Kamis, 17 Januari 2013

JANUARI : Hujan Sehari-hari, Banjir Dimana mana






Semenjak Selasa lalu, 15 Januari 2013, wilayah sekitar jembatan Kalibata terkena banjir. Warga banyak mengungsi di bawah fly over, dan tempat sekitarnya.
Saya pribadi ikut prihatin terhadap para korban banjir ini. Saya sendiri pernah mengalaminya sekitar akhir tahun 2006 atau awal tahun 2007, saat masih mengontrak rumah di Rawajati Barat. Saya merasakan betul bagaimana menderitanya kebanjiran.

Dalam ingatan saya, waktu itu hujan turun terus menerus tiada hentinya semenjak sore. Sekitar jam sembilanan malam, air mulai masuk rumah. Saat itu rumah kami(saya dan suami) tanggul seadanya. Ember, plastik, cobek, dan perkakas lain kami gunakan untuk membuat tanggul sementara. Barang-barang sudah kami amankan diatas kursi atau meja atau tempat tidur. Pikir kami, amanlah, semoga hujan segera berhenti. Tanpa kami perhitungkan, serangan banjir muncul dari arah kamar mandi. Jadi, saluran air kamar mandi itu desainnya langsung terhubung dengan saluran air di pinggir-pinggir rumah warga. Paniklah kami, tanpa bisa menghentikan laju air tersebut. Lalu suami menyuruh saya tinggal di kamar saja. Dengan agak ragu, saya turuti permintaan suami. Kamar pun mulai ditanggul dari luar. Tiba-tiba perut besar saya mules. Aduh, apakah saya akan melahirkan dalam keadaan seperti ini? Rasanya belum waktunya. Oalah, ternyata pengin pup. Panik, Saya panggil suami, biar mau membukakan pintu. Tapi suami menolak dengan alasan agar air tidak masuk kamar. Dan jreng jreng, terpaksalah dengan selembar kresek hitam saya tuntaskan hasrat malam itu. Untungnya masih ada satu botol aqua yang bisa saya gunakan untuk bersih-bersih, hihi.

Menit demi menit terasa begitu lama. Hujan bukannya berhenti malah semakin deras. Pukul  sepuluh atau sebelas malam rumah kami benar-benar diserbu air yang deras mendesak berlomba memenuhi rumah, dan langsung tinggi hampir setengah meter. Pasrah. Saya pun naik ke tempat tidur, berdampingan dengan  barang-barang. Badan lelah, tapi pikiran gelisah, membuat kami tak bisa tidur. Yang kami pikirkan, kapan air surut agar kami segera bisa bebersih.

Entah pukul berapa air mulai surut, kami dan para tetangga mulai sibuk membersihkan rumah masing-masing. Bau amis, sampah, hewan kecil-kecil, cacing bertebaran disana-sini. Dengan sisa tenaga kami bersihkan rumah secepat mungkin agar bisa segera memejamkan mata.

Pagi, pukul tujuh saya tinggalkan rumah menuju tempat kerja. Hujan masih deras, sepanjang jalan digenangi air setengah betis. Masih ada suami di rumah yang siaga banjir, barangkali dia akan ke kantor agak siangan.Dan benar, sekitar pukul sembilan suami menelpon mengabarkan baru saja ada banjir susulan dan sudah suami bereskan.

Seharian hujan jatuh terus-menerus. Karena di kantor yang tertutup, saya tak begitu tahu sederas apa. Setelah pulang kerj, begitu sampai rumah langsung kaget. melihat tanah kotoran memenuhi lantai dan dinding. Ternyata kebanjiran lagi. Berarti sedari malam, kena banjir 3X!. Kami pun mulai berpikir untuk mencari kontrakan baru, atau cari rumah. Capek membersihkan bekas banjir. Alhamdulillah, awal Februari kami dapat rumah kecil di Depok. Bye bye banjir.







                                   Gambar banjir yang saya ambil dari Website Aksi Cepat Tanggap. 



                                        Gambar lain yang saya ambil dari Tempo


Terhadap para korban banjir, saya ucapkan turut bersedih, semoga semua tabah, tetap sehat dan semangat membersihkan sisa banjir. Saya saja yang kena tiga kali sudah menyerah, capek banget rasanya. Semoga banjir ini membuat kita semua jadi introspeksi diri, menyadari bahwa ada yang salah antara manusia dengan alam. Okelah, kita tak perlu ikut menghujat, menyalahkan pejabat dan orang-orang. Saya bukan warga Jakarta, tetapi setiap hari, kurang lebih sepuluh jam waktu saya habiskan di Jakarta. Kalau masalah banjir ini kita timpakan pada pemimpin yang baru menjabat beberapa bulan, ini salah besar. Siapa pemimpin sebelumnya, dan sebelumnya? Banjir kan tidak datang begitu saja, tentu ada pencetusnya.Apa sebenarnya akar masalah ini? Saya akan jawab dengan pemikiran saya, sekali lagi saya hanya orang awam, bukan ahli dibidang perbanjiran, jadi bisa saja banyak yang tidak sepakat dengan yang saya ungkapkan.

Pertama, kurangnya daerah resapan air. Pohon-pohon sudah sangat jauh berkurang, dan jalanan disemen atau diaspal semua. Tanah yang tersisa hanya sedikit, makanya kalau hujan terjadi genangan dimana-mana.
Kedua, gorong-gorong yang kecil dan sempit, parit atau selokan yang kecil dan mampet, tak mampu menampung debit air.
Ketiga, sampah dimana-mana. Di parit, di selokan, di gorong-gorong isinya sampah dengan banyak ragamnya, segala jenis sampah. Mau bukti? Kalau naik mikrolet 16 dari Pasar Minggu atau naik Kopaja 57, saat melintas di atas jembatan Kalibata, lihatlah sungainya. Warnanya coklat keruh dan didominasi sampah. Orang buang sampah dimana-mana. Sudah disediakan tempat sampah, jalan cuma bentar ke tempat sampah, tapi ogah dan memilih buang sampah dibawah atau di dekat duduknya. Alasannya kan ada petugas yang dibayar buat bersihin sampah. Hallo,...semua mengandalkan petugas? Apa susah dan salahnya sih kita bantu petugas dengan kebiasaan baik ini. Trus, si pembuang sampah sembarangan ini, kalau ditegur atau diingatkan lebih galak dari yang menegur. Anak kecil itu lebih pinter dan lebih taat pada aturan, buang sampah pada tempatnya. Lha orang dewasa malah lebih parah? Di tempat umum disediakan tempat sampah yang bagus, eh umurnya tidak lama. Ada saja yang lalu menjadikannya koleksi pribadi atau malah menjualnya dengan alasan perut. Contoh lain, orang ramai-ramai buang sampah di lingkungan kampus UI Depok, sambil melintas disitu, sambil buang sampah. Okelah, kalau buang sampahnya di tempat yang sudah disediakan, tak masalah. Lha ini buang sampahnya di sepanjang kiri kanan  jalan. Sudah diberi spanduk peringatan, juga pada tidak bisa baca tuh. Kalau kampusnya berang dan akhirnya jalan ditutup untuk umum, kan rugi semua, padahal itu ulah segelintir orang.
Keempat, banyaknya para penduduk yang tinggal di bantaran sungai. Tinggal disitu, buang sampah disitu juga. Waktu kapan pernah baca, lupa dimana. Kalau tidak salah ada sebuah LSM atau apa yang wawancara dengan warga yang tinggal di bantaran sungai di Bukit Duri, Tebet. Intinya ditanyakan, adakah warga yang buang sampah di sungai? Si Narasumber, seorang ibu menjawab dengan mantap. Tidak ada. Nah, tiba-tiba melintas warga lain yang dengan santainya menenteng plastik gede lalu menceburkannya ke sungai. Jadilah si narasumber senyum tersipu-sipu. Padahal tinggal dibantaran sungai itu sangat berbahaya, dan sebenarnya dilarang. Namun, kebanyakan orang tak bisa membiarkan tanah kosong barang sedikit, langsung ditempati.

Sudah saatnya kita harus berbenah. Mulai melakukan hal kecil yang kelihatan sepele, tapi besar manfaatnya. Mungkin membuang sampah sembarangan hanya sampah kecil, tetapi bila dilakukan terus-menerus dan oleh banyak orang, akan seperti ini akibatnya. Banjir dimana-mana, harta benda tenggelam, mengungsi dengan tidak nyaman, karena kepikiran dengan harta benda disekitarnya. Semoga banjir ini, membuat kita semua sadar, bahwa antara manusia dan alam adalah dua hal yang saling berkaitan, dan menimbulkan sebab akibat. Jika kita menjaga alam, maka alam pun akan menjaga kita.