Minggu, 19 Agustus 2018

BERSYUKUR BERSYUKUR BERSYUKUR

Pernahkah anda merasa hidup begini-begini saja? Stuck. Monoton. Seolah tiada tantangan? Pernahkan merasa bosan bekerja di suatu tempat, karena saking sudah sangat nyamannya sampai-sampai anda merasa jenuh dan butuh tantangan atau pengin pindah kerja ke tempat lain?
Seringkah kita merasa, gaji segini-segini saja yang diterima setiap awal bulan. Sebenarnya sudah cukup besar, tetapi kenapa selalu merasa kehabisan dan ngap-ngapan menjelang akhir bulan. Kenapa mau beli ini itu belum juga kesampaian, kalah oleh banyak kebutuhan rumah tangga, sekolah, keluarga besar, cicilan, sumbangan dll.

Wahai kawan, jika anda sering merasa begitu, tenang saja. Banyak kok temannya. Banyak orang yang merasakan apa yang anda rasakan. Rumah punya, kendaraan punya, tabungan meski dikit ada, pakaian bisa berganti-ganti tinggal pilih seisi lemari. Makan bisa kenyang tanpa takut esok tak makan. Akan tetapi, serasa hidup itu gersang ya? Seperti sudah minum tetapi masih terasa haus? Hidup tak ada yang kurang, tapi serasa ada yang tidak pas. Semua itu berpangkal pada rasa syukur. Yap. Kita hanya merasa, tiap bulan gajian adalah memang hak kita setelah sebulan bekerja. Itu hak kita. Kita tak ingat bahwa itu memang rejeki yang sudah ditentukan oleh Alloh sang maha pemberi rejeki. Seandainya dalam sebulan itu ada waktunya kita sakit, tidak bisa berangkat kerja atau ada anak kita yang sakit, apakah gaji yang akan kita terima nanti akan utuh? Ada banyak kantor loh yang memotong gaji karyawannya ketika karyawan tidak masuk kantor (dengan alasan selain cuti). Kantor tempat saya mengais rejeki pun begitu. Jika pegawai mendaratkan jari diatas mesein presensi diatas pukul 08.00.59, maka pegawai tersebut akan kena potong 0.5% per hari pegawai tersebut terlambat. Semisal pegawai tersebut terlambat datang karena gangguan transportasi contohnya karena KRL mogok, atau terjadi kecelakaan di tol yang dilalui pegawai tersebut, pegawai tsb akan tetap kena potongan bila telat sampai kantor.

Seringkali kita masih merasa kurang saja dengan penghasilan yang kita peroleh. Ada kenaikan gaji satu juta. Kenaikan tersebut bukannya kita tabung, tapi malah kita gunakan untuk menambah kebutuhan lain. Ada kenaikan gaji sedikit, gaya hidup ikutan berubah. Yang semula mau makan di warteg, sekarang ganti makannya di warung bersahaja. Yang semula mau saja pakai sepatu biasa, mulai melirik dan belanja sepatu merek lain yang harganya lebih waow. Tidak ada yang salah kalau kita mau memantaskan diri agar penampilan kita terlihat lebih pantas. Akan tetapi, jika gaya hidup tersebut mengganggu biaya hidup yang berujung pada hutang dan ketidaksyukuran atas rejeki yang kita dapat, ini jelas sesuatu yang salah.

Ketika kita selalu merasa kekurangan, tengoklah ke bawah. Pada orang-orang lain yang tidak seberuntung kita. Banyak sekali contohnya. Kita harus keluar rumah, berjalan. Di perjalanan, di pasar, di stasiun atau tempat lain, akan banyak hal yang membuat kita menjadi lebih bersyukur. Tukang angkut sampah, kerjanya keras, menggunakan otot untuk bisa menarik atau mendorong gerobak sampah. Menyingkirkan segala rasa jijik akan bau sampah, demi untuk mendapatkan upah atas pekerjaan yang di jalaninya. Pedagang keliling, semisal es lilin. Di saat hari panas terik. Menjajakan es lilin keliling kampung. Suara serak meneriakkan barang dagangan. Kaki capek melangkah, es di termos mulai mencair. Tapi baru beberapa es lilin yang terjual. Di rumah, sang istri menunggu dengan cemas. Apakah sore nanti beras terbeli untuk makan anak-anak yang masih kecil?

Suatu siang yang panas, selepas dhuhur. Waktu yang tepat buat beristirahat merebahkan badan pada kasur yang empuk dan ac yang dingin serasa membelai wajah meninabobokan. Akan tetapi siang yang panas itu, saya keluar rumah untuk membeli susu  di toko serba ada dekat perbatasan desa. Melintasi jalanan dari gang ke gang, dan pandangan mata tertumbuk pada sosok tua yang terkantuk-kantuk di depan pagar sebuah rumah, di bawah pohon rindang. Bapak tua tukang sol sepatu, terlihat dari properti yang tergeletak disebelahnya. Hati langsung berdesir. Ya Alloh, beginilah beratnya hidup seorang kepala keluarga.

Sekitar satu jam berbelanja, Saya pun pulang dan kembali melewati jalanan yang tadi. Bapak tukang sol sepatu masih duduk di tempat yang sama. Apakah dia sudah dapat uang hari ini? entahlah, semoga Alloh mudahkan rejekinya.

Semalam, sepulang kerja saya mencari ciput ninja untuk anak saya yang mau ikut lomba. Mencari ke setiap toko yang menjual pernak-pernik muslimah, tapi barang yang saya maksud tidak ada. Seseorang menawari saya tissu, tapi saya hanya melihatnya sekilas lalu menolaknya karena sedang fokus berjalan ke toko satunya. Namun, ada perasaan aneh yang membuat saya bertekad nanti akan beli tissunya si bapak. Dari toko tersebut, kembali melewati pedagang tissu, kubeli sebungkus tissu yang harganya tak seberapa. Ya Alloh, penjualnya sudah sepuh, indra pernglihatannya juga bermasalah. Senyumnya sumringah.

"Alhamdulillah. Terima kasih ya Neng. Ini bonusnya mau tidak?" ucap beliau sambil membuka kotak yang ternyata isinya adalah es lilin (sejenis es lilin).
"Maaf pak. Tidak usah ya" tolakku halus sembari tersenyum.

Terus terang, hatiku sangat teriris.  Tiba-tiba ada sebongkah rasa sedih dan entah perasaan apa namanya. Hari sudah malam tapi bapak tua masih menjajakan dagangan. Duduk ngedeprok di dekat pintu masuk sebuah toko. Kupandangi beliau sekali lagi, sebelum motorku meninggalkan parkiran. 

Kembali kususuri toko demi toko, tapi barang yang kumaksud tidak ada. Akhirnya saya kirim pesan wa ke salah satu orang tua temannya Kei, curhat bahwa saya ada kendala. Setelah berbalas pesan via wa, akhirnya saya membeli ciput yang hampir serupa dengan yang tadi dicari. Selesai membayar dan menyimpan ciput dalam tas, kami pulang. Ah, masih terbayang wajah bapak tua penjual tissu. Di perjalanan pulang kami melihat sekeluarga pemulung. Dua anak-anak naik gerobak yang ditarik oleh lelaki dewasa, yang saya perkirakan adalah bapaknya dan seorang bayi dalam gendongan perempuan dewasa yang mengikuti lajunya gerobak. Dua anak perempuan kecil dalam gerobak berceloteh khas anak-anak, bercanda, tak mempedulikan pandangan dari orang-orang yang berpapasan dengan mereka. Angin malam, udara kotor dari sisa-sisa kendaraan bermotor, juga suara bising menyertai langkah kaki mereka mengais sampah dan barang-barang bekas. Mungkin ada yang berkomentar, kenapa sih si bayi tidak tinggal di rumah saja barang si ibu? Kita biasanya hanya berkomentar dari apa yang kita lihat, tanpa tahu pasti alasannya apa. Yang jelas, hidup di kota besar itu memang keras dan butuh kerja keras. 

Makanya setelah melihat kehidupan dari kacamata lain, setidaknya membuat kita jauh lebih bersyukur. Syukuri apa yang sudah kita capai. Jangan selalu  melihat ke atas, sesekali melihatlah ke bawah. Jika kita punya suami yang penghasilannya kecil, jangan asal mengeluh dan menuduh pemalas. Lihatlah dan ingat-ingatlah semua kebaikannya. Sering manusia sudah berusaha sedemikian keras, tapi kalau takaran rejekinya hanya segitu, mau gimana lagi? Yang penting halal, dan dia sudah berusaha keras untuk memberikan nafkah terbaik buat keluarganya.

Begitu pula sang suami, ketika pulang bekerja dan mendapati rumah berantakan, jangan serta merta menuduh istri pemalas. Bisa jadi, seharian tadi si kecil rewel, sang istri tidak bisa memasak dan beberes karena si kecil maunya digendong terus. Kalau masih ada tenaga, bantulah beberes, pasti itu akan membuat sang istri tersenyum manis dan membuatnya merasa sangat bersyukur memiliki suami seperti anda.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar