Kamis, 15 Maret 2012

Nostalgia Krl Ekspress : Ibu-Ibu Hamil yang Nekat Turun Saat Kereta Mogok

Peristiwa ini sudah lama terjadi, mungkin sekitar satu setengah tahun yang lalu. Namun, sampai saat ini, peristiwa pagi itu masih jelas membekas dalam ingatanku, dan juga beberapa temanku yang mengalami langsung.

Pagi itu, aku sudah menunggu kedatangan KRL Ekspres yang berhenti di Stasiun Pondok Cina. Tempat menungguku sudah kuperhitungkan yang kira-kira tepat di pintu sebelah tempat duduk prioritas. Ketika KRL datang dan berhenti didepanku, perjuangan pun dimulai. Orang-orang yang sudah hapal dengan perutku (bukan wajahku), segera memberiku jalan untuk mencapai tempat duduk prioritas. Pada masa itu, KRL Ekspres bukan lagi kereta eksekutif, karena padat dan penuhnya sama dengan KRL AC Ekonomi, maupun ekonomi. Orang-orang banyak yang beralih ke KRL Ekspres, karena meskipun tiketnya lebih mahal (dari Stasiun Depok : KRL Ekpress RP9.000,00 AC Ekonomi Rp5.500,00 Ekonomi Rp2.000,00) dan padat penumpang, tetapi KRL Ekspress tidak berhenti di setiap stasiun, hanya berhenti di stasiun tertentu, sehingga otomatis butuh waktu yang lebih singkat untuk sampai ke tempat tujuan dibandingkan apabila menggunakan KRL AC Ekonomi atau KRL Ekonomi.
Memang, untuk menempuh jarak dari Stasiun Pondok Cina sampai Stasiun Cawang hanya dibutuhkan waktu sekitar lima belas menit, tetapi, bagi wanita yang sedang hamil, akan sangat melelahkan jika terpaksa harus berdiri karena tidak dapat tempat duduk. Untuk mendapatkan tempat duduk prioritas pun bukan hal yang mudah, karena pasti sudah ada yang mendudukinya, seringnya diduduki oleh orang yang bukan prioritas (yang diprioritaskan adalah wanita hamil, lansia, orang cacat, ibu membawa balita). Seringkali aku harus meminta secara "paksa" (pastinya dengan mengucapkan permintaan maaf dahulu) pada orang yang bukan prioritas yang duduk di kursi prioritas. Reaksi orang bermacam-macam, ada yang dengan rela memberikan, ada yang dengan wajah cemberut dan terpaksa. Ada pula yang tetap bertahan dan dengan isyarat mata menyuruhku duduk disela-sela duduknya yang untuk setengah badanku pun tak muat. Bersyukur sekali, selama menjalankan masa kehamilanku, hanya tiga kali aku tak mendapatkan duduk, karena kereta bermasalah, sehingga dua kereta dikawin paksa (digabung) yang membuat kereta begitu penuh tak bisa bergerak kemana pun. Bisa terangkut saja sudah sangat bersyukur.
Dari stasiun Cawang, aku berbalik arah ke stasiun Duren Kalibata (aku dan teman-teman lebih gampang menyebut dengan stasiun kalibata), karena tempat kerjaku di Kalibata. Jika waktu masih memungkinkan (masuk kerja pukul 07.30), aku masih bisa menggunakan kereta. Tetapi, jika waktu sudah mepet, dan petugas stasiun mengumumkan bahwa kereta jauh, terpaksa ke Kalibata menggunakan ojek yang banyak mangkal diluar stasiun Cawang. Sambil menunggu kereta aku dan teman-teman yang hendak ke Kalibata mengobrol apa saja. Pukul 07.15 KRL AC Ekonomi membawa kami ke stasiun Kalibata. baru beberapa menit jalan, kereta sudah tersendat-sendat, lalu berhenti. Ditunggu satu menit, dua menit, lima menit, masih belum jalan. Kami, yang berjumlah puluhan orang mulai gelisah. Ada apa gerangan? Stasiun masih jauh. Kami berada di tengah-tengah antara Cawang-Kalibata. Beberapa teman inisiatif menanyai petugas sentinel. Dari mereka, kami tahu bahwa bukan karena ada kereta mogok di depan kereta yang kunaiki, tetapi kereta inilah yang bermasalah. Panik, kulirik jam tanganku. Pukul 07.20. Sepuluh menit lagi.
"Mas, kami mau turun saja. Bisa bantu turunkan kami?"
"Yan, gimana kita?" tanya mba Titik panik.
Aku menoleh ke Euis, Lina, Reni, Novi. Wajah mereka semuanya kebingungan. Bagaimana tidak bingung, kami semua dalam keadaan hamil. Ngeri rasanya harus turun dari kereta yang mogok ditengah rel. Jarak antara lantai kereta dan tanah begitu tinggi. Teman-teman lelaki, dan yang lain yang tidak hamil, sudah mulai turun. Tinggal kami yang hamil yang masih ragu dan ngeri.
"Mari ibu-ibu hamil, kalau mau turun, kami bantu"beberapa petugas menawarkan bantuan
"Bismillah"ucapku pasrah, menjulurkan kaki ke bawah kereta. Seorang teman lelaki, mas Aris, tampak masih menunggu evakuasi para bumil, sementara lelaki-lelaki yang lain sudah melarikan diri agar tak terlambat meletakkan jari pada finger absen. Dengan sigap mas Aris membantu menurunkanku dan teman-teman. Begitu menginjak tanah, detak jantung kami seakan berkejaran. Deg degan lur biasa. Lalu, kami mulai menyisir jalan menuju jalur angkot dengan petunjuk dari para penduduk sekitar yang menonton mogoknya kereta. Begitu sampai jalan raya, sebuah angkot menunggu kami. Alhamdulillah. Perjalanan dilanjutkan. Baru beberapa meter jalan, angkot sudah tak bisa meneruskan perjalanan. Diperempatan jalan, mobil-mobil sudah memenuhi jalan, sementara palang kereta masih tertutup akibat kereta dua arah, yang ke arah bogor keretanya mogok, sedangkan arah jakarta masih lancar.
Beramai-ramai kami turun dari angkot dan tak lupa membayar ongkos meskipun baru jalan beberapa meter. Kami kebingungan. Semua ingin menyelamatkan diri dari potongan absensi. waktu tinggal enam menit lagi. Teman-teman lelaki sudah berebutan naik ojek. Ojek benar-benar laris manis. Untuk kondisi tak hamil, bagiku mungkin saja untuk lari menuju kantor, tetapi dalam kondisi hamil besar, jalan tak bisa kencang, rasanya tak mungkin bisa sampai kantor dalam waktu cepat. Mas Aris masih peduli pada kami para ibu hamil. Dihentikannya para pemotor yang melintas searah perjalanan kami. Aku berjalan beriringan dengan mba Titik. Kami tak kebagian ojek. Pun para pemotor sudah membonceng para bumil lainnya. Sudahlah kami pasrah, karena tak bisa berlari. Tiba-tiba dua orang pemotor berhenti disebelah kami.
"Mari mba, naik. Saya antar" seorang lelaki berjaket hitam berkata padaku. Kulihat mba Titik sudah duduk di boncengan motor lain
"Alhamdulillah. Terima kasih, mas" aku pun duduk di boncengan. Dengan perlahan, motor menyusuri jalan menuju kantorku.
Kuucapkan terima kasih berkali-kali kepada mas-mas yang sudah menolongku, mengantarkanku dengan ikhlas. Maaf mas, aku lupa menanyakan siapa namamu, semoga Allah membalas kebaikanmu. Lega rasanya, ketika mengangkat jariku dari mesin finger absen. Pukul 07.29. Sejenak duduk di lobby kantor untuk meluruskan kaki yang pegal-pegal dan panas. Pagi yang penuh perjuangan. Alhamdulillah, semua teman yang hamil berhasil di evakuasi dan kondisi kehamilan baik-baik saja.
"Yan, kemarin perutnya enggak apa-apa 'kan?" tanya mas Aris ketika kami bertemu kembali keesokan harinya
"Alhamdulillah mas. Tak apa-apa. Makasih banget ya mas, sudah peduli dan menolong kami para bumil"
"Iya sama-sama. Aku kepikiran, jangan-jangan kalian kenapa-napa. Aku aja membayangkan ngeri, turun dari kereta setinggi itu"
Kini, KRL Ekspress sudah tak ada lagi. Sudah berganti menjadi commuter line yang berhenti di setiap stasiun. Dan, janin di perutku yang kuceritakan ini, kini sudah berumur tiga belas bulan. laki-laki, sehat, lucu dan menggemaskan. Kelak akan bunda ceritakan padamu nak, perjuangan bunda dan teman-teman bunda yang sama-sama hamil, menyelamatkan diri dari mogoknya kereta demi mengejar absensi.

Rabu, 07 Maret 2012

Teman yang Tak dianggap teman

Jenuhnya,..sungguh hari yang menjenuhkan. Boleh ya sesekali aku mengeluh? Aku bukan orang yang super tangguh. Sesekali, aku pun merasa jenuh. Jenuh dengan pekerjaanku. Jenuh dengan teman-temanku. Benarkah mereka teman atau hanya rekan kerja seruangan? Menurutmu, apa itu definisi teman? Teman menurutku, bukan sekadar orang yang bersama-sama kita, baik dalam pekerjaan maupun dalam kehidupan lainnya. Teman, seharusnya bisa memahami, menghargai, dan saling pengertian. Setidaknya, ketika teman tidak bersama-sama kita, kita merasakan ada yang kurang atas ketidakhadirannya. Kehadirannya menambah semangat, menghidupkan suasana, menggenapkan istilahnya, jadi ketika dia tak ada, ada sesuatu yang terasa kurang.
Bagaimana jika kamu tidak dianggap teman oleh orang sekitarmu? kehadiranmu tidak menambah, pun tidak mengurangi. Kehadiranmu tak dipertanyakan, tak dikangeni. Sungguh sesuatu yang sangat menyakitkan ya. Pantaslah jika engkau merasa sakit, karena selama ini engkau sudah berusaha amat sangat untuk mengerti dan memahami mereka. Menghargai mereka sebisanya. dan Engkau sudah berkorban cukup banyak, mengorbankan perasaanmu, untuk tidak menyakiti dan melukai hati mereka, meskipun tak jarang, mereka sering melukai hatimu lewat kata-kata.
Bagaimana jika kamu berada pada posisi seperti seseorang yang tak dibutuhkan dan tak perlu diperhatikan? kehadiranmu tak menimbulkan ucap dan tanya kerinduan, perasaan kehilangan atas tak kehadiranmu. Benar seperti kata hatimu, ada dan tiada dirimu, bagi mereka kau tetap dianggap tak ada. Kau tak dilibatkan dalam segala urusan, dianggap tak tahu banyak hal, tak pantas dijadikan tempat buat bertanya, bahkan untuk membagi tawa mereka pun segan.
Hei,...mengapa kamu baru menyadari semua ini? Bukankah ini sedari dulu sudah begitu? Iya,..kuanggap itu hanya semu, hanya perasaanku. Ternyata ini adalah nyata. Aku bukan orang yang pengin diperhatikan, gila diperhatikan. Aku hanya ingin diperlakukan sepadan. Ingin dipersamakan. Aku kecewa dengan perlakuan ini. Aku kecewa, kenapa sih manusia tak bisa saling menghargai. Jangan hanya ketrampilan kantor saja yang diperdalam. Hubungan sosial pun harus dipelajari. Ingatlah, hal-hal kecil yang bisa kamu lakukan, akan ada kalanya sangat berarti bagi orang lain, palagi saat orang tersebut sedang rapuh dan jenuh, yang menginginkan tempat untuk sekedar membagi kisah dan berkeluh.