sekali. Pengin rasanya bilang ke bapak, biar bapak membantuku.
"Yang benar bawanya. Anak laki-laki harus kuat" teriak bapak ketika melihatku terhuyung saat memanggul padi.

Ditengah pekerjaanku mengangkuti padi, beberapa teman mainku melintas. Rupanya mereka hendak pergi memancing persawahan dekat kantor pos.Pengin sekali aku ikut memancing. Membayangkan dapat ikan banyak, digoreng buat lauk makan malam. Hmm, nikmat.
"Wan, kami mau memancing. Mau ikut?" Budi menawariku
"Iya, ikannya lagi banyak. Kemarin saja kita dapat ikan banyak" cerita Jono berapi-api, membuatku semakin tertarik

Aku menengok ke arah bapak. Bapak memandangku galak. Dari sorot matanya, aku paham bapak tak mengijinkan aku ikut mereka. Aku menggelengkan kepala ke arah teman-temanku. Mereka juga kecewa karena aku tak bisa bergabung dengan mereka.Mereka paham bagaimana watak bapakku.

Pekerjaan mengangkuti padi selesai sudah. Kuteguk segelas air putih. Peluh membanjiri dahi dan punggungku. Kutarik nafas penuh kelegaan. Selesai kerjaan ini, berarti aku bisa menyusul teman-temanku. Hari beranjak sore. Kukemasi peralatan memancingku. Kail, joran, dan umpan berupa cacing yang kucari di tanah belakang rumah telah siap. Aku mengendap-endap keluar pintu samping. Ehm. Suara deheman bapak seketika menghentikan langkah kakiku.
"Mau kemana? Tugasmu belum selesai" bentak bapak
"Itu, beras ibumu sudah habis" tangannya menunjuk pada ember penyimpanan beras yang sudah kosong "Sekarang, ke penggilingan padi, bawa gabah yang digudang" lanjutnya
Uh, bapak. Kapan sih aku bisa beristirahat dan bisa menikmati duniaku barang sejenak. Jengkel dengan sikap bapak, aku pun lari dengan peralatan pancingku. Eh ternyata bapak mengejarku. Aku kalah gesit dan bapak berhasil mencengkeram krah bajuku.

"Dasar anak nakal. Pulang" tangan kekar menampar pipiku.
Sakit dan panas sekali rasanya pipiku. Beberapa orang tetangga yang melihat kejadian ini tak bisa berbuat apa-apa. Mereka sudah hapal, bapak memang terkenal galak dan pemarah.Dengan terpaksa kuturuti kemauan bapak. Kutuntun sepeda dengan langkah cepat. Sekarung gabah kuletakkan ditengah-tengah sepeda. Iri rasanya melihat anak-anak seumuranku yang sedang asyik bermain bola di halaman, ada juga yang asyik bersepeda dengan penuh canda tawa.

**************************

 Pagi ini kembali aku ke sekolah jalan kaki. Kata bapak sepedaku mau dipakai ibu ke sawah. Padahal ibu sudah bilang, ke sawahnya mau jalan kaki saja, lewat jalan pintas biar bisa cepat sampai. Kasihan kalau aku jalan kaki lagi, mana pulangnya panas-panas. Tetapi, bapak tak menggubris permintaan ibu. Entahlah, kok bapak rasanya tak pernah sayang padaku. Tak pernah tahu dan mau tahu kebutuhan sekolahku.Bayar sekolah pun aku harus minta berkali-kali. Kalau pun akhirnya diberi, tak jarang uang itu disumpalkan kemulutku saat aku menangis menunggu uluran uang darinya.

Siang ini begitu panas. Teman-temanku sudah pulang duluan, mungkin sudah sampai rumah. Aku jalan kaki sendiri. Bukannya tak ada yang menawariku untuk dibonceng sepeda, tetapi aku merasa tak enak menumpang terlalu sering. Duh, ujian kenaikan kelas seminggu lagi. Bagaimana aku bisa belajar dan dapat nilai bagus, kalau setiap hari aku harus selalu bantu bapak ini itu. Setiap pulang sekolah selalu ada pekerjaan yang menungguku. Seolah bapak tak pernah senang membiarkan aku tenang tak terganggu.

"Jadi anak itu harus nurut sama orang tua. Gini-gini aku bapakmu, yang ngasih makan kamu. Kalau masih kecil saja susah diatur, bagaimana nanti kalau sudah besar? Jangan ikut-ikutan teman-temanmu. Mereka anak orang berpunya. Kamu? kalau bapak tak kerja mati-matian kita semua tak bisa makan" panjang lebar pidato bapak saat melihat mukaku yang cemberut dan ditekuk waktu disuruh menggembala kambing

"Wawan kan mau belajar Pak. Seminggu lagi ujian untuk kenaikan kelas" rajukku
"Alah. belajar. belajar. Memang mau jadi apa kamu nanti. Tetap aja nanti jadi orang susah seperti bapakmu ini" bantah bapak

Dengan cemberut kukeluarkan empat kambing-kambing ini dari kandang. Tanpa mempedulikan raut wajah keterpaksaanku, kambing-kambing itu keluar kandang dengan ceria. Tanpa dikomando mereka kompak menuju lapangan rumput yang letaknya beberapa rumah dari rumahku. Lapangan rumput ini persis di pinggir jalan raya. Motor dan mobil berseliweran. Beberapa anak gembala berteduh di bawah pohon cemara yang mengitari sepanjang lapangan rumput. Angin sepoi-sepoi membelai wajahku. Nikmatnya. Kambing-kambingku sedang asyik merumput. Hoamm. Mengantuk.

"Hei, bangun!" aku kaget ketika sebuah pukulan kayu telah melayang di kepalaku. bapak.
" Disuruh jaga kambing malah enak-enak tidur. Tuh, kambingmu keserempet motor" kualihkan pandanganku ke seberang jalan. Seekor kambingku terduduk dengan kaki berlumuran darah. Aduh. Salah lagi.
"Makanya kalau kerja yang benar" kembali bapak memukulkan kayu kali ini ke punggungku.
"Ampun pak. Sakit" Sebisa mungkin kutahan air mataku. Aku tak mau menangis dan dibilang cengeng. Malu dilihat orang-orang yang lewat.

Sejak insiden kambing, kegalakan bapak makin menjadi-jadi. Aku selalu jadi bahan pelampiasan. Aku sudah tak betah di rumah. Mau pergi, pergi ke mana? Pengin rasanya nakal sekalian daripada aku tersiksa begini. Tapi mau merokok aku tak punya uang. Mau nongkrong-nongkrong di perempatan jalan, kasihan ibu pasti malu kalau aku jadi omongan. Detik demi detik tak cepat berlalu. Setahun lagi, setelah aku lulus SMP, aku bisa bebas dari rumah ini, dari neraka yang diciptakan bapak. Kadang aku berpikir, apa aku bukan anak kandungnya, kok bapak begitu galak dan ganas padaku. Ibu juga sering tak bisa bertindak netral, tak bisa membelaku saat bapak memarahiku.
"Betapa pun buruk tabiatnya, dia itu bapakmu, bapak kandungmu. Tanpa dia, tak mungkin kamu ada di dunia ini" Nasihat ibu setiap kali kukeluhkan sikap bapak.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar